Information is Power

Market intelligence adalah salah satu komponen dalam marketing information system. Kegiatan ini bisa dilakukan mulai dari sekadar observasi sampai dengan perencanaan yang sistematis.

Apa yang tertanam dalam benak bila kita mendengar kata intelijen? Boleh dikatakan sekitar 80–90% orang akan berpikir bahwa kata ini berasosiasi dengan kegiatan memata-matai. Maklum, kata intelijen memang tidak bisa dipisahkan dari badan-badan intelijen dunia yang terkenal seperti CIA. Dari luar, pekerjaan mereka yang sering dipublikasikan adalah sebagai mata-mata.

Memang harus diakui pula bahwa konsep market intelligence dalam dunia bisnis banyak mengadopsi konsep dari kalangan militer dan badan pemerintah. Konsep intelijen dalam militer yang dikembangkan oleh Sun Tzu misalnya, diakui sebagai salah satu fondasi dari aktivitas intelijen dalam dunia bisnis. Tak mengherankan, Sun Tzu kemudian sering disebut sebagai The Father of Intelligence.

Handi Irawan, Chairman Frontier Consulting Group, mengatakan bahwa market intelligence dalam dunia bisnis bukanlah pekerjaan memata-matai. Market intelligence merupakan salah satu komponen dalam marketing information system. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa market intelligence dalam bisnis adalah pekerjaan yang etis, tidak boleh mencuri data dari perusahaan lain, atau cara-cara yang ilegal dalam mendapatkan data. Di negara maju seperti Amerika Serikat, perangkat hukumnya relatif cukup memadai walaupun batas-batas etika masih terus menjadi isu yang sulit dibuat batas yang tegas.

Berdasarkan satu studi di sana, dari perusahaan yang terdaftar dalam Fortune 500, hanya sekitar 10% yang benar-benar mempunyai komitmen melakukan aktivitas market intelligence. Sekitar 80% menyatakan bahwa perusahaan mereka melakukan aktivitas ini, tetapi sifatnya hanyalah sebatas proyek dan kasus per kasus. Lalu, bagaimana di Indonesia? Menurut Handi, barangkali jumlah perusahaan yang benar-benar mengembangkan market intelligence sebagai suatu departemen khusus dapat dihitung dengan jari.

“Di era persaingan bebas seperti saat ini, informasi benar-benar merupakan senjata bersaing yang sangat penting bagi perusahaan. Dalam banyak kesempatan, saya sering mendorong agar banyak perusahaan di Indonesia membenahi market information system mereka. Sungguh benar bahwa information is power,” kata Handi.

Bagi perusahaan berskala kecil dan menengah, informasi yang diperoleh dari data sekunder dan laporan internal seperti data penjualan dan data pelanggan untuk sementara dapat menjadi acuan penting sebagai sumber informasi. Bagi perusahaan dengan skala yang semakin besar, informasi yang diperoleh melalui riset pasar tidak dapat dihindari. Mereka harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan informasi seperti perilaku konsumen.

Perusahaan dengan skala yang besar dan terutama yang masuk dalam industri yang sangat kompetitif seharusnya sudah mulai memikirkan untuk membangun departemen atau paling tidak mengalokasikan sumber dayanya untuk keperluan market intelligence. Struktur dan posisi departemen ini harus memungkinkan untuk mempunyai akses pada pembuat keputusan dan juga memungkinkan mereka untuk sharing mengenai informasi yang mereka peroleh. Dua departemen yang paling sering terkait dengan departemen market intelligence adalah Marketing dan R & D.

Apa yang membuat perusahaan di Indonesia belum berpikir serius mengenai hal ini? Berdasarkan observasi Handi, hambatan pertama adalah ketidaktahuan untuk memulai. Ini terjadi karena mereka benar-benar tidak memiliki konsep akan market intelligence. Hambatan kedua adalah sikap tidak peduli oleh karena merasa tidak membutuhkan. Sikap seperti ini biasanya banyak terlihat di perusahaan yang tingkat persaingannya rendah atau memang tidak ada keinginan untuk berubah dan maju.

Hambatan ketiga adalah rasa frustasi terhadap cara-cara dalam memanfaatkan data. Mereka sudah memiliki banyak data, tetapi terasa sulit untuk memelihara data yang sudah ada, apalagi memanfaatkannya. Oleh karena itu, mereka bersikap skeptis terhadap alokasi resources untuk membangun jajaran market intelligence.

Lebih lanjut dikatakan oleh Handi, ada empat pekerjaan utama dari departemen market intelligence. Pekerjaan pertama adalah tahap perencanaan, mereka harus menentukan jenis-jenis informasi yang ingin diperoleh. Tahap kedua adalah mengumpulkan data dan informasi. Aktivitas ini dapat dilakukan dengan cara mengamati atau observasi, membaca hasil publikasi, atau melakukan wawancara dengan berbagai pihak, seperti suplier.

Pada tahap selanjutnya, diharapkan mereka dapat melakukan analisis. Untuk analisis, perusahaan dapat membuat analisis kualitatif terutama bila ingin melihat tren secara global suatu industri atau analisis kuantitatif dengan tool-tool yang rumit, melibatkan seperangkat komputer. Tahap terakhir, tahap yang paling sering lupa dilakukan adalah sharing atau penyebaran informasi kepada departemen lain terkait.

Handi mengatakan, kegiatan market intelligence dapat dilakukan dari yang sederhana sampai yang perlu perencanaan secara sistematis. Dalam bentuk paling sederhana, market intelligence dapat dilakukan dengan cara observasi—cara yang murah dan sering kali dapat memberikan informasi yang berguna. Handi yakin market intelligence dalam bentuk ini cukup banyak dilakukan oleh perusahaan di Indonesia. Ada sebagian kecil yang sudah mempunyai perencanaan sistematis—seperti para pemain ritel besar, dan sebagian besar hanya melakukan dalam bentuk ad hoc, atau dilakukan saat ada kebutuhan.

Telkomsel, Indosat, ataupun Excelcomindo dapat melakukan market intelligence dalam bentuk observasi untuk mengetahui kekuatan sinyal di daerah tertentu. Cukup dengan membeli produk pesaing dan kemudian observasi ke setiap daerah atau area yang diinginkan dan melihat seberapa baik tingkat coverage dan kekuatan sinyalnya. Bank-bank di Indonesia dapat dengan mudah melakukan observasi untuk mengetahui kelebihan fasilitas bank lain dan sekaligus tingkat pelayanan yang diberikan.

Teknik market intelligence melalui observasi yang kelewat canggih pernah dilakukan oleh Avon di Amerika pada awal tahun 1990. Mereka mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang oleh perusahaan Mary Kay dengan cara mempekerjakan orang khusus semacam detektif. Setiap memo, catatan, dan laporan Mary Kay yang telah dibuang di tempat sampah diteliti ulang dan bila masih mungkin direkonstruksi. Avon ingin mengetahui gerak-gerik Mary Kay yang dikabarkan akan mengakuisisi perusahaan tersebut. Cara ini efektif dan tidak melanggar hukum, tetapi dari segi etika tentunya sulit diterima.

Inilah yang menurut Handi sering menjadi problem dengan observasi, yaitu masalah etika. Avon memang terbukti tidak melanggar hukum sebagaimana pengadilan menyimpulkan, tetapi jelas telah melanggar etika bisnis. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan dunia seperti IBM dan P&G yang sudah mempunyai divisi market intelligence yang maju selalu memperhatikan masalah etika dalam pengumpulan data.

Cara murah lainnya untuk mendapatkan informasi adalah dengan melakukan interview kepada para pelanggan pesaing atau dengan para suplier. Untuk mengetahui berapa besar omzet dari pabrik kecap, relatif pekerjaan mudah kalau kita bisa mendapatkan informasi dari suplier botolnya. Mengetahui berapa besar omzet dari merek permen atau biskuit tertentu bisa diperoleh bila kita mendapatkan informasi dari suplier kemasannya.

Cara pengumpulan data lainnya yang masih dikategorikan dalam market intelligence adalah dengan metode yang disebut scanning market environment. Untuk perusahaan skala kecil yang penggunaan teknologi informasinya masih ketinggalan, cara ini biasanya dilakukan dengan kliping. Tentunya, lama-kelamaan, metode ini tidak efisien mengingat penambahan jumlah data yang luar biasa dari tahun ke tahun.

Mereka yang serius dengan pengembangan market intelligence akan bersyukur dengan adanya perkembangan internet. Pekerjaan scanning market environment ini dapat dilakukan dengan cepat dan informasinya bersifat global. Walaupun demikian, tanpa penggunaan teknologi informasi yang memadai, sulit membuat data dan informasi yang diperoleh dapat terstruktur dengan baik. Dengan demikian, perusahaan akan gagal mentransformasikan informasi ini menjadi suatu knowledge yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan. Tanpa data adalah buruk, tetapi terlalu banyak data sehingga tidak dapat memanfaatkan hasilnya adalah sama buruknya.

Dewasa ini, sudah mulai banyak software yang dapat membantu scanning market environment. Kita hanya perlu mengetik keyword yang kita inginkan, dan seluruh artikel dapat kita ambil dalam kondisi terstruktur. Software ini akan semakin berguna ketika sebagian besar isi media massa dapat diakses secara online.

Handi meyakinkan bahwa market intelligence adalah salah satu komponen pengumpul data dan informasi yang sangat vital dewasa ini. Pada awal tahun 1980, Fuji Film berhasil mendahului Kodak memperkenalkan kamera sekali pakai di pasar Jepang, padahal Kodak telah lebih dulu mematenkan produk sejenis. Belajar dari hal ini, kemudian Kodak mengumpulkan informasi melalui divisi market intelligence mereka. Saat Fuji ingin meluncurkan kamera ini di Amerika, Kodak akhirnya dapat mendahului hanya satu hari sebelum Fuji melakukan event launching-nya. Akibatnya dapat diduga bahwa produk Kodak mendapatkan sambutan yang jauh lebih baik di pasar Amerika.

Dikatakan oleh dia, tantangan nyata dalam membangun divisi market intelligence di Indonesia adalah resistensi dari para CEO-nya. Hal ini dapat terjadi karena tidak aware, tidak tahu harus mulai dari mana, atau tidak melihat sebagai sesuatu yang bermanfaat. Tak mengherankan, sebagian besar aktivitas market intelligence hanya dilakukan saat ada kebutuhan. Dalam jangka panjang, aktivitas ini tidak mempunyai arti strategis dan tidak memberikan kontribusi dalam menemukan knowledge baru yang dibutuhkan para pengambil keputusan. (www.marketing.co.id)

2 COMMENTS

  1. Saya sedikit bingung dengan istilah yang digunakan dalam artikel ini. Istilah yang membuat bingung adalah Market Intelligence dan Market Information System. Ketika membaca bukunya Kotler, saya menemukan istilah Marketing Intelligence dan Marketing Information System. Yang menjadi kebingungan, kedua istilah tersebut (market intelligence dengan marketing intelligence dan Market Information System dengan Marketing Information System) merujuk pada satu maksud yang sama, tetapi kenapa harus berbeda istilah? Mohon orang yang tidak tahu marketing seperti saya ini diberi penjelasan. Janganlah orang bodoh disesatkan.

    • Mas Afan,

      Dalam dunia Marketing memang banyak istilah2 yang sebenarnya merujuk kepada satu maksud yang sama. Namun terkait pertanyaan mas Afan, saya akan mencoba membantu:

      Market intelligence secara umum merujuk kepada suatu tipe riset pasar (market research) yang mengumpulkan data dan informasi yang relevan dari suatu pasar yang spesifik. Tampilan data dan informasi umumnya bersifat sangat numerik dan lebih berfokus kepada pemain-pemain kunci dan performa bisnis mereka, bukan dinamika pasar.

      Sedangkan Marketing intelligence dalam pandangan saya secara pribadi memiliki pengertian riset pasar secara lebih luas berdasarkan pendekatan perspektif marketing, yang berarti menganalisis strategi komunikasi dan pemasaran terkini, positioning dan strategi-strategi lainnya di belakang layar yang memunculkan data dan informasi numerik suatu pasar.

      Semoga dapat membantu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.