IPO Perusahaan Teknologi Bernilai Strategis Bagi Indonesia

Marketing.co.id – Berita Marketing | Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyambut baik langkah berbagai perusahaan teknologi Indonesia untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) sebagai upaya penguatan modal. Hal ini memberikan fondasi peningkatan pertumbuhan dan daya saing perusahaan hingga tingkat global. Memahami besarnya minat perusahaan teknologi, Bursa Efek Indonesia (BEI) pun mulai membahas untuk menyesuaikan regulasi sebagai bentuk dukungan terhadap perkembangan industri ekonomi digital Indonesia. Saat ini, tujuh dari sebelas unicorn Asia Tenggara berasal dari Indonesia dengan total valuasi mencapai US$38miliar. Hak ini membuat IPO perusahaan teknologi nasional memiliki peran strategis.

Ketua Steering Committee IFSoc, Mirza Adityaswara, memaparkan perusahaan teknologi telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perusahaan teknologi melakukan berbagai inovasi melalui aplikasi transportasi, fintech, e-commerce, layanan pesan antar, edutech, hingga pendanaan UMKM (P2P Lending) sehingga roda ekonomi dapat terus berjalan di tengah pandemi Covid-19. Bahkan pemerintah telah memanfaatkan fintech untuk mendistribusikan insentif program Kartu Prakerja. Hal ini membuat perusahaan teknologi memiliki pertumbuhan yang sangat masif, sehingga membuat adanya kebutuhan akan modal tambahan. Namun saat ini, investor asing masih mendominasi dibandingkan investor lokal.

IFSoc Press Briefing - IPO
IFSoc Press Briefing – IPO

Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan sektor ekonomi digital berkembang pesat di Indonesia, di mana sekitar 70 startup centaur (valuasi di atas US$100 juta) di Asia Tenggara dan 38% centaur tersebut berasal dari Indonesia. Uniknya, sebagian besar perusahaan tersebut mengandalkan mekanisme pendanaan secara tertutup (private placement). Sedangkan menurut IFSoc, dua tahun terakhir, saham-saham perusahaan teknologi berperan positif dalam menggerakan pasar modal, di negara-negara seperti Amerika Serikat dan China.

“IPO perusahaan teknologi nasional memiliki arti strategis bagi arah ekonomi digital Indonesia termasuk membuka akses lebih luas dan likuid bagi investor yang ingin ambil bagian dalam perkembangan industri ekonomi digital. Oleh karena itu, IFSoc memandang perlunya kebijakan yang tepat untuk memfasilitasi tercapainya potensi pertumbuhan dengan tetap mempertimbangkan kaidah perlindungan terhadap investor minoritas,” tuturnya.

Steering Committee IFSoc, Rudiantara, menyampaikan bahwa IFSoc mendukung langkah BEI dalam merancang penyesuaian kebijakan untuk mengakomodasi perusahaan teknologi berskala unicorn dan decacorn untuk melakukan IPO di Indonesia. Mewakili IFSOC, beliau pun ikut serta mendukung inisiatif papan akselerasi dari BEI untuk perusahaan teknologi non-unicorn agar mendapatkan akses pendanaan yang lebih terbuka baik dari investor dalam negeri maupun asing.

IFSoc menyoroti beberapa isu yang memerlukan penyesuaian kebijakan, antara lain banyaknya perusahaan teknologi dengan bottom line yang belum mencatatkan laba dan tanpa tangible assets bernilai besar seperti perusahaan konvensional, namun memiliki pertumbuhan bisnis yang tinggi. IFSoc berpandangan BEI dan regulator terkait dapat menyesuaikan parameter bagi eligibilitas perusahaan teknologi untuk melakukan IPO terkait performa bisnis, keuangan serta tangible assets namun tetap memperhatikan aspek kesetaraan bagi perusahaan konvensional.

Selain itu, perusahaan teknologi juga memiliki karakteristik untuk melakukan fundraising atau right issue dengan intensitas yang cukup tinggi. Sehingga diperlukan penyesuaian kebijakan yang dapat mengakomodasi right issue perusahaan teknologi secara periodik dengan intensitas yang wajar. Hal ini menimbulkan konsekuensi bagi investor minoritas di mana kepemilikan saham mereka akan terdilusi dengan dilakukannya right issue. Menurut IFSoc, penyesuaian kebijakan ini harus tetap mengedepankan keberpihakan kepada investor minoritas.

Satu isu penting lainnya adalah struktur saham di Indonesia belum menerapkan multiple voting shares (MVS), yaitu suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya. MVS memungkinkan para pendiri perusahaan teknologi menjadi pemegang saham minoritas namun memiliki kendali untuk mengarahkan inovasi dan mempertahankan visi jangka panjang perusahaan. Namun di sisi lain, terdapat kepentingan untuk tetap melindungi investor minoritas. IFSoc berpandangan, diperlukan kriteria yang terukur terkait besaran voting rights yang dapat dimiliki oleh pendiri perusahaan untuk menyeimbangkan kepentingan investor minoritas.

Perusahaan teknologi juga perlu mengimplementasikan good corporate governance dengan memperkuat struktur organisasi perusahaan dengan Komite Audit, divisi Internal Audit dan penunjukan Komisaris Independen sehingga setiap keputusan pendiri dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di samping itu, perlu adanya komunikasi secara berkala kepada investor untuk menjelaskan peta jalan dan perkembangan perusahaan menuju kondisi keuangan yang sehat.

“Semua penyesuaian kebijakan terkait startup yang hendak IPO harus selalu mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan investor minoritas dan publik namun juga tetap memberikan insentif yang menarik bagi potensi masuknya pendanaan dari investor global ke Indonesia,” lanjut Menteri Komunikasi dan Informatika 2014 – 2019 ini.

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing & Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.