Employee First Culture

Saya akan bertanya pada Anda. Siapa yang menjadi prioritas utama dalam organisasi? Apakah pemegang saham atau konsumen, atau karyawan Anda?

Pada abad yang lalu, saat revolusi industri dimulai, terbentuklah apa yang disebut dengan “seller market”. Yang berkuasa kala itu adalah pemegang saham, disusul dengan karyawan yang sombong, dan konsumen ada di tempat yang menyedihkan. Dengan bertambah banyaknya persaingan, terjadilah “buyer market” dimana kepentingan konsumen menjadi nomor satu.

employee first culture marketing.co.idTetapi, timbul satu pertanyaan penting. Apakah seorang karyawan yang kecewa dengan perusahaannya bisa menciptakan “brand experience” yang hebat bagi pelanggan?

Mari kita lihat dua organisasi yang menomorsatukan karyawan sebagai budaya organisasi. Pertama, SAS Institute, pemimpin pasar dunia jasa intelligent software yang punya kebijakan karyawan dalam berbagai bentuk. Anda hanya diharapkan bekerja 35 jam seminggu. Jika Anda sakit, maka cuti tidak ada batasnya dan dapat digunakan untuk merawat anggota keluarga yang sakit. Spesialis dari perusahaan dapat mengatur seorang ahli untuk menolong orang tua Anda yang sudah lanjut.

Di kantor pusatnya, Anda bisa membawa anak yang belum memasuki usia sekolah ke pusat perawatan anak dengan biaya murah US$300 termasuk makan. Setiap lantai tersedia kafetaria yang menyediakan buah-buahan, jus, soda, peanut butter, crackers, dan snack gratis lainnya. Di situ juga ada 54.000 kaki persegi tempat senam lengkap dengan pelatih pribadi. Ada lagi kolam renang ukuran Olimpiade, kelas yoga, studio dansa, lapangan bola dan tenis. Jim Goodnight, Pendiri SAS, yakin bahwa karyawan yang merasa damai dengan keluarga dan kehidupannya akan mendedikasikan dirinya ke pekerjaan.

Kedua, Google telah menjadi pilihan karyawan di seluruh dunia untuk bekerja. Perusahaan menyediakan peralatan cuci pakaian untuk semua jenis kain. Karyawan dapat memotong rambut, mengganti oli mobil, dan gratis “eye brow shaping” sekali dalam seminggu. Ada tempat pijat, lapangan voli, bowling, biliar, kelas yoga, dan makanan, banyak makanan, gratis dan lezat! Karyawan Google berpakaian kasual dengan celana jeans. Google juga menyediakan kesempatan buat karyawannya untuk bertemu novelis Toni Morrison dan live interview dengan Justin Bieber di Google Office.

Para karyawan memperoleh perawatan medis sepanjang waktu, lalu ada ruang pribadi untuk para ibu mengasuh bayinya. Karyawan dapat pula tidur siang di Google Nap Pods dan boleh membawa anjing mereka ke tempat kerja. Larry Page, Cofounder Google, mengatakan bahwa Google memperoleh banyak timbal balik dari perlakuan yang diberikan dengan baik kepada para karyawannya. “Itu logis,” kata Larry. ”Orang yang bahagia lebih produktif.”

Tahun 2014 Google menduduki ranking pertama untuk “The 100 Best Companies to Work For” versi majalah Fortune, dan SAS menduduki peringkat kedua. Setelah korporasi menyediakan semua fasilitas dan kebijakan hebat buat karyawannya, apakah hal ini cukup untuk membuat motivasi dan dorongan kerja karyawan mencapai puncak? Daniel H. Pink mengatakan bahwa ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam manajemen untuk mendorong motivasi kerja karyawan secara maksimal.

Pertama, “autonomy”, kemauan untuk melakukan pekerjaan dengan cara kita. Kedua, “mastery”, kehendak kita untuk membuat kemajuan dan menjadi lebih baik atas apa yang kita kerjakan. Ketiga, “purpose”, keinginan untuk berkontribusi dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari kita. Inilah ketiga hal yang perlu diberikan pemimpin selain menyediakan kebijakan dan fasilitas kerja yang hebat.

Rich Karlgaard, Publisher Majalah Forbes, menjelaskan bahwa, “The real foundation of a best placesworkplace is dirt simple. It’s trust.” Selanjutnya ia mengatakan, ”Anda bisa membayar waktu seseorang untuk bekerja, dan orang itu akan muncul dan bekerja. Tapi Anda tidak bisa merebut ide-idenya, usaha yang luar biasa, dan solusi inovatif dari pikiran mereka. Kecuali jika Anda mempunyai ‘trust’ dan ‘respect’, maka Anda akan mendapatkan ide-ide hebat dan inovatif dari mereka.”

Nah sekarang, apa yang hendak Anda lakukan? Apakah Anda akan menjadikan tempat kerja Anda seperti penjara milik teroris Al-Qaeda dan memberlakukan “fear culture”, atau seperti Club Med dengan “employee first culture”?

Budi P.Kartono

Praktisi Bisnis

Email: budipurwantok@yahoo.com.au

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.