Hotel Alila Jakarta Layanan kontemporer untuk pebisnis

Jebakan bagi perusahaan yang memiliki konsumen dalam jumlah besar adalah memperlakukan konsumen sebagai sederet angka. Nama ditanggalkan. Padahal, bagi konsumen, disapa dengan nama adalah suatu kehormatan. Sadar akan hal itu, Hotel Alila Jakarta pun menerapkan rambu-rambu ini bagi karyawannya: boleh lupa nomor kamar, tapi tidak boleh lupa nama. Setiap tamu pasti disapa dengan nama.

Lain dengan hotel kebanyakan, Hotel Alila Jakarta hadir secara berbeda. Ada keunikan yang terasa. Dari depan, begitu melintas di Jalan Pecenongan, bangunan 23 lantai itu tampak angkuh. Begitu masuk, lobinya pun “garing” layaknya lobi perkantoran. Melongok ke taman, tiada gemericik air, tiada bunga yang melambai dan menebar harum. Kalau pun ada warna hijau, itu sedikit kesegaran dari enam pohon kamboja yang tumbuh di antara bebatuan. Dan, kalaupun ada bunga, benda itu hanya menyembul di tengah meja makan di restoran di samping taman yang kering itu. Satu meja satu bunga. Bunga plastik pula.

“Ini hotel untuk para pebisnis,” ungkap Richard Daguise, sang general manager 200 karyawan dari hotel anggota “design hotels” ini. Dikatakannya, pebisnis tidak butuh bunga-bunga dan pernik-pernik yang melankolis. Yang mereka butuhkan adalah tempat menginap yang mendukung kegiatan mereka. Simpel dan praktis, demikian Richard menyebut karakter pebisnis.

Untuk segmen itulah, sambung pria berusia 34 tahun yang telah 17 tahun bekerja di perhotelan ini, Alila Jakarta hadir dengan konsep dan desain kontemporer. Istilah itu digunakannya untuk merumuskan bagaimana hotel itu memenuhi kebutuhan fungsional dari tamunya. Lobi utama tampak lapang dan selalu terasa lengang. Khalayak suka menyebut konsep yang diusung dari Eropa ini sebagai minimalis, namun Richard yang tidak pernah pakai dasi dan jas ini lebih suka melabelinya kontemporer.

Di kamar, ada seperangkat komputer dan mesin faksimili. Teknologi itu dibungkus dengan broadband internet access, seperangkat kecanggihan yang memungkinkan penghuninya melakukan aktivitas bisnis dalam suasana yang nyaman. Sebentar lagi kecanggihan itu bakal dipoles dengan teknologi wireless access, sungguh cocok bagi mereka yang mobilitasnya tinggi. Teknologi itu semakin menambah komplet fasilitas yang tersedia di hotel bintang lima ini.

Secara lebih gamblang, pria berkebangsaan Perancis ini melukiskan bagaimana pasar pebisnis ini digarap dengan amat serius. Satu hal yang menjadi perhatiannya adalah menciptakan kenyamanan. Dan itu dimulai dari depan, saat tamu pertama kali menginjakkan kakinya di pintu masuk: tidak ada pemeriksaan mobil (dengan alat yang dinamai under vehicle search mirror), tidak usah lewat security gate (yang lazim disebut walk through), pun tas tidak perlu “diobrak-abrik” isinya. Bukan berarti keamanan diabaikan, tapi kenyamanan yang lebih diutamakan. “Kami punya cara khusus tanpa mengganggu kenyamanan tamu. Mereka datang untuk berbisnis. Bayangkan, sudah macet di Jakarta, macet lagi di security gate. Buang waktu ‘kan?” gugat Richard mengkritik betapa tidak efisiennya pemeriksaan-pemeriksaan keamanan di beberapa tempat.

Maka, saat tiba di hotel, bell boy langsung menyambut tamu. Guest relations menyapa, memperkenalkan diri dan menanyakan nama tamu, lalu mengantarkan tamu itu ke resepsionis yang berdiri di balik meja tanpa tulisan “reception”. Guest relations memperkenalkan sang tamu kepada resepsionis yang kemudian memproses check-in dan mengantarkan tamu itu ke kamarnya.

“Perkenalan” adalah keharusan. Setiap karyawan yang melayani tamu wajib mengenal –setidaknya– nama tamu yang menginap di 117 kamar hotel tersebut. Lebih dari itu, mereka dituntut untuk memahami kebutuhan tamu itu selama menginap di sana. Richard juga memberi contoh kepada anak buahnya. Ia mengenal nama sebagian besar tamu yang menginap di sana. Maklum, sekitar lima puluh persen tamu pernah menginap di sana sebelumnya (return stay), selain masih ada dua puluh persen lainnya yang tinggal untuk jangka waktu lama (long stay).

“Tamu di sini kami layani sebagai manusia, bukan sebagai nomor. Lebih sering kami lupa tamu tersebut tinggal di kamar berapa daripada namanya,” cetus Richard mengungkap rahasia personal service yang diterapkannya kepada MARKETING. Hasilnya? Hotel yang tingkat okupansinya tahun 2003 mencapai 48 persen ini berhasil meraih indeks kepuasan pelanggan 85 persen. Angka itu diperoleh dari jawaban tamu saat mereka disodori kuesioner menjelang check-out dan e-mail yang dikirimkan langsung oleh Richard kepada setiap tamu sesaat setelah mereka meninggalkan hotel. (AA Kunto A)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.