Empowerment di Bengkel

www.marketing.co.id – Hampir di semua perusahaan, tidak tergantung dari skalanya maupun kualifikasi frontliner-nya, kekhawatiran bahwa frontliner tidak punya kemampuan untuk di-empower selalu muncul. Frontliner memang banyak tugasnya, tidak terbatas, tapi sebenarnya minim otoritas.  Bagaikan telur dan ayam, mana yang duluan. Mau di-empower, tidak bisa atau takut nanti salah; tidak di-empower, kok pelanggan jadi tidak puas.

Jika percaya bahwa empowerment adalah hal yang penting, maka terapkan dan jadikan ini sebagai budaya. Mulai dari keberanian diri sendiri. Empowerment dikhawatirkan karena takut terjadi keputusan yang salah dan berujung pada pemborosan, dan juga dikhawatirkan karena frontliner bisa keluar dari jalur dan sistem yang sudah baku.

Kekhawatiran pertama sebenarnya tidak beralasan. Pemborosan dapat terjadi karena “error”, tetapi bagaimana dengan penghematan yang dapat diperoleh karena empowerment yang cukup pada frontliner. Positifnya jarang dibicarakan ke permukaan, yang sering sebaliknya.

Pengalaman saya, perusahaan yang melakukan empowerment memang beresiko mengalami error hanya pada masa-masa awal empowerment diterapkan, selanjutnya ada kurva belajar yang mesti dilalui. Penghematan juga sering terjadi sehingga, jika dirata-rata, kerugian material menjadi minimal.

Kekhawatiran kedua sebenarnya tergantung bagaimana manajemen menyikapinya. Jika frontliner sering keluar dari jalur sistem dan prosedur (sisdur) untuk mengatasi permintaan pelanggan, sebenarnya mungkin frontliner dihadapkan pada sisdur yang tidak up-to-date terhadap permintaan pelanggan?  Jika demikian, motivasi mereka untuk memberikan feed back kepada manajemen tentang sisdur yang sesuai dengan kondisi permintaan pelanggan. Memberangus mereka dengan kekakuan-kekakuan yang diciptakan akan tidak menguntungkan perusahaan.

Ada dua syarat menerapkan budaya empowerment, kemampuan dan inteligensia frontliner di atas rata-rata. Kuncinya terletak pada rekrutmen. Bagi perusahaan yang berbudaya empowerment, rekrutmen menjadi penting agar karyawan diterima untuk dikembangkan—bukan untuk dipekerjakan saja. Corporate knowledge sharing juga kunci untuk memberdayakan dan menyebarkan informasi mengatasi pelanggan di gugus depan.

Dengan pertemuan rutin sesama karyawan yang difasilitasi manajemen, maka akan terjadi percepatan belajar karyawan lain. Contoh perusahaan sejenis bengkel roda dua di Indonesia yang menerapkan empowerment? Agak jarang jika bentuknya perusahaan karena memang ini kunci sukses, namun tidak semua bersedia menerapkan diferensiasi ini. Untuk bengkel perorangan di mana karyawannya hanya beberapa orang dan kebanyakan memiliki hubungan saudara dengan pemilik, cenderung di-empower atau diserahi tanggung jawab, dan mereka cenderung lebih kompak, nyaman, terhormat, merasa dan berpikir seperti pemilik. Selamat bekerja. (Yuliana Agung, MBA.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.