Marketing.co.id – Di dunia tersedia banyak pilihan warna, ada merah, kuning hijau, biru, dan lain-lain. Namun memilih warna bukanlah persoalan apa yang tampak oleh mata. Namun juga dampak psikologis dan persepsi di mata orang yang melihatnya. Umumnya kita mengetahui warna merah merepresentasikan keberanian dan hijau mewakili keteduhan.
Setiap perusahaan atau institusi juga memiliki warna tersendiri. Misalnya BCA identik dengan warna biru, dan BNI identik dengan warna oranye dan biru.
Pilihan warna juga menciptakan julukan di kalangan pendukung atau fans. Sama-sama menggunakan kostum warna merah, Manchester United dan Liverpool mendapat julukan berbeda dari pendukung masing-masing.
Klub Sepak Bola Liverpool mendapat julukan The Red. Sementara Manchester United lebih sangar lagi, dijuluki The Red Devils. Yang pertama terkesan sebagai pernyataan (Si Merah), yang kedua sebagai penegasan (Sang Setan Merah).
Soal warna memang kita tidak bisa main-main, apalagi jika itu untuk tujuan bisnis dan marketing. Di satu satu, pilihan warna yang tepat akan membuat suatu merek atau logo tampak menonjol atau berbeda di tengah kerumuman merek lain. Di sisi lain, warna akan membantu suatu organisasi membentuk persepsi tertentu ke benak konsumen atau pelanggan.
Menariknya lagi, warna menimbulkan efek psikologis berbeda pada setiap orang dan setiap kelompok masyarakat atau budaya. Fandy Tjiptono dalam bukunya Service Marketing, Esensi & Aplikasi menjelaskan sejumlah wawasan penting mengenai psikologi warna. Fandy mengutip buku The Colour Eye, Cumming and Porter (dikutip dalam Mudie & Cottam, 1993). Berikut penjelasannya:
Merah merupakan warna api dan gairah. Warna merah menggambarkan aktivitas, energi, dan kegembiraan. Oleh sebab itu, warna ini banyak digunakan para perancang interior untuk menambah tingkat kenyamanan unheated rooms dan merancang desain restoran (khususnya restoran siap saji).
Oranye merupakan warna yang bisa menambah semarak perilaku sosial, membangkitkan semangat, dan mengurangi rasa permusuhan dan kemarahan.
Kuning dipandang sebagai warna yang bisa menimbulkan dua dampak kontradiktif. Di satu sisi, warna kuning dinilai bisa memberikan dampak stimulatif saat orang membutuhkan konsentrasi. Namun sebaliknya, jika warna ini digunakan terlampau banyak, ada kemungkinan orang malah menjadi stres.
Hijau melambangkan kealamiahan atau keasrian dan diyakini membawa kesaan tenang. Warna ini sangat sesuai untuk tempat-tempat yang membutuhkan situasi santai untuk beristirahat. Bersama warna biru warna kuning bisa membangkitkan nafsu makan, sehingga cocok dipergunakan untuk warna desain ruang makan.
Biru melambangkan wibawa dan secara tidak langsung menyiratkan kearifan, kebijaksanaan, dan kebenaran. Warna ini sangat ideal untuk dunia perbankan.
Masih dikutip dari buku yang sama, persepsi terhadap makna sebuah warna bisa berbeda-beda antar budaya. Dalam studinya terhadap sejumlah responden di RRC, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat, Jacobs, et al. (1991) mengidentifikasi sejumlah persepsi terhadap makna.
Warna abu-abu, misalnya, dipersepsikan para konsumen Amerika sebagai warna yang menunjukkan citra kualitas tinggi, andal, dan mahal. Bagi konsumen RRC dan Jepang, warna abu-abu justru diasosiasikan dengan harga murah.
Kondisi sebaliknya justru terjadi pada warna ungu. Warna ungu dipersepsikan sebagai mahal di Jepang, Korea Selatan, dan China, namun malah diasosiasikan dengan sesuatu yang murah di Amerika.
Dari paparan di atas terlihat warna dan persepsi yang diciptakannya bersifat relatif. Jadi sebenarnya tidak ada panduan baku memilih warna untuk merek, logo, atau hal-hal lain terkait aktivitas marketing atau pelayanan. Bisa jadi pilihan warna hanya karena faktor suka atau tidak suka pemilik atau pendiri perusahaan.