Gebrak Pasar Lewat Marketing by Education

Kegemaran Andri Yadi dalam dunia IT mampu dijadikan sebagai mata pencahariannya. Ia mendirikan perusahaan dengan nama PT Dycode Cominfotech Development—DyCode—yang sudah memasarkan dua software. Seperti apa sepak terjangnya?

Mungkin sedikit saja orang yang mengetahui bahwa saat ini masih banyak pelabuhan di Indonesia—jumlahnya ribuan—yang tata kelolanya masih dioperasikan secara manual. Memang ada pelabuhan yang sistem pengoperasiannya sudah terkomputerisasi, tapi itu sudah out of date karena yang dipakai teknologi tahun 1980-an.

Sebagai sebuah negara maritim dengan ribuan pulau dan ribuan pelabuhan, tentu merupakan tantangan bagi siapa pun untuk menjadikan pelabuhan-pelabuhan di pelosok negeri ini menggunakan teknologi terkini. Tujuannya, tak lain untuk efisiensi manajemen dan mereduksi “kecolongan”.

Tantangan seperti ini yang dibaca sebagai sebuah peluang usaha oleh sosok muda lulusan ITB, Jurusan Kimia (murni), kelahiran Kelapa Kampit, Bangka Belitung, 9 April 1982. Penyuka makanan pedas ini kemudian menciptakan software yang diberi nama “Portmap”.

Dalam sebuah kesempatan wawancara di Jakarta beberapa waktu lalu, Andri, demikian ia biasa disapa, menggambarkan secara umum pengoperasian sebuah pelabuhan. Pelabuhan merupakan suatu terminal. Sebuah kapal yang masuk dan keluar maupun docking ataupun melakukan bongkar-muat, semuanya dikenakan charge.

Semua biaya disesuaikan dengan ukuran kapal. “Intinya, software Portmap yang ditawarkan DyCode dipakai untuk mengelola operasional di pelabuhan secara komputerisasi. Apa pun jenis aktivitasnya,” jelas dia.

DyCode sendiri, sambungnya, saat ini sudah menciptakan dua software. Yang pertama, software Portmap; dan kedua adalah mobile application yang diperuntukkan buat iPhone, Windows, Nokia (Symbian), BlackBerry, dan Android. Portmap sendiri merupakan produk pertama dan saat ini masih menjadi penghasilan utama bagi perusahaan.

Saat ini ada lima pelabuhan yang telah menggunakan software Portmap. Tiga di Batam, satu di Bitung, dan satu di Cilegon. Peluang di bisnis ini pun masih sangat besar, mengingat jumlah pelabuhan di Indonesia yang sangat banyak. Di pasaran, merek Primus menjadi kompetitor lokal yang lebih dulu hadir, sementara selebihnya adalah pemain (merek) asing. Rencananya, Pelindo IV satu per satu akan dipasangi sistem Portmap yang diproduksi DyCode.

Andri menceritakan bahwa mendirikan perusahaan sendiri pada kenyataannya tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Ia mengaku, DyCode merupakan perusahaan yang ke-4 yang dia dirikan bersama teman-temannya. Menurut dia, semua perusahaan yang didirikannya bergerak di industri software IT, sesuai passion dan hobinya. Ia juga mengungkapkan, kegagalan perusahaan sebelumnya karena memang dirinya masih belajar. Ia mengaku tidak memiliki pengalaman sebagai entrepreneur, bahkan dari keluarganya pun tidak ada yang berprofesi sebagai pengusaha.

“Jadinya, semua dilakukan learning by doing. Nyemplung dulu baru kemudian belajar. Menilik potensi pasarnya peluang bisnis ini masih sangat besar. Ada lebih dari 1.500 pelabuhan di Indonesia yang belum memiliki pelayanan secara komputerisasi. DyCode sendiri baru ‘menjual’ lima software!” ujarnya sembari terkekeh.

DyCode dibangun dengan modal awal sekitar Rp 50 juta. Kini, nilai proyek satu pelabuhan yang menggunakan sistem Portmap bisa mencapai Rp 5 miliar dan bahkan pernah juga satu software Portmap dihargai Rp 20 miliar.

Dijelaskan, DyCode berdiri pada Mei 2007, dan mulai “jualan” di tahun 2008, hingga sekarang. Diakui Andri, DyCode adalah perusahaan kecil. Strategi marketing yang dilakukan pun tidak se-atraktif perusahaan-perusahaan besar pada umumnya. Ia mengaku lebih berfokus pada marketing by education yang dilakukan dengan rajin berbicara di event-event komunitas dan berusaha memperkenalkan jenis produk yang dikelolanya lewat seminar-seminar. Strategi lain, dengan menggandeng prinsipal, seperti HP dan Microsoft, yang bisa membantu dalam mengumpulkan massa.

“Di situ kita bisa mengedukasi pasar. Kita juga mesti aktif bicara di seminar-seminar. Tak heran, semua orang yang mencari produk kami mengetahuinya lewat internet. Untuk itu, kami fokuskan promosi di website,” ujarnya.

Seiring perjalanan waktu, dengan seringnya melakukan strategi marketing by education tadi, pada akhirnya tercipta brand awareness dari produk-produk DyCode di pasar. Pada tahun 2012 ini, ada kerja sama dengan Telkom, dengan sistem profit sharing. Sejak memenangkan penghargaan di ajang bernama iMulai yang diselenggarakan oleh Microsoft dan USAID, gaung Portmap dan DyCode pun semakin berkibar. “Kompetisi itu sangat membantu meningkatkan brand awareness kami,” ujarnya.

Lebih lanjut diungkapkannya, dengan ukuran tim yang relatif kecil—jumlah karyawan saat ini sebanyak 25 orang—sangat sulit bagi DyCode untuk melakukan aktivitas marketing yang agresif. Apalagi mengingat segmen market yang dibidik adalah wilayah pelabuhan yang tersebar di pelosok-pelosok negeri. “Butuh banyak biaya untuk mendatangi pelabuhan satu per satu. Maka dari itu, kami lebih fokus melakukan upaya marketing dan promosi lewat seminar-seminar,” katanya.

Adapun hambatan utama dalam mengembangkan sistem Portmap adalah masalah birokrasi. Maklum saja, sebagian besar pelabuhan masih dikelola pemerintah. Hambatan lain yaitu kesiapan server dan jaringan infrastruktur seperti serat optik, serta skill sumber daya manusia. “Itu butuh biaya besar. Target di tahun 2012, paling banyak ada dua pelabuhan kami garap. Maklum saja, membangun sistem paling cepat butuh waktu enam bulan, bahkan ada yang satu tahun,” ujarnya. Andri juga menegaskan tentang pentingnya positioning sebuah produk di pasaran.  (Harry Tanoso)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.