Fokus Bangun Kanal Digital untuk Perkuat Hybrid Marketing

Hybrid marketing menjadi solusi bagi Otto agar bisnis tetap efektif dan bertumbuh di tengah kebiasaan konsumen yang semakin digital.  

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku konsumen dengan beralih ke platform digital yang memungkinkan mereka untuk tetap mendapatkan informasi produk dan jasa, pelayanan, hingga bertransaksi di tengah situasi pendemi. Menariknya, perubahan ini diprediksi menjadi permanen meski wabah kelak berlalu.

Denny Dilham, CEO Otto, menuturkan di awal masa pandemi, pemasaran konvensional terkena dampak terutama pada saat pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) oleh pemerintah, sehingga perlu dilakukan adaptasi untuk efektivitas pemasaran.

Hal ini direspons Otto dengan mengubah komposisi alokasi bujet pemasaran konvensional–digital, dari sebelumnya 50:50 menjadi 30:70. Bujet pemasaran digital ditingkatkan karena selama pandemi masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 5,5 jam menggunakan gadget per hari (source data).

“Dari hasil observasi kami, perilaku konsumen terkait dengan penggunaan aplikasi Otto pada masa pandemi lebih aktif, ditunjukkan dengan meningkatnya pengguna, frekuensi transaksi, dan jumlah kategori transaksi per pengguna aktif,” ungkapnya.

Pertimbangan Otto semakin fokus menerapkan pemasaran digital, diprediksi Denny karena perilaku digital ini akan terus berkembang pascapandemi. Pasalnya, solusi digital lebih mudah diadopsi oleh konsumen karena telah “terpaksa” dan “terlatih” selama situasi pandemi.

“Pertimbangan lainnya, masyarakat akan lebih kritis dalam memutuskan sesuatu. Pemasaran digital diharapkan dapat memberi solusi yang bukan hanya sekadar produk, akan tetapi memiliki ‘nilai’ dan ‘experience’ yang mudah serta murah,” terang Denny.

Bidik Segmen Menengah Bawah

Kendati semakin fokus memanfaatkan channel digital, Otto akan tetap menjalankan channel pemasaran konvensional karena aktivitas yang dilakukan oleh target market, berdasarkan survei internal, mereka masih secara reguler mengunjungi pasar tradisional.

“Aplikasi Otto diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah di kota tier 2 dan tier 3 khususnya masyarakat yang beraktivitas di pasar tradisional, di mana Salim Group memiliki kekuatan ekosistem di area tersebut,” klaim Denny.

Menurutnya, strategi marketing saat ini bisa dilakukan dengan metode hybrid marketing dengan cara menggabungkan pemasaran tradisional dan digital, seiring dengan strategi distribusi aplikasi Otto yaitu O2O (offline to online) dimana masyarakat menengah masih memerlukan edukasi dan experience secara langsung.

Strategi hybrid marketing sudah dilakukan Otto sebelum era pandemi. Namun seiring perubahan perilaku masyarakat yang lebih akrab dengan solusi digital, maka perusahaan melakukan adaptasi dengan lebih fokus membangun channel pemasaran digital.

Upaya konkret yang Otto lakukan dengan cara membangun kemampuan internal yakni memperkuat tim digital melalui pemilihan talent yang tepat, pemberian workshop dan training mengenai perkembangan teknologi digital marketing, serta melakukan trial and error untuk menyempurnakan strategi online marketing.

“Kami juga menambah alokasi bujet channel pemasaran digital dan melengkapi tools pendukung strategi digital seperti attribution tracking, marketing automation, re-marketing dan CMS (content management system) untuk menunjang strategi on-boarding, engagement, dan retention,” sebut Denny.

Dia menambahkan, faktor-faktor pendorong penerapan strategi hybrid marketing yaitu lantaran perusahaan ingin konsisten menawarkan solusi dan tidak hanya berhenti pada pembuatan produk digital. Selain itu, Otto tidak ingin terjadi fenomena “membeli transaksi”, tetapi transaksi yang didasari oleh kebutuhan yang kuat, sehingga tidak perlu “membakar uang” untuk mendapatkan nilai transaksi yang berkesinambungan. “Kami terus melakukan kolaborasi dengan para penyedia produk digital (finansial dan nonfinansial) untuk memberikan solusi yang relevan bagi target market yang dituju,” ujar Denny.

Pada masa pandemi, dampak positif yang diperoleh dari strategi hybrid marketing adalah peningkatan conversion rate akuisisi dan transaksi hingga 30%. Hal tersebut didukung dengan beberapa inisiatif baru yang dilakukan seperti transaksi QRIS tanpa perlu mengunjungi toko fisik, harga terbaik untuk pembelian pulsa dan paket data dari beragam provider telekomunikasi, dan penjualan asuransi Covid-19, serta channel pengajuan pinjaman online dari berbagai penyedia produk yang berizin resmi.

Investasi yang dikeluarkan telah memberikan peningkatan hasil baik dari sisi nilai transaksi (gross transaction value) dan nilai pendapatan (revenue). “Kami telah mendapatkan peningkatan hasil dari strategi hybrid marketing yang fokus terhadap channel pemasaran digital, namun belum sepenuhnya memenuhi harapan perusahaan, yaitu menuju fully personalized marketing,” pungkas Denny.

Moh. Agus Mahribi
(Artikel ini juga bisa Anda baca di Majalah Marketing edisi Juni 2022)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.