Jangan Terlalu Silau dengan e-Commerce, Perilaku Belanja FCMG Belum Berubah

Marketing.co.id – Berita Marketing | Pandemi Covid-19 membuat channel penjualan daring menjadi primadona. Banyak kalangan yang mengatakan channel penjualan daring penjualan menjadi penyelamat di era pandemi. Karena channel ini paling aman untuk melakukan transaksi. Di sisi lain, channel penjualan daring juga telah mengubah perilaku konsumen dalam berbelanja.

Benarkah demikian? Jika melihat data yang ada pelaku bisnis, khususnya sektor FCMG (Fast Moving Consumer Good) mesti berhati-hati . Sinyal ini dilontarkan oleh Yongky Susilo, Retail & Consumer Strategist, saat webinar bertajuk “Is Consumer Behavior Changing? A Business Outlook 2021 With Hard Fatcs For Indonesian Consumer Good” beberapa waktu lalu.

Yongky mengungkapkan, bahwa dalam tiga tahun terakhir (2017 – 2019) perilaku belanja produk FMCG plus rokok masih didominasi channel general trade dengan kontribusi mencapai 70%, disusul modern trade 29%. Adapun kontribusi e-commerce  masih dibawah 1%.

Baca juga: Ini Daftar Merek FMCG yang Paling Banyak Dibeli Konsumen Indonesia

Yongky Susilo, Former Executive Director Nielsen Indonesia, Retail & Consumer Strategist. Foto: Tangkapan Layar Webinar.

“Dominasi belanja kebutuhan pokok masih di toko tradisional dan ‘pasar basah’. Modern outlet masih stabil. E-commerce masih signifikan. Trade Behavior ini tidak akan banyak berubah dalam 5 tahun ke depan,” tegas Yongky.

Berangkat dari data tersebut, Yongky meyakni pasca pandemi perilaku konsumen akan kembali normal. Karena itu dia tidak sepakat dengan istilah “new normal”. “Beberapa sektor akan mati karena pandemi, menurut saya tidak sejauh itu, seolah sudah tidak ada optimisme sama sekali, karena saya percaya perubahan itu organik, tidak secara total,” imbuhnya.

Yongky juga menyarakan agar pelaku FMCG tidak terlalu “silau” dengan e-commerce, karena selain kontribusinya masih sangat minim, produk yang laku di e-commerce sebagian besar (99%) kategori lifestyle. “FMCG secara offline distribusinya sudah sangat efisien, dan ini bukan produk aspiratif. Mau minum ngapain beli online, tinggal beli ke depan rumah. Lagi pula kalau Covid selesai kita kembali normal, akan ke luar rumah, kita tidak betah di rumah kok,” papar Yongky.

Webinar juga menghadirkan Ricky Afrianto, Global Marketing Mayora Group sebagai pembicara. Ricky mengatakan, Dalam berbelanja, konsumen akan memiliki merek yang sudah dikenal dan memiliki ekuitas merek yang kuat. “Pada saat terjadi pandemi, merek yang tidak kuat akan terdampak lebih besar,” tandasnya.

Ricky Afrianto, Global Marketing Director, Mayora Group. Foto: Tangkapan Layar Webinar.

Baca juga: Membangun dan Mengelola Brand Equity (UPDATED)

Menyinggung soal digitalisasi di industri FMCG, proses ini di Indonesia tidak akan semasif di China. Proses digitalisasi FMCG di Indonesia katanya akan berlangsung bertahap. Lebih lanjut dia mengatakan, ada dua hal yang membuat e-commerce di Indonesia berbeda dengan di China. Di China, sudah biasa konsumen membeli produk FCMG secara online dengan jumlah banyak. Sementara di Indonesia fenoma ini belum terjadi.

“Di Indonesia orang masih terbiasa beli produk FMCG secara eceran di warung terdekat. Okey kita beri diskon, misalnya kopi sachet Torabika, tapi untuk dapat promo minimal pembeliannya Rp100 ribu, mereka masih akan mikir. Jadi FMCG ada dua kendala, satu delivery cost/logistic fee  dan perilaku konsumen. Kalau haus ngapain beli online, beli ke warung depan. Logistic fee kita masih yang termahal di ASEAN,” tuturnya.

Marketing.co.id: Portal Berita Marketing & Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.