Era Digital, Lonceng Kematian atau Berkah?

Era Digital, Lonceng Kematian atau Berkah?Musik indie merupakan industri yang pernah menjadi sangat seksi pada tahun 1990-an. Namun sejak maraknya pembajakan CD yang masif, sampai era digitalisasi—saat musik apa pun kini bisa diunduh melalui internet, lalu bagaimana para pemain band indie dapat bertahan?

Musik “indie” dapat juga diartikan sebagai “independent” music, yang berarti merdeka, bebas dari aturan, dan bisa dibilang “tidak normal”. Indie bukan musik mainstream seperti kebanyakan yang disajikan secara masif di berbagai media, seperti televisi, radio ataupun restoran fast food penjual musik. Kehadiran beberapa dari mereka memang mewarnai jagat industri kreatif khususnya di bidang musik.

Adapun para pendengar/penggemarnya merupakan mereka yang berjiwa mandiri, anti-mainstream, dan sudah pasti fanatik men-support artis lokal. Selain menawarkan musik alternatif yang non-mainstream, musik indie pun menjadi trendsetter dan menyajikan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ada anggapan hanya kalangan tertentu yang bisa menikmati musik seperti ini.

Hal yang menarik dari jalur musik indie ini adalah banyaknya undangan acara-acara musik indie yang terpampang di wall media sosial, pamflet, sampai poster-poster di jalanan ibukota, yang menyajikan acara-acara pagelaran seni di sekolah-sekolah, juga festival seni dan musik di kampus-kampus. Harga tiket masuk terbilang tidak murah, namun selalu tumpah ruah oleh para penikmat musik. Hal menarik lainnya, beberapa di antara mereka berhasil mengantarkan musiknya ke mancanegara untuk menghibur secara langsung para penggemar mereka di sana.

Banyak orang mengatakan saat ini industri musik sudah mati, namun sebenarnya belum menunjukkan indikasi kematian yang sesungguhnya. Mungkin secara penjualan memang mati, namun show dan event nyatanya masih berjalan dengan baik. Nampaknya “Racun dari lifestyle dan idealisme bermusik” dalam artian bisa sukses melalui cara yang mandiri, bebas, dan merdeka dari kungkungan industri yang kaku, membuatnya masih seksi sampai sekarang.

Lebih Fokus Main di Event atau Show

Emil Hussein, basis grup band Naif—salah satu band pengusung musik retro di Indonesia, mengungkapkan perjalanan awal Naif di tahun 1994. Ia tidak pernah menyangka akan bertahan di jalur musik indie sampai selama ini. Naif masih aktif mengeluarkan album baru walau tahu persis musik yang mereka buat hanya akan diunduh gratis di internet oleh penggemar mereka.

Berbeda dengan band indie lainnya, Naif adalah band yang paling sering menghabiskan waktu di atas panggung dibanding di dalam studio. Faktor inilah yang membuat mereka terus eksis di belantika musik indie. Undangan main dari panggung ke panggung secara live menjadi omzet Naif, pengganti penjualan CD.

Bagi Naif, pembajakan bukanlah masalah besar dan sudah seharusnya begitu pula bagi band indie lainnya. Karena dengan begitu musik dan image dari Naif akan semakin solid ke fans dan khalayak ramai. Yang akan membuahkan hasil yaitu undangan untuk main di event, tur, show ramai berdatangan. “Kami tidak perlu mengeluarkan biaya besar-besaran untuk berpromosi,” ungkap Emil.

Singkatnya, di era digital serta dengan adanya media sosial, Emil dan teman-temannya cukup terbantu dalam meluaskan musik mereka hingga bisa didengar di mana-mana. Emil menambahkan, bermain di jalur indie memang sangat menguras otak dan kreativitas. Setiap entertainer haruslah menjadi entertainer saja, tidak usah terlalu memikirkan bisnis. Baginya, antara bisnis dan menampilkan pertunjukan yang menghibur merupakan dua hal yang harus dipisahkan.

Omzet Bisa Diraih dari Penjualan Merchandise

Berbicara tentang industri musik, banyak perusahaan label dan rekaman saat ini beralih ke event organizer atau artist management, disebabkan penjualan musik yang semakin surut. Memang masih ada beberapa yang menjual CD dan DVD, namun revenue tidak dipungkiri ambles. Begitu juga para pemain bandnya, banyak yang vakum dan bahkan sampai bubar karena bingung harus bagaimana ke depannya setelah era digitalisasi menyeruak bak penyaringan yang sangat ketat.

Muhamad Rival, salah satu basis band reggae Steven & Coconut Treez, mengungkapkan saat ini bandnya vakum karena didera kebosanan dalam bermusik. “Komunitas genre musik yang ia bawakan yaitu reggae, belum mature di Indonesia,” ungkap pria berambut gimbal ini. Banyaknya poser dan anak muda yang ikut-ikutan membuat dia prihatin.

Fenomena digitalisasi juga menjadi pengaruh besar buat kelangsungan Steven & Coconut Treez, yang pernah masuk ke jalur major label. Tidak ingin berhenti bermusik, ia pun akhirnya membuat band baru yang dinamakan “Pallo”. Berbeda dengan genre sebelumnya, kini ia memainkan banyak jenis musik di album terbarunya, seperti folk, blues, dan reggae. Ia mengaku memproduseri sendiri dan mendistribusikan sendiri lagunya lewat jejaring media sosial, layaknya yang dilakukan band jalur indie.

Berbeda dengan Andre “Bacot” Tiranda, gitaris band Siksa Kubur yang mengungkapkan bahwa komunitas dari genre yang dia usung yaitu grind core—yang sempat booming di era tahun 1990-an—belum redup. Terbukti, seiring tumbuhnya perekonomian kelas menengah, penjualan merchandise dari bandnya laku keras pada saat event berlangsung. Grind core adalah aliran musik metal bawah tanah yang penggemarnya terbilang fanatik dan solid. Indonesia sendiri merupakan negara nomor 3 yang memiliki penganut genre grind core terbanyak di dunia. Ini menjadi alasan Siksa Kubur masih aktif menelurkan lagu-lagu dan aktif manggung di acara-acara musik metal underground.

T-shirt desain Siksa Kubur pun dibanderol dengan harga Rp400 ribu─Rp500 ribu per potong. Dan t-shirt mereka ini laku keras dan diburu oleh “anak metal”. Andre berkata, di setiap event musik timnya mampu menjual 30─40 potong t-shirt. Hal ini menunjukkan indikasi komunitas memberikan kontribusi terbanyak lewat merchandise. Mereka sangat men-support buatan dalam negeri dan mendukung artis lokal.

Soal penjualan CD, diakui Andre memang sudah benar-benar mati; 20 keping CD bisa terjual dalam setahun saja sudah terhitung banyak—itu pun yang membeli orang luar. “Pembajakan bukan masalah besar untuk kami yang sudah bermusik dari tahun 1996. Era digital dan media sosial membantu kami untuk bisa go international,” ungkap pria gondrong yang pernah mengisi salah satu acara bergengsi komunitas skate board international di Singapura.

Persaingan di industri kreatif khususnya bidang musik memang sangat ketat, baik label ataupun artisnya. Pemain di bisnis ini harus bisa melihat celah dan peluang pada saat perubahan terjadi. Hal tersebut memang tidak mudah, namun banyak juga yang berhasil menuangkan ide-idenya lewat musik dan masih dinikmati banyak orang seperti Naif, Rival dengan konsep barunya “Pallo”, sampai musik bawah tanah yang tidak awam dan ganjil seperti Siksa Kubur. Perjalanan untuk menjadi terkenal, banyak uang, dan menjadi legend tidaklah semudah yang dibayangkan. Seperti yang dituliskan Alm. Bon Scott (vokalis ACDC), “It’s a long way to the top if you wanna Rock and Roll”.

Isaiah Christian

1 COMMENT

  1. saya sudah ngga pernah lagi belu album, cd atau kaset. tapi saya sering download gratis di internet dan dengerin di youtube. iya, musik naif emang gratis dan suka dengerin musik dari band naif. sukses selalu buat naif 😉

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.