Global Warming dan Geliat Industri Otomotif Global

Isu global warming (pemanasan global) atau kadang ada yang menyebutnya dengan climate change (perubahan iklim) belakangan semakin kencang berhembus. Berbagai upaya dilakukan umat manusia untuk mengerem laju pemanasan global.

Dikutip dari buku “Menuju Zaman Renewable Energy”karya Cyrilius Harinowo, Ph.D (banker, pengamat ekonomi, dan Komisaris BCA) dan Ika Maya Sari Khaidir, SE.,MM (Kepala Sentra Bisnis Komersial, Kantor Wilayah XII BCA), pemanasan global merupakan fenomena peningkatan suhu di atmosfir, laut, dan daratan bumi.

Para ahli yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan, bahwa sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Seperti dipaparkan dalam buku tersebut, gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, yaitu terperangkapnya panas matahari di atmosfer bumi karena tertahan berbagai gas yang menghalangi panas tersebut untuk kembali ke luar bumi.

Adapun penyebab utama terjadinya efek rumah kaca adalah uap air. Sementara penyebab kedua terbesar adalah karbondioksida (azat asam arang) yang disebabkan oleh aktivitas manusia, antara lain dihasilkan oleh kendaraan, pabrik, dan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil (fossil fuel).

Baca juga: Journey to Zero Mengajak Generasi Muda Cegah Pemanasan Global

Dunia sudah menyaksikan betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global. Contohnya kebakaran hutan di negara bagian California, AS, pada tahun 2020 yang menghanguskan lahan sekitar 2.100 meter persegi. Sebagai perbandingan luas negara Singapura adalah 728,6 meter persegi. Ini berarti luas lahan yang terbakar di California hampir tiga kali luas seluruh Singapura.

Pada awal 2020, temperatur tertinggi sepanjang sejarah Australia beserta angin yang berhembus kencang telah menyebabkan kebakaran lahan di mana-mana, terutama di bagian New South Wales dan Victoria. Banjir bandang yang belum lama menimpa Eropa dan China juga disebut-disebut akibat dari pemanasan global.

Seperti diungkapkan di atas, kontribusi terbesar kedua pemanasan global disebabkan oleh pembakaran energi fosil yang menghasilkan gas buangan CO2 (karbondioksida). Terus meningkatnya karbondioksida yang dilepas ke udara tentu tidak lepas dari melonjaknya konsumsi energi global.

Sementara lonjakan konsumsi energi global biasanya disebabkan oleh tiga faktor, yakni bertambahnya jumlah penduduk dunia, pesatnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Peningkatan konsumsi energi masyarkat terjadi lewat alat rumah tangga seperti kulkas, TV, AC, dan peralatan rumah tangga lainnya.

Larangan Mobil BBM

Dunia bukan tidak melakukan apa-apa untuk mengatasi pemanasan global. Berbagai pertemuan global dihelat untuk mengatasi masalah tersebut dan dihadari oleh berbagai kalangan, baik petinggi pemerintah, pemerhati dan aktivitis lingkungan, serta kalangan industriawan. Berbagai kesepakatan global untuk mengatasi pemanasan antara lain Protokol Montreal (tahun 1987), Protokol Kyoto (tahun 1997), dan yang terakhir The Paris Agreement (tahun 2015).

The Paris Agreement mencatat beberapa kemajuan, antara lain langkah kongkret mengurangi gas karbondioksida untuk mencapai keseimbangan (carbon neutral) di tahun 2050. Seperti tertuang dalam buku Menuju Zaman Renewable Energy, “Inti perjanjian menuju The Paris Agreement carbon neutral di tahun 2050 ini mendorong pemerintah dari berbagai negara melakukan pelarangan penjualan kendaraan berbahan bakar minyak bumi mulai tahun tertentu”.

 

Tampak depan Taxi Silverbird yang menggunakan Tesla Model X 75D A/T dengan pintu belakang yang terbuka ke atas. Dengan tarif buka pintu yang terbilang terjangkau, yaitu IDR 17.000, Blue Bird optimis akan banyak konsumen yang menggunakan taxi ini. Foto: Majalah MARKETING.

Tinda lanjut dari The Paris Agreement, Pemerintah Inggris akan menghentikan penjualan mobil internal combustion engine (mobil menggunakan bahan bakar fosil) mulai tahun 2030. Ini suatu kemajuan karena sebelumnya Inggris menerapkan aturan pelarangan penjualan mobil berbahan bakar minyak bumi di tahun 2040.

Norwegia bahkan lebih progesif karena negara tersebut menetapkan larangan penjualan mobil berbahan bakar minyak bumi mulai tahun 2025. Yang menarik, pada 2020, porsi penjualan mobil yang tidak menggunakan BBM di Norwegia sudah mencapai 54 persen. “Melihat perkembangan terakhir, bukan tidak mungkin penjualan mobil internal combustion engine di Norwegia akan berakhir pada April 2022,” tulis buku tersebut.

Baca juga: Ioniq 5, Mobil Listrik Pertama Yang Diproduksi di Indonesia

Bagaimana dengan Jepang, negara penghasil mobil berbahan bakar fosil terbesar di dunia? Pemerintah Metropolitan Tokyo mulai melarang penjualan BBM mulai tahun 2030. Sebuah langkah kontroversial dan berani, mengingat Jepang selama ini belum berani menetapkan batas waktu pelarangan mobil BBM karena kuatnya lobi pabrikan otomotif di negara tersebut.

“Di sisi lain, Ford menyatakan hanya akan memproduksi mobil listrik di fasilitas pabriknya di Cologne, Jerman, mulai tahun 2030. Langkah ini akan disusul oleh perusahaan mobil General Motors yang berniat mengganti seluruh produksinya dengan mobil listrik mulai tahun 2035,” ungkap buku tersebut.

Melihat fenomena di atas tak berlebihan jika Cyrilius Harinowo dalam acara bincang-bincang BCA Green Building Tour” menyatakan, ke depan mobil listrik bukan lagi menjadi tren tapi sudah menjadi kebutuhan.

Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar dan kekayaan alam yang melimpah merupakan potensi pasar menggiurkan untuk mobil listrik sekaligus berpotensi menjadi pemain penting dalam rantai pasok (supply chain) industri mobil listrik global.

Buku tersebut menerangkan, kekayaan nikel yang dimiliki Indonesia membuat negara ini memiliki posisi yang sangat strategis dalam percaturan rantai pasok mobil listrik maupun Energy Storage System. Pasalnya, material utama untuk kedua produk tersebut sangat mudah ditemukan di Indonesia, seperti Nikel, mangan, dan aluminium.

“Posisi demikian membuat Indonesia menjadi tempat yang menarik untuk melakukan investasi bagi pengembangan mobil listrik maupun Energy Storage System untuk energi terbarukan pada tahun-tahun mendatang,” tulis buku itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.