Evaluasi Inovasi Pasca Pandemi: Kultural atau Struktural? (2)

Marketing.co.id – Di artikel Bagian 1 sudah dibahas evaluasi inovasi pasca pandemi, khususnya pendekatan inovasi dari aspek kultural. Bagaimana dengan pendekatan struktural?

Pendekatan yang kedua ini menggunakan basis faktor-faktor “hard”, lebih konkret dan lebih terukur jika dibandingkan dengan pendekatan pertama. Dalam artikelnya di Harvard Business Review edisi Mei 2019, Safi Bahcall menguraikan bahwa pada dasarnya semua organisasi bisnis selalu memulai dengan inovasi. Sejalan dengan waktu, semakin organisasi itu berkembang dari sisi jumlah karyawan, portofolio produk/jasa, sistem kompensasi, politik perusahaan dan lain-lain, maka inovasi jadi lebih sulit dilakukan karena munculnya hambatan struktural.

Evaluasi Inovasi Pasca Pandemi

Perusahaan rintisan (startups) adalah contoh di mana inovasi bisa dilakukan dengan leluasa oleh pendiri dan para karyawannya karena ukuran organisasi rintisan biasanya lebih ramping, portofolio produk masih sederhana dan bahkan beberapa produk masih beta version atau masih purwarupa (prototype). Struktur organisasi masih sederhana, tidak ada hierarki yang berlapis-lapis, dan karena itu politik antarkaryawan agar dapat naik jabatan pun belum muncul.

Masih menurut Bahcall, berarti ada suatu titik optimal dalam perkembangan sebuah organisasi dimana sejalan dengan waktu, bertambahnya ukuran, dan tingkat kompleksitas perusahaan, inovasi masih bisa dengan mudah dihasilkan, karyawan dapat bebas berkreasi, perusahaan mampu memberi kompensasi yang sebanding dengan kontribusi individu dalam penciptaan inovasi tersebut.

Jika titik optimal itu sudah dilewati perusahaan ketika ukuran, kompleksitas, dan aspek politik karier sudah mulai dominan, maka proses inovasi menjadi terhambat, karyawan mulai menjadi “takut” berkreasi. Belum lagi aspek politik organisasi yang membuat seseorang bisa mendapat kenaikan jabatan bukan karena kinerjanya, tetapi lebih pada kelihaiannya melobi atau kedekatannya dengan petinggi organisasi.

Asnan Furinto, Marketing Scientist and Strategist, Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

Titik optimal ini bisa dianalogikan temperatur air. Dalam temperatur kamar, molekul-molekul air bisa bergerak bebas, mengisi semua ruang dalam wadahnya. Perusahaan yang masih baru dan kecil ukurannya, memiliki sifat seperti ini.

Jika air tersebut kemudian didinginkan, temperaturnya turun perlahan, hingga akhirnya mencapai 0 derajat Celcius, maka air tersebut berubah menjadi es, molekulnya terkunci, tidak dapat lagi bebas bergerak dan mengisi ruang-ruang kosong di wadahnya.

Es batu ini adalah analogi ekstrem dari perusahaan yang sangat kaku, tidak memberikan ruang sama sekali bagi karyawannya untuk berkreasi.

Sebaliknya jika air dipanaskan, temperaturnya naik perlahan hingga akhirnya mencapai 100 derajat Celcius, maka air berubah menjadi uap air, akhirnya hilang dari wadah. Ini adalah analogi jika perusahaan tidak melakukan pembatasan stuktural sama sekali, maka proses inovasi menjadi tidak terkontrol, liar, yang dapat membuat perusahaan overburn.

Bagaimana mengatur agar titik optimal tersebut dapat dibuat setinggi mungkin (tidak jadi beku seperti es, tetapi juga tidak sampai menguap seperti air mendidih)? Kita akan ulas di evaluasi inovasi pasca pandemi seri berikutnya.

Asnan Furinto
Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.