Jebakan Pertumbuhan Tinggi

www.marketing.co.id – Akibat persaingan yang sangat ketat, dari waktu ke waktu berbisnis dirasakan semakin sulit. Sehingga, muncul dua fenomena yang berkembang: banyak pebisnis yang gagal di pasar dan pebisnis yang mampu bertahan dan merasa dirinya paling hebat. Pebisnis yang eksis menganggap dirinya sudah bisa tumbuh dengan cepat dan menguasai dunia.

Tetapi, di balik kepercayaan diri itu sebenarnya terdapat rasa khawatir yang mendalam. Beberapa kekhawatiran itu, di antaranya: mungkin perusahaan yang tertinggal akan segera menyusul dan menyalip, atau ia harus bisa menyalip perusahaan yang ada di depannya dengan mengakuisisi perusahaan yang lebih kecil, dan lain sebagainya.

Umumnya perusahaan melakukan ekspansi secara cepat dan penambahan kapasitas menjadi prioritas utama. Bisa saja ekspansi itu dilakukan dengan berpatokan pada geografis wilayah, misalnya membangun fasilitas baru dan memasarkan produk ke wilayah baru di dalam dan luar negeri. Atau, perusahaan membesarkan bisnis dengan membidik segmen pasar yang baru.

Industri komputer, misalnya, melebarkan basis konsumen dari pemerintah ke swasta perorangan. Itu hal yang biasa karena ekspansi pasar dimulai dari konsumen bermargin tinggi ke konsumen yang bermargin lebih rendah. Namun, bahaya akan tiba ketika ekspansi ke pasar yang lebih luas dilaksanakan, terutama bila pertumbuhannya tak terkendali. Hampir selalu ada potensi gagal saat perusahaan menyesuaikan diri pada pasar yang bermargin rendah.

Lini produk baru cenderung memiliki margin lebih rendah sebagaimana terjadi pada industri komputer. Industri bergerak dari mainframe ke minicomputer, lalu ke personal computer (PC) untuk menemukan produk yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Tapi, apa yang terjadi dengan bisnis PC IBM? Perusahaan yang berkembang pesat tersebut harus mewaspadai penurunan margin saat itu. Padahal, ekspansi bisnis selalu meningkatkan pendapatan dan yang menjadi tolok ukur adalah keuntungannya.

Di Indonesia, banyak sekali contoh yang dapat dilihat dalam kasus ini. Di industri telekomunikasi, misalnya, dulu mereka berfoya-foya dengan margin yang sangat besar karena menyasar segmen menengah atas dengan mematok tarif begitu mahal. Tetapi, saat menurunkan tarif dan membidik pasar menengah ke bawah yang lebih luas, mereka terjebak pada penurunan pendapatan dan margin. Dan, mereka tidak bisa menghindari kenyataan itu sampai sekarang, tidak terkecuali Telkomsel, Indosat, Excelcomindo Pratama.

Memang pertumbuhan memerlukan modal. Pertumbuhan cepat perlu modal lebih banyak. Untuk mendapatkan modal secara cepat, perusahaan bisa menempuh jalur go public. Namun, setelah menjual diri melalui initial public offering, pemegang sahamnya sudah tidak lagi menjadi tuan bagi perusahaan sendiri. Seperti serigala yang sedang lari, perusahaan akan dikejar-kejar analis dan investor yang berteriak mengenai pertumbuhan. Di saat yang sama, perusahaan Anda juga akan dihantui oleh penurunan saham yang ditawarkan. Sehingga, Anda akan ditekan untuk tumbuh dan tumbuh dengan lebih cepat lagi.

Pada banyak kasus, ketika jebakan sudah mulai menjerat, pemimpin perusahaan berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengulur waktu adalah mengakali angka-angka. Contoh yang bisa dilihat adalah melejit dan ambruknya Krispy Kreme. Krispy Kreme didirikan oleh Vernon Rudolph pada tahun 1937. Pada awalnya Rudolph menjual donatnya ke toko-toko perbelanjaan. Menurut legenda, siapa saja yang melewati pabrik rotinya di Ivy Avenue akan tergoda oleh aroma yang menyebar, sehingga ia akan mengetuk pintu dan memaksa membeli langsung. Rudolph menyambutnya dan ia pun mulai mengelola bisnis ritel.

Perlahan-lahan Rudolph mulai mengembangkan usahanya. Setiap gerai membuat donat hangatnya sendiri, menggunakan bahan adonan spesial 50 pound yang diproduksi pabrik Ivy Avenue. Donat yang empuk dan berpenampilan menarik segera menjadi populer. Ketika Rudolph meninggal pada tahun 1973, baru sekitar 50 gerai yang menjual donatnya, kebanyakan di wilayah tenggara.

Tiga tahun kemudian Beatrice Foods membeli jaringan tersebut dan mulai membesarkannya. Beatrice juga mencoba mengubah pola operasinya, menjual sup dan sandwich di tengah hari, ketika permintaan kopi menurun dan konsumen lebih memilih memakan donat yang lebih murah untuk menekan biaya. Tapi sayangnya, kedua inisiatif tersebut gagal total. Akhirnya, sekelompok waralaba lama membeli kembali perusahaan itu senilai US$ 22 juta dengan pinjaman bank. Resep originalnya dipakai, beberapa gerai yang didirikan Beatrice ditutup, dan rencana ekspansi dihentikan secara permanen karena masih besarnya beban utang.

Pada tahun 2000, CEO Scott Livengood membawa perusahaan ini ke pasar bursa, mengumumkan membuka 500 gerai baru dalam empat tahun ke depan, bersamaan dengan ekspansi ke Kanada. Pada tahun 2002, Krispy Kreme telah memiliki 292 gerai dan membukukan laba penjualan hingga US$ 492 juta. Dan, CEO Livengood mulai membusungkan dada.

Krispy Kreme tidak hanya membuka gerai baru untuk memperluas dan meningkatkan pangsa pasar. Ia tidak puas hanya dengan menguasai pasar donat hangat dan meleburkan dirinya sendiri dengan mencairkan identitas mereknya, memasarkan donat ke jaringan pasar swalayan, minimarket, dan raksasa pengecer seperti Wal Mart dan Costco. Penjualan memang meningkat, tapi biaya yang dikeluarkan sangat besar.

Akhirnya Krispy Kreme berakhir dengan mimpi buruk. Pada Januari 2005, harga sahamnya terjun bebas ke angka US$ 8,72. Livengood yang pernah menjadi anak emas WallStreet secara dramatis ditendang dari posisinya yang oleh BusinessWeek pernah dijuluki sebagai salah satu manajer terburuk pada tahun 2004. Sehingga, dapat dipahami bahwa Krispy Kreme terlalu cepat, Livengood menciptakan budaya perusahaan yang terlalu menekankan pertumbuhan penjualan yang justru berbuah malapetaka.

Perlu dicatat, unsur penting penyebab kegagalan Krispy Kreme adalah karena memakai waralaba untuk ekspansi bisnis. Salah satu kesulitan yang dihadapi Krispy Kreme adalah pembelian kembali waralaba yang gagal. Bandingkan dengan Starbucks yang sebelum pembelian Best Cofee, Seatle, pada tahun 2003, tidak pernah membuka gerai waralaba.

Jadi, sebagai pemasar, janganlah terburu nafsu untuk menguasai pasar dengan menggenjot penjualan secara besar-besaran, tapi kualitas dalam meraih tujuan perusahaan menjadi terabaikan. Bagaimanapun tujuan pemasaran adalah membuat penjualan menjadi tidak penting.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.