Etika Marketing vs Kemarahan Konsumen (1)

Pernah di beberapa harian Ibu Kota, dimuat berita suatu penyedia layanan seluler sedang berperkara dengan konsumennya. Gugatan ganti rugi sebesar Rp1 miliar dilayangkan ke Pengadilan Jakarta Selatan oleh si konsumen. Pasalnya dipicu oleh transaksi tidak lebih dari Rp150.000, yang dibumbui sikap serta cara bertransaksi perusahaan yang dirasa tidak semestinya menurut penggugat.

kemarahan konsumen

Disebutkan konsumen menggugat berdasarkan dua kali kejadian tidak menyenangkan yang dialaminya. Pertama, paket layanan yang dibeli tidak bisa dinikmati sampai masa berakhir. Kejadian kedua, dia merasa pulsanya terpotong otomatis sebesar Rp87.000 dalam tempo sangat singkat.

Kekecewaan meledak setelah konsumen merasa laporannya ke customer service tidak ditanggapi dengan baik. Kejadian berurut tersebut membuat si konsumen gelap mata dan memutuskan berjuang lewat jalur hukum.

Perusahaan pasti tak berniat berbuat yang tidak menyenangkan bagi konsumennya, apalagi dengan nominal sebesar itu. Namun ganjalan di hati yang dirasakan konsumen sering kali menutup rasio perhitungan rupiah, itu yang menjadi masalah dan perlu diperhatikan oleh setiap pebisnis. Pada kasus ini, etika bisnis menjadi isu yang mengganggu sang konsumen penggugat. Dia menganggap kebijakan atau sistem yang diterapkan perusahaan tidak etis, dan melanggar haknya.

Etika pemasaran cukup kompleks karena terkait dengan filosofi, adat istiadat, budaya, serta moralitas yang berlaku di lingkungan masyarakat. Termasuk di dalamnya peraturan pemerintah dan hukum yang berlaku. Jadi, etika pemasaran di setiap daerah maupun negara bisa jadi berbeda. Dengan demikian, perusahaan yang berbisnis di berbagai negara seyogyanya memahami semua hal di atas.

Ada beberapa pemahaman dan definisi, menurut Lexicon pemasaran beretika adalah suatu proses dimana perusahaan membangun ketertarikan konsumen akan produknya, sambil membangun hubungan yang kuat, dan menciptakan nilai bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders) dengan melibatkan aspek lingkungan dan sosial dalam produk maupun promosi yang dijalankan. Riley menyampaikan, etika adalah panduan moral yang menuntun perilaku yang baik; jadi, bersikap etis adalah melakukan apa yang secara moralitas baik. Dalam bisnis dikenal sebagai praktik bisnis atau marketing yang baik.

Marketing beretika memuat lebih banyak filosofi dibanding strategi marketing, menjunjung keadilan, jujur, dan bertanggung jawab dalam semua komunikasi maupun kebijakan pemasarannya. Etika bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan, mengingat setiap orang punya pertimbangan subjektif tentang benar dan salah.

Sepertinya mustahil menemukan perusahaan yang sepenuhnya etis dalam menjalankan bisnis. Contoh iklan sabun pencuci yang memperagakan pakaian bisa bersih hanya dengan direndam dalam air sabun, ditambah dengan kalimat penjelasan dari model iklan yang menjanjikan hal tersebut. Disadari daya cuci produknya tidak seampuh dalam iklan, namun tetap dilakukan.

Banyak perusahaan yang berhasil menjaga etika bisnis dalam satu aspek, namun gagal di aspek lainnya. Tapi, semangat untuk tetap menjaga etika dalam menjalankan bisnis dan pemasaran harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Konsumen lebih senang dengan perusahaan seperti itu dibanding sebaliknya. Setiap saat konsumen membandingkan mana produsen yang lebih jujur dan bisa dipercaya, memberikan semua yang dijanjikan, dan tidak menyimpan jebakan tersembunyi.

Analisis lebih dalam atas etika bisnis dan pemasaran, serta kiat melakukannya dengan baik akan dibahas dalam edisi mendatang.

 

Suherman Widjaja

Business Coach, Mentor, dan Trainer

President AMA Indonesia Tangerang Raya

Dosen Marketing Universitas Prasetiya Mulya

 

MM.11.2018/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.