Film Indonesia yang “Jualan”

www.marketing.co.id – Kesuksesan product placement di beberapa film yang pernah tayang di Amerika menjadikan Indonesia pun ikut-ikutan mengadopsi paham marketing soft selling yang satu ini.

Dalam dunia pemasaran, product placement bukan lagi menjadi suatu hal asing. Di Amerika, product placement sendiri telah dipraktikkan sejak seabad yang lalu. Kala itu, hiburan yang paling populer adalahopera sabun, dikarenakan seringnya broadcaster menyebutkan berbagai produk sabun dalam alur cerita sebagai imbalan dukungan finansial dari sponsor, yaitu perusahaan pembersih rumah tangga, salah satunya Procter and Gamble.

Sementara sebuah fenomena product placement yang dianggap sebagai salah satu puncak keberhasilan adalah film E.T: The Extra-Terrestrial pada tahun 1982, yang menampilkan permen Reese’s Pieces. Produk Reese’s Pieces ini berupa butir-butir kacang warnawarni yang dibalut coklat. Selepas penayangan film tersebut, produk Reese’s Pieces diklaim naik penjualannya hingga 65%.

Melihat impact yang dihasilkan dari product placement, tak ayal jika berbagai negara kemudian mempraktikkannya. Tak terkecuali Indonesia, dengan berbagai format acara televisi sudah mulai menjalankan product placement seperti yang terdapat pada acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Mamamia Show, Kontes Dangdut Indonesia (KDI),  Bukan Empat Mata, Katakan Cinta, I-Gosip, Cek & Ricek, serta berbagai acara populer yang lain.

Dalam aplikasinya, memang terdapat tantangan bagi sponsor maupun perusahaan terkait—baik itu production house, perusahaan televisi atau broadcaster, percetakan, grup musik, dan lain-lain—untuk bisa mengetahui faktor utama yang memengaruhi sikap audiens terhadap strategi product placement.

Metode ini dianggap lebih baik karena selain tidak mengganggu program televisi, keberadaan suatu brand menjadi lebih dapat diterima karena dirasakan merupakan bagian yang wajar dalam adegan program televisi.

Tipe product placement bermacam-macam, secara garis besar dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, visual, diartikan sebagai gambar, baik itu berupa banner, billboard, ataupun background sebuah tayangan. Atau bisa juga dengan membuat adegan si aktor/aktris mengonsumsi produk. Misalnya saja seperti yang terdapat dalam acara Indonesian Idol. Di sana terdapat adegan yang memang secara sengaja dilakukan oleh para finalis seperti memasak mi instan, menelepon saudara atau kerabat dengan menggunakan ponsel, melalui layanan sebuah provider telekomunikasi.

Kedua, verbal, dan dipastikan bersifat soft selling. Contohnya, seperti yang ada di film D’Girlz Begins. Film yang disutradarai oleh Tengku Firmansyah ini kerap memunculkan adegan saat si pemeran utama menggunakan Softex sebagai pembalut saat menstruasi. Nah, padahal tak banyak yang tahu bahwa produser utama dari film tersebut adalah PT Softex Indonesia.

Umumnya, product placement merepresentasikan cara mempromosikan sebuah brand yang alami, tidak agresif, dan tidak pula persuasif. Audiens merasa menerima ekspos sebuah brand dengan cara sealami mungkin, yaitu dengan melihat bagaimana produk ditampilkan, disebutkan ataupun dipakai oleh sang aktor atau aktris, tanpa adanya bujukan dan paksaan untuk memakai produk tersebut.

Mungkin penjelasan di atas bisa dilihat dalam film Garuda di Dadaku. Film bertemakan sepakbola yang dirilis pada tahun 2009 lalu ini beberapa kali memunculkan adegan si pemeran utama (Emir Mahira) menggunakan produk Lifebuoy. Nampaknya Lifebuoy menganggap bahwa strategi product placement ini kelak mampu menjadikan brand mereka semakin sukses di pasar.

Hingga saat ini, makin sering dijumpai tampilan produk di film layar lebar Indonesia. Misalnya, dalam film D’Bijis, pada beberapa scene secara gamblang memperlihatkan beberapa produk seperti Class Mild atau Gery Chocolate sebagai latar pada beberapa adegan. Sementara di film Mengejar Mas-Mas ditampilkan produk-produk seperti Ritz, Mesis coklat, Momogi, harian Kompas, serta beberapa merek seperti Samsung, KFC, dan Lucky Strike. Dan penonton belum tentu  menyadari jika itu kemungkinan merupakan bagian dari aktivitas promosi sebuah produk.

Meski demikian, kemudian muncul pula kritik yang menyebutkan bahwa product placement dalam sebuah film mengurangi nilai dari film tersebut. Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda termasuk yang merasa terganggu dengan kemunculan merek pada film yang Anda tonton? (Merliyani Pertiwi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.