Experiential Marketing: Pekerjaan Schmitt Belum Selesai

www.marketing.co.id – Sebagai proses untuk mengkonkritkan Experiential Marketing, Customer Experiential Strategy bukan gagasan yang baru. Meski begitu strategi ini relevan untuk digodok lagi menghadapi era di mana ekspektasi konsumen kian tinggi. Semakin relevan lagi karena, ternyata, strategi ini bukan monopoli untuk produk premium semata. Ada mass product yang sudah berhasil. Sayangnya, belum ada metodologi survei yang ampuh untuk menguji tingkat keberhasilan strategi yang digagas Bernd Schmitt ini. Alhasil, masih tersisa pekerjaan besar yang menantang kita untuk menuntaskannya. Berikut wawancara wartawan MARKETING, AA Kunto A, dengan pakar pemasaran Handi Irawan:

 

Apa perbedaan mendasar antara Customer Experiential Strategy dan Experiential Marketing?

Begini, Customer Experiential Strategy (CES) itu sekuel dari Experiential Marketing (EM). Teori dasarnya ada di EM. Jadi, EM adalah tentang bagaimana suatu perusahaan membuat customer-nya bisa lebih loyal, dengan cara memaksimumkan kelima hal yang disebut oleh Bernd Schmitt, yakni: sense, feel, think, act, dan relate. Kalau bicara “sense”, ini sesuatu yang sifatnya kognitif. Ini tahap pertama. Kalau ada “sense”, mulai ada experience. Ini soal style atau tema. Misalnya kalau masuk ke bank, bagaimana style-nya menghasilkan impresi. Impresi merupakan suatu pengalaman pertama. Kadang-kadang orang salah sangka, dikira EM itu soal service yang ber-experience. Padahal tidak, orang memandang sesuatu secara menarik itu sudah bisa disebut experience.

Sedangkan “feel” itu soal attitude-nya. Kok bangkunya enak, suasananya enak. Ketika orang merasa, ia akan lebih aware, lebih mudah puas, lalu mau datang lagi. Selain “feel”, sudah pasti “think”. Kalau sampai customer itu berpikir, apalagi sampai ia berpikir secara kreatif dan optimal, otomatis ia punya kemampuan untuk ber-experience. Umpamanya, Teh Botol. Ketika orang melihat logonya lalu “sense”-nya mengatakan bahwa teh itu berkualitas, punya “feel” betapa enaknya minuman itu. Kemudian ia berpikir soal produksinya di mana, berpikir untuk meminumnya (“act”), lalu berpikir kalau minum itu akan masuk society yang mana (“relate”). Jadi, satu iklan saja sudah bisa mengatakan semuanya.

Apakah kesan yang ditimbulkan harus selalu positif?

Pasti. Seperti logo Nike dengan slogan “Just do it”, orang sudah terpanggil untuk melakukan sesuatu (act). Jelas ya? Ini yang kadang misconception besar. Oleh karena itu,  EM merupakan konsep dasar yang tidak mudah diimplementasikan. Jadi, perlu ada tahapan-tahapannya, terutama untuk sesuatu yang sifatnya baru. Dan itu ada di dalam CES, yakni suatu proses menciptakan suatu customer experience yang lebih optimal dengan lima tahap berikut. Pertama, carilah pengalaman apa yang dibutuhkan customer. Bisa melalui survei, bisa FGD. Misalnya, apakah mereka itu minum pakai sedotan, dalam kondisi dingin. Itu harus dicari sampai detil.

Kedua, mencari “positioning strategy”, dengan mencari promise-nya apa. Experiential value promise-nya apa? Kemudian baru orang menetapkan bentuknya. Misalnya, akan memberi kesegaran kepada orang yang sedang tamasya. Itu contoh positioning-nya. Ketiga, “brand experience”. Ini meliputi logo, slogan, event, yang bisa menghasilkan pengalaman. Elemennya bersifat statis. Sisi satunya soal “customer interface”. Ini meliputi service, call center, dan lain-lain. Lebih dinamis. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pengalaman, harus menggunakan brand experience dan customer interface ini. Makanya, brand experience itu biasanya dilakukan di consumer product, sedangkan customer interface di perusahaan jasa. Jadi, EM bukan hanya service. Consumer product juga bisa. Tapi, semuanya harus memenuhi unsur rasional dan emosional. Ini yang banyak orang tidak paham. Nah, maka, tahap terakhir, untuk merangkum semua itu, harus dilakukan inovasi terus-menerus. Jadi, CES adalah tahapan strategi untuk melaksanakan EM.

Di mana pangkal salah paham itu?

Begini, mereka pikir dalam EM itu customer harus punya pengalaman dengan produk tadi. Lalu sifatnya pelayanan. Padahal bukan. Itu pertama. Kedua, banyak yang berpandangan, experience itu hanya untuk produk premium. Tidak. Pop Ice contohnya. Anak-anak senang banget. Kenapa? Dicampur, di-shake. Pengalaman mengkonsumsi menawarkan sesuatu yang baru. Ada impresinya. Fun, “sense”-nya dulu sudah senang. Extra Joss juga, dicampur lalu dikocok. Itu kan menimbulkan satu “feel” yang baru. Sensasi. Jadi, siapa bilang experience itu digunakan untuk pasar premium? Memang sebagian besar, ya. Tetapi bukan berarti tidak bisa digunakan untuk orang banyak, yang ekspektasinya rendah.

Lalu, apa relevansinya dibicarakan sekarang?

Ketika berbicara EM, itu berupa teorinya. Saya rasa, Bernd Schmitt berpikirnya begini: EM ternyata cukup mendunia. Buktinya, di www.experientialforum.com, banyak sekali contoh experiential marketing di seluruh dunia. Berarti orang sudah berhasil menerapkan konsep ini. Schmitt mengatakan, salah satunya, kalau iklan kita bisa menghasilkan sense-feel-think-act-relate; merek kita akan semakin kuat dan dapat mendorong orang untuk membeli. Demikian juga yang lain. Contohnya website. Ini oleh Schmitt dimasukkan ke customer interface, karena situs ada dinamikanya juga. Lalu relevansinya adalah, kata Schmitt, ternyata EM merupakan salah satu konsep marketing yang cukup meledak. Cuma, yang jadi persoalan, bagaimana menerapkannya?

Apakah penerapannya boleh parsial, tidak harus holistik?

Ya. Kalau Anda mau menerapkan secara holistik, semua experience provider (yang meliputi brand experience dan customer interface) itu diambil. Masih ditambah dengan menciptakan sense-feel-think-act-relate. Untuk sense dan feel, perhatikan logonya. Supaya think, Anda harus bermain pada iklannya. Supaya act dan relate, Anda harus kejar event-nya. Jadi holistik benar. Maka, CES ini merupakan pemahaman yang sedikit “advanced”. Harus paham EM dulu sebelum memasuki konsep ini.

Merek lokal apa yang berhasil menerapkan konsep ini secara holistik?

Unilever saya rasa menerapkan. Shampoo adalah contoh yang bagus. Experiential provider-nya mulai dari logo, iklan, event (keramas gratis). Telkomsel juga jelas. Perbankan saya rasa juga sudah banyak yang holistik. Ini karena menyangkut bajet yang besar.

Kalau contoh yang secara parsial?

Starbucks Coffee. Iklannya kan tidak ada. Dia lebih bermain di outlet-nya.

Rokok, bolehkah disebut sebagai contoh?

Saya melihat, rokok banyak yang melakukan secara holistik. Rokok mild contohnya. Mereka menyerang think-nya lewat iklan, sense lewat logo. Juga relate-nya. Kalau Anda merokok ini, maka Anda akan masuk komunitas pemberani, misalnya. Dan juga experiential provider-nya kan tidak hanya menggunakan iklan, tetapi pakai billboard dan event. Meskipun tidak terlalu holistik karena situsnya kurang begitu diakses.

Apakah penerapan secara holistik itu hanya ditentukan oleh faktor bajet?

Tidak. Tipe customer ikut mempengaruhi. Rokok contohnya lagi. Customer interface-nya agak kurang. Mereka tidak terlalu memanfaatkan call center dan website. Selain itu, positioning dia juga ikut mempengaruhi. Market leader cenderung holistik. Tapi yang pangsa pasarnya lebih kecil, apalagi yang membidik niche market, biasanya parsial.

Untuk contoh kasus internasional, apa yang menarik?

Saya melihat, iPod itu luar biasa. Harus diakui. Dengan menciptakan Genius Bar, maka orang yang memakainya akan merasa sebagai orang jenius. Hebat. Kemampuan act-nya juga bagus sekali, yakni mengajak orang untuk cepat-cepat membeli. Ada juga kesempatan untuk trial di sana. Di Amerika baru meledak. Di Inggris juga sedang demam Vodafone. Nokia dan Sony Ericsson juga merupakan industri yang sangat holistik. Elektronik juga merupakan industri yang holistik. Samsung, contohnya. Experiential provider-nya lengkap, world wide. Kalau Anda pergi ke counter itu, ada internet gratis dari Samsung, layarnya dari dia juga.

Bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan CES ini?

Ini memang tantangannya. Tidak boleh lagi menggunakan riset yang konvensional. Harus ditambah dengan riset yang sifatnya observasi, yang lebih banyak mengeksplorasi pengalaman, usage experience-nya, function experience-nya. Misalnya, kalau mau pakai experiential positioning, harus ada pertanyaan: ”apa yang Anda senangi?” atau “aromanya dicium tidak?”

Tools-nya sudah ada?

Saya rasa ini tantangannya. Prof Schmitt pun tidak begitu menjelaskan. Tapi menurut saya, banyak orang mencoba. Jadi, kalau bikin FGD, jangan sampai story board-nya belum jadi. Harus mantap, sudah mendekati aslinya. Opininya harus benar-benar mewakili. Sehingga bisa menebak pengalaman dia ketika melihat iklan, misalnya.

Tantangan lainnya adalah riset seperti ini costly. Metodenya juga belum ada. Ini penting, padahal tahap pertama saja susah. Maka, sebenarnya pekerjaan Bernd Schmitt belum selesai. CES itu langkah radikal yang membuat orang mengerti untuk menerapkan EM. Tetapi, setelah dilihat lagi, ternyata surveinya juga mengalami kesulitan. Maka, Schmitt punya pekerjaan yang lebih panjang lagi.

Kalau mencari experiential positioning itu gampang. Kan itu teori positioning biasa. Hanya ini positioning yang dasarnya adalah experience. Beratnya pada survei mencari experience—tahap yang pertama tadi—dan tahap kelima, inovasinya. Karena mencari experience yang baru bukan pekerjaan mudah.

Boleh disimpulkan, sebenarnya CES itu tidak bisa dirancang. Tidak bisa disengaja. Ia muncul begitu saja. Baru bisa diceritakan setelah terjadi (post factum)?

Luar biasa. Anda membuat kritik bagus. Ini menimbulkan tanda tanya. Surveinya susah. Exactly, baru bisa dijelaskan setelah jalan. Tantangan yang terbesar, surveinya agak imajinatif. Karena imajinatif, metodologi yang valid dan reliable lebih sulit. Makanya, pekerjaan Schmitt belum selesai. (AA Kunto A)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.