Hiruk Pikuk di Modern Outlet

Lewat in-store marketing, para pembeli menerima pesan-pesan merek ketika hendak memilih atau membeli produk di dalam outlet. Efektifkah strategi ini?

Nina tampak bimbang ketika belanja di supermarket. Awalnya ia berniat membeli sambal ekstra pedas merek ABC, namun harga cap Iboe Jari ternyata lebih murah. Ia jadi tambah bingung melihat—di deretan sebelah—Sasa menawarkan hadiah tatakan sambal untuk pembelian dua botol.

Di rak deterjen kondisinya setali tiga uang. Hampir semua merek deterjen menawarkan gimmick, isi lebih banyak, ataupun potongan harga. Kadang promosi ini juga dilengkapi dengan SPG yang pandai menjelaskan dan merayu. Begitu pula di bagian lain, materi point-of-purchase (POP) dari berbagai merek juga menggodanya. Kalau sudah begitu, ketika pulang, belanjaan Nina pasti jauh bertambah banyak dari rencana semula.

Inilah gambaran betapa dahsyatnya perang pemasaran yang berlangsung di modern outlet. Lantaran jumlah item produk yang ada di sana bisa mencapai ribuan, maka setiap merek berlomba-lomba menarik perhatian konsumen. Karena itulah, strategi in-store marketing seperti penempatan peraga di tempat mencolok, cara men-display produk di rak, streamer (banner), dan pemasangan promosi interior menjadi penting.

Bukan itu saja, segala macam “senjata tambahan” pun dikerahkan. Ada yang pakai SPG, diskon harga, kupon, sampel sampai bikin event di toko untuk menggaet para impulsive buyer. Alhasil, ridak mengherankan bila riset AC Nielsen mengatakan bahwa 85% keputusan konsumen kita dalam memilih merek terjadi di dalam toko (lihat grafik).

Kian Menjamur

Dalam beberapa tahun terakhir, outlet modern (toko berkonsep swalayan/self-service) tumbuh sangat pesat di Indonesia. Secara kasat mata kita bisa menyaksikan gerai modern seperti hipermarket, supermarket, minimarket, dan department store kian menjamur di kota-kota besar di Tanah Air.

Lihat saja, tahun lalu jumlah gerai hipermarket meningkat 30% dari 106 menjadi 138 unit; sementara supermarket tumbuh 11% dari 1.141  menjadi 1.277 unit. Peningkatan jumlah gerai yang tajam terjadi pada minimarket. Bayangkan, pada 2002 Indomaret hanya memiliki 704 gerai. Lalu, pada 2006, jumlahnya berkembang menjadi 1.880 gerai. Peningkatan Alfamart bahkan lebih fantastis, dari 175 gerai menjadi 1.757 gerai pada periode yang sama.

Pertumbuhan outlet modern ini tentunya diiringi pula dengan pertumbuhan sales mereka. Selama 2002–2006, total penjualan peritel (hipermarket, supermarket, dan minimarket) rata-rata tumbuh 19,75% per tahun.

Tahun 2007 ini, gerai hipermarket dan minimarket diprediksi  tumbuh 25%. Hypermart dan Carrefour masing-masing bakal menambah 10 outlet, sedangkan Alfamart dan Indomaret masing-masing 400 toko. Sementara itu, supermarket juga masih bertumbuh, meskipun hanya single digit. Tentunya munculnya outlet-outlet baru ini merangsang pembeli untuk datang, dan memberikan lebih banyak pilihan bagi mereka.

Yang menarik, fungsi ritel modern sekarang bukan sebagai tempat belanja semata, melainkan juga sebagai tempat rekreasi bagi seluruh anggota keluarga. Kini orangtua yang membawa anaknya dalam kereta belanja sudah menjadi pemandangan biasa. Carrefour bahkan menyediakan kereta belanja dengan desain berbentuk mobil-mobilan.

Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di hipermarket yang memiliki space luas. Di kelas minimarket sekalipun kita bisa menjumpai hal serupa. Misalnya, deretan “kuda-kudaan” yang digerakkan koin di minimarket di depan toko Alfamart atau Indomaret.

Wajar, karena salah satu kebutuhan konsumen yang datang ke outlet modern adalah make kids happy. “Anak-anak butuh ruang tersendiri dalam hiburan. Tak disangkal, justru anak-anak yang mendorong orangtuanya pergi ke outlet,” ungkap Yongky Surya Susilo, Retail & Business Development Director AC Nielsen. Itu pula sebabnya, di dalam toko swalayan kita kerap menemukan aktivitas in-store marketing yang dikemas dalam bentuk permainan seperti  arena kemah-kemahan dan aneka lomba untuk anak-anak.

Bisa Membangun Merek?

Dengan in-store marketing, toko swalayan kini merupakan tempat untuk menjual sekaligus membangun merek. Harus diakui, toko sangat mungkin menjadi lokasi di mana konsumen melihat suatu merek untuk pertama kalinya. Lingkungan toko cukup pun menentukan bagaimana sebuah produk dipersepsikan.

Dalam survei yang dilakukan oleh Reveries.com, sebanyak 72% responden menyebutkan in-store marketing sebagai media alternatif utama mereka. Lebih ekstrim lagi, ada yang mengatakan sebuah merek bisa dibangun hanya dengan mengandalkan materi POP. Cara  ini diyakini lebih efisien dan  menguntungkan.

Akan tetapi, menurut Yadi Budhisetiawan, Managing Director Force-One, hal itu sangat tergantung pada mereknya. Kalau merek itu sudah dikenal, maka in-store marketing akan membantu pencitraan dan kredibilitas merek tersebut. Namun, kalau merek itu belum terkenal, justru akan menjadi tanda tanya: kenapa tiba-tiba kasih diskon atau kasih hadiah? “Biasanya merek nomor 1 sampai 5 bisa sukses di in-store marketing,” kata Yadi.

Seperti diketahui, in-store marketing menciptakan atmosfir yang hidup dan memperkaya “shopping experience”. Toko swalayan kini bukanlah sekadar titik distribusi. Dia sudah menjelma menjadi media pemasaran yang memiliki berbagai variasi kontak komunikasi.

Bagi para peritel, setiap permukaaan toko sekarang bisa dikomersialisasikan. Mulai dari layar datar di rak, lantai, hingga toilet. Contohnya Carrefour. Di sana setiap sudut menghasilkan uang. “Mereka tak membiarkan setiap sudut tidak menghasilkan. Tetapi di satu sisi, kenyamanan tetap diperhatikan,“ cetus Victor Rindanaung, konsultan dari Frontier Consulting Group.

Bagi para pembeli, bagaimana produk-produk diorganisasikan sama pentingnya dengan produk apa saja yang ditawarkan. Meningkatnya keberhasilan peritel bukanlah tentang apa yang harus mereka jual, tetapi lebih pada bagaimana mereka menjualnya.

Inilah pergeseran baru dalam konsep berbelanja. Bila tadinya ritel dianggap sebagai bisnis yang menjual lebih banyak barang (product-based business) kini berubah menjadi bisnis yang menciptakan “shopping experience” (people-based business). Karena itulah, banyak cara baru yang dieksplorasi lebih jauh dan melibatkan panca indra.

Akibatnya, toko menjadi arena pertempuran merek yang hiruk-pikuk. Ratusan merek sodok-menyodok dalam memperebutkan minat pengunjung. Tak heran bila strategi in-store marketing kini semakin canggih dan kreatif dalam menyampaikan pesan-pesan merek kepada konsumen. Ada merek yang muncul di rak-rak, menempel pada display, terpahat di lantai. Ada juga sistem audio dan monitor TV dengan layar lebar menayangkan pesan iklan dan program shopping. Biasanya semakin besar tokonya, semakin besar pula kesempatan untuk menyampaikan pesan.

Dalam in-store marketing, banyak taktik yang bisa diterapkan pemasar. Coca-Cola, misalnya, hadir dengan beragam bentuk iklan seperti gambar-gambar di dinding, pilar, poster, troli, dan banner. Mereka menyediakan pula mesin pendingin (cooler). “Cooler kami pasang di tempat-tempat strategis di outlet. Misalnya di dekat rak buah atau sayur-mayur,” kata Pradana Sugarda, Customer & Commercial Leadership Manager PT Coca-Cola Indonesia.

Anlene menempuh cara yang berbeda. Di samping memberikan hadiah gimmick untuk pembelian tertentu, mereka juga menggelar “bone scan” (pemeriksaan tulang) gratis di toko. Kegiatan ini ditunjang oleh para SPG yang bertindak sebagai sales sekaligus konsultan.

Sementara itu, dalam menggenjot penjualan dan awareness produk  baru Xylitol, pihak Lotte rela membayar mahal lokasi penempatan produknya. Jadi, selain menggunakan SPG, mereka juga memajang Xylitol di rak dekat kasir. “Produk kami harus di-display di tempat yang gampang dilihat,” kata Ari  Widjaja, Marketing Senior GM PT Lotte Indonesia.

Tak pelak lagi, toko swalayan kini sudah menjadi “media” tersendiri. Namun, bagaimana efektivitasnya? Yadi mengatakan, in-store promo (yang bukan lewat pricing) mampu menaikkan 7-11% sales untuk kategori produk tertentu. Angkanya bisa menjadi lebih besar, yakni sekitar 16-21%, jika memakai elemen pricing.

Metode diskon dan hadiah langsung memang masih sangat ampuh bagi  sebagian besar kosnumen kita. Hasil survei kami membuktikan bahwa tipe promosi harga yang bisa men-trigger impulse di Indonesia tetaplah diskon harga. Kemudian juga hadiah. Termasuk dengan pertimbangan waktu, kapan lagi kalau tidak membeli sekarang,” timpal Yongky.

Namun, imbuh Yadi, dalam menjalankan strategi ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, timing-nya harus tepat. Kedua, dilakukan di banyak lokasi (multi lokasi). Ketiga, SPG yang andal. Keempat, display produk minimal lebih besar tiga kali lipat. Sudah batang tentu, faktor kreativitas juga penting agar konsumen tidak  bosan.

Yang jelas, para pemasar—pemilik merek, peritel, media, dan agensi periklanan—perlu mengeksplor lebih dalam berbagai kemungkinan yang bisa diciptakan oleh lahan baru ini di masa depan. Seperti yang dikatakan almarhum Peter Drucker, ”Cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya.”

(David S Simatupang Liputan: Ign. Eko Adiwaluyo, Purjono & Sigit Kurniawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.