Ideologi Merek

Marketing.co.id– Setiap negara memiliki ideologi yang dianut dan dipercayai paling baik, yang bisa menyejahterakan rakyatnya. Di dunia pemasaran, merek pun mempunyai ideologi yang berbeda satu sama lainnya. Ideologi itulah yang kemudian menjadi prinsip dasar dalam memasarkan produk-produk dan memenangkan persaingan pasar.

Di zaman internet sekarang ini, ada dua ideologi yang saling bertentangan dengan segala untung-ruginya, yaitu tertutup dan terbuka. Research in Motion (RIM) memilih menggunakan ideologi tertutup dalam memasarkan BlackBerry sehingga konten-konten yang ditawarkan harus diunduh dengan biaya tertentu. Sistem operasinya pun tak bisa dimiliki oleh orang yang bukan pengguna produk asal Kanada itu.

Begitu pula dengan yang dilakukan Apple atas iTunes. Sebagian ahli mengatakan Steve Jobs dan perusahaannya telah memonopoli konten online mereka yang hanya untuk pengguna produk Apple. iPad dan iPhone, merek dari Apple yang luar biasa, hanya bisa mengoperasikan perangkat lunak yang mendapatkan persetujuan dari Apple. Hak eksklusif seperti ini yang membesarkan Apple, sekaligus mengerdilkannya.

Sementara Google menganut ideologi merek yang terbuka. Perusahaan milik Lary Page dan Sergey Brin ini melawan cara Apple dan RIM yang tertutup dengan menyerahkan sistem operasi Android ke pasar secara terbuka. Awalnya sistem operasi itu diragukan kehadirannya, namun saat ini digandrungi banyak vendor telekomunikasi seperti Samsung, Sony Ericsson, dan hampir semua merek asal Cina.

Prinsipnya, ideologi merek yang tertutup harus mampu melayani konsumennya dengan eksklusif sehingga hasilnya dinikmati sendiri. Apple menciptakan produk-produknya, menyediakan fasilitas-fasilitas atau konten-kontennya dengan berbayar untuk perusahaan itu sendiri. Hal tersebut berlawanan dengan ideologi merek yang lebih terbuka, yang ditawarkan Google atas Android-nya.

Pertanyaannya, apakah ada yang lebih murah dari gratis? Jelas tidak. Karena itu, para vendor ponsel mayoritas memilih sistem operasi Android yang diperoleh secara cuma-cuma itu untuk menekan harga jual produk mereka. Sistem operasi Android ini lantas menjadi percontohan betapa ideologi merek yang tertutup akhirnya dikalahkan dengan ideologi merek yang terbuka.

Facebook, Twitter, dan Multiply menjadi situs jejaring sosial yang memang “menyerahkan” seluruhnya kepada penduduk dunia maya. Facebook pun akhirnya sukses mengeruk database lebih dari 500 juta orang, diikuti Twitter, juga Multiply. Merek-merek tersebut berhasil menggaet pelanggan dengan cepat karena tidak “memaksa” konsumen untuk mengeluarkan sejumlah uang. Tentu pendapatannya diperoleh dengan cara lain.

Apa jadinya jika untuk mencari sebuah kata atau keyword tertentu di Google, seseorang harus mengirimkan sekian dolar atau rupiah terlebih dahulu? Barangkali nama Larry Page dan Sergey Brin tak akan dikenang pengguna internet seperti sekarang. Ini sama dengan perbandingan antara Google search engine yang gratis dengan Google Adwords yang mensyaratkan nilai tertentu sesuai kesepakatan.

Satu Tujuan

Meski mengusung ideologi yang berbeda—terbuka dan tertutup, sesungguhnya merek-merek ini memiliki satu tujuan yang sama, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di Indonesia, untuk mencari perbandingan yang lebih mudah terkait ideologi semacam ini adalah membedakan antara market place dengan online shop. Jika market place berkembang lebih cepat karena menyerahkan konten yang diperjualbelikan sepenuhnya kepada pasar, online shop hanya memasarkan produk-produk yang memang mereka tawarkan.

Secara umum, perbedaan mendasar itu bukan berarti membedakan pendapatan atas merek-merek tersebut. Semua itu dikembalikan kepada rumus pemasaran yang menyebutkan hasil merupakan kumpulan antara ekuitas dan strategi merek itu sendiri. Kaskus.us yang bersifat market place jelas tidak bisa dibandingkan dengan Glodokshop.com yang lebih bermakna online shop. Kemana.com sama seperti Rajalistrik.com, tetapi berbeda dengan Tokobagus.com dan Indonetwork.co.id.

Kaskus.us menggunakan ideologi merek yang terbuka sehingga para penjual bisa menawarkan barang-barangnya di situs komunitas terbesar di Indonesia itu—yang belum lama ini dikabarkan mendapat suntikan modal sebesar lebih dari Rp 1 triliun dari Djarum Group. Ini tidak sama dengan yang dilakukan Kemana.com yang memang benar-benar memasarkan produk-produk dari hasil kerja sama dengan distributor-distributor elektronik, ponsel, buku, aksesori, dan lain sebagainya.

Ideologi yang diusung Rajalistrik.com, online shop yang fokus memasarkan produk-produk listrik dan teknik untuk industri, yang saat ini telah menawarkan puluhan item produk dari puluhan merek lokal dan global seperti Siemens, Schneider Electric, Fuji Electric, Mitsubishi Electric, dan Grundfos, tidak bisa disamakan dengan Tokobagus.com yang menawarkan apa saja karena memang semua orang bisa melakukannya.

Di samping memiliki ideologi yang berbeda, online shop semacam Rajalistrik.com mengeruk hasil dari seberapa banyak produk yang terjual, sedangkan market place seperti Tokobagus.com tergantung seberapa banyak anggota yang bersedia membayar komisi atas hak istimewa dalam menjual produk-produk mereka. Memang dari sisi jumlah pengunjung pun tidak bisa dibandingkan, namun pada prinsipnya ideologi terbuka dan tertutup mempunyai satu tujuan besar, yaitu mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Apa pun ideologinya, sebenarnya ada beberapa langkah kunci yang dapat diaktualisasikan pada pemasaran online di atas (Levinson dan Rubin), yaitu pengembangan community involvement, identity, competitiveness, credibility, free information, confidence, e-mail signature, convenience, satisfied customers, dan services.

Tentu saja, prinsip pemasaran umum yang berlaku di sini yaitu merek yang semakin dikenal pasar akan semakin mudah mengeruk pendapatan. Buktinya, BlackBerry tetap digandrungi pasar, bahkan penggunanya di Indonesia menempati posisi kedua terbanyak setelah Kanada, meski RIM menggunakan sistem operasi miliknya sendiri dan memaksa pengguna untuk membayar sejumlah uang agar bisa memanfaatkan konten-konten di dalamnya. Apple pun demikian. Sedangkan Google yang lebih terbuka mengeruk pendapatannya dengan cara yang lain. Artinya, jelas brand awareness mempunyai sumbangsih yang besar pada meningkatnya market share sebuah merek, bahkan David A. Aaker menyebut brand awareness merupakan key of brand asset.

Oleh: Darmadi Durianto

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.