Hentikan Polemik, DPR Usulkan Hapus Pasal Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan

Marketing.co.id  –  Berita Marketing|Desakan agar dihapusnya pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus bermunculan. Kali ini Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengusulkan adanya aturan terpisah untuk perihal zat adiktif. Hal ini diyakini dapat menjadi solusi perdebatan bagi pasal tersebut yang ramai dibicarakan oleh masyarakat.

Menurutnya, industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif dalam aspek penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Ia juga mengatakan bahwa RUU tersebut masih dalam tahap pembahasan. “RUU (Kesehatan) ini masih dibahas. Sementara persoalan pasal 154, pasal 156 yang isinya tentang ketentuan lebih lanjut mengenai standarisasi kemasan (produk tembakau) dan peringatan kesehatan belum masuk agenda pembahasan,” ujarnya saat dikonfirmasi.

Yahya mengatakan RUU ini belum dapat diajukan untuk dibawa ke rapat Paripurna. Pasalnya belum selesai pembahasan di tingkat Komisi. Menurut dia, DPR khususnya Komisi IX ingin memastikan RUU ini jika disahkan menjadi UU minim polemik. Dengan demikian perlu proses pembahasan yang lebih matang. “Kita usahakan demikian,” tegasnya.

“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Baca juga: Acetium Lozenge, Solusi Memulai Program Berhenti Merokok

Perlu diketahui bersama, tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Reaksi Gaprindo

Menanggapi hal tersebut, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengartikan kekuatan hukum industri tembakau dan aktivitas turunannya bersifat kuat dan mengikat. Artinya produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tidak bisa di ilegalkan karena didukung dengan izin usaha resmi dan ditambah adanya kontribusi resmi terhadap negara. Kontribusi ini mencakup penerimaan negara hingga serapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, Benny menilai tidak ada urgensi untuk memasukkan tembakau dalam satu kategori bersama narkotika dan psikotropika. Apalagi mengingat beban Industri Hasil Tembakau nasional dan industri turunannya yang sudah cukup berat untuk dapat merealisasikan kebijakan Pemerintah yang selama ini cenderung menekan.

“Lahirnya RUU Kesehatan yang ikut mengatur ketat produksi dan penjualan rokok akan membuat IHT semakin tertekan dan justru berpotensi menurunkan kontribusi dan dampak positif yang diberikan dari industri ini,” ungkapnya.

Tembakau
Ilustrasi: Halodoc

Pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan menuai polemik dari berbagai pihak. Dalam pasal zat adiktif tersebut, selain pasal 154 ada pula pasal 156 yang mengatur persoalan standarisasi kemasan produk tembakau, termasuk aturan kemasan, jumlah batangan, dan lainnya, serta peringatan kesehatan.

Baca juga: Penelitian Lokal Dibutuhkan untuk Bantu Upaya Berhenti Merokok di Indonesia

Menurut Benny, jika bicara tentang kemasan produk tembakau, pasal tersebut juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Ini membuktikan deretan pasal tembakau dalam RUU Kesehatan akan menjadi tumpang tindih dengan regulasi lain bahkan berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan kementerian lain.

Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri serta 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.

“Padahal IHT adalah industri yang legal di tanah air, sehingga dalam menyusun kebijakan yang ada penting juga melihat IHT dari seluruh aspek mulai dari ekonomi hingga sosial serta lebih transparan untuk mendengarkan aspirasi dari pelaku industri dan ekosistem tembakau yang terlibat,” jelas Benny.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.