Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia

www.marketing.co.id – Setiap kali saya mengajar, memberikan training atau seminar dalam bidang marketing, saya cenderung memberikan banyak contoh atau kasus pemasaran yang terjadi di Indonesia. Contoh-contoh yang berbau terlalu Amerika, cenderung saya kurangi kecuali memang bila topiknya adalah sekitar pemasaran global.

Setelah bergelut dengan banyak data konsumen Indonesia melalui ratusan riset perilaku konsumen, saya sadar bahwa konsumen Indonesia memiliki keunikan dalam hal attitude, perilaku maupun proses pengambilan keputusan dalam mengevaluasi dan membeli produk. Dengan demikian, sangatlah sulit untuk dimengerti bahwa konsep marketing yang terlalu Amerika, dapat sepenuhnya menjelaskan fenomena untuk perilaku pasar Indonesia.

Misalnya saja, dalam bidang budaya, orang Indonesia memiliki budaya tersendiri yang jelas jauh dibandingkan dengan budaya Amerika. Masyarakat Indonesia memiliki norma dan non verbal communication yang demikian unik. Bahkan antar suku atau etnis saja yang ada di masyarakat Indonesia, sudah demikian beragamnya. Banyak daerah memiliki norma tersendiri. Kebiasaan makan yang berbeda-beda saja, akan membuat perbedaan dalam kemajuan industri makanan dari satu daerah ke daerah lain. Tidak mengherankan, untuk produk makanan dan minuman, sangatlah sulit suatu merek dapat mendominasi pangsa pasar nasional secara merata di setiap daerah.

Kopi, kecap, teh, jamu, roti, biskuit, snack, dan mie adalah sederet contoh produk di mana faktor daerah sangat dominan. Ada daerah yang suka manis, ada yang lebih suka asin. Ada daerah yang makan dengan sendok, ada pula yang menggunakan tangan. Ini pelajaran yang tidak pernah diperoleh di Amerika di mana kecenderungannya, antar satu negara bagian dengan negara bagian lainnya, relatif homogen. Perbedaan di Amerika lebih banyak justru karena sistem desentralisasi dari pemerintahan negara bagian yang sangat kuat, sehingga menghasilkan regulasi yang berbeda-beda. Ini kemudian yang membuat struktur persaingan dari satu negara bagian berbeda-beda, tetapi karena budaya dan kesukaan terhadap makanan yang berbeda.

Orang Indonesia memiliki non verbal communication yang berbeda-beda. Kita mengintepretasikan arti warna yang berbeda-beda. Sebagai negara muslim, warna hijau lebih favorit. Demikian pula, pasar kita memiliki banyak produk yang khusus ditujukan untuk para muslim.

Salah satu faktor eksternal penting lain yang membuat perbedaan dalam perilaku konsumen adalah tingkat pendidikan. Dengan sekitar 50% konsumen lulusan SMA untuk masyarakat perkotaan dan sekitar 60% yang tidak menyelesaikan SMP untuk masyarakat pedesaan, sangat sulit untuk membayangkan bahwa strategi pemasaran di Amerika dapat dengan mudah diterapkan untuk pasar Indonesia. Salah satu implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan adalah sedikitnya konsumen yang suka membaca. Itulah sebabnya, iklan di televisi adalah pemilihan media yang masih sangat powerful untuk menjangkau pasar Indonesia. Rasanya sungguh sulit untuk menjadi produk nasional tanpa mengandalkan iklan televisi. Itulah sebabnya juga, biaya iklan, 60-65% masuk ke kantong-kantong stasiun televisi. Padahal, beberapa negara seperti Singapura, justru iklan di media cetaklah yang terbesar.

Tidak mengherankan, apabila konsumen Indonesia sebenarnya mencerna informasi yang lebih sedikit dalam membuat keputusan. Tidak mengherankan pula, konsumen Indonesia kadang-kadang lebih emosional dalam membuat proses keputusan untuk memilih dan membeli suatu produk.

Pengaruh eskternal unik lainnya adalah dalam hal “group reference”. Ini adalah bagian yang sungguh-sungguh tidak dapat dibandingkan dengan masyarakat Amerika. Dalam konteks ini, pengaruh para opinion leader sungguh besar. Untuk suku Jawa, Madura atau Sunda, ulama memiliki peran yang sangat besar terhadap masyarakat untuk menentukan pilihan mereka untuk produk-produk tertentu. Mereka menjadi panutan bagi masyarakat dalam menyaring informasi. Saran dan keteladanan mereka menjadi bagian yang dipertimbangkan dalam membuat evaluasi terhadap pembelian suatu produk. Demikian pula, untuk beberapa suku di mana tradisi adatnya masih kuat seperti suku Bali, para pemimpin adat ini jugalah yang menjadi opinion leader.

Mudah dipahami apabila kemudian banyak perusahaan telekomunikasi, perbankan, makanan dan minuman yang kemudian mendukung kegiatan dari para ulama ini. Tujuannya adalah untuk merebut simpati mereka dan secara tidak langsung, kalau para ulama menyarankan untuk membeli merek “X”, sekitar 30% hingga 50% dari pengikutnya akan segera memilih merek yang sama.

Masyarakat Indonesia adalah kelompok yang memiliki tingkat socializing yang kuat. Bahkan, ungkapan orang Jawa yang menyatakan bahwa ”berkumpul lebih penting daripada makan” sudah merupakan cerminan akan kekuatan pembentukan grup dan komunitas. Demikian pula, etnis Sunda, Minang, Bali, Batak dan lain-lain, juga memiliki kebiasaan yang kuat untuk hidup berkomunitas, gotong-royong dan menjadi satu grup-grup. Adanya perkumpulan dalam bentuk dharma wanita, arisan, karang taruna adalah wujud perilaku nyata dari kehidupan berkomunitas masyarakat Indonesia.

Dampak dari tingkat komunitas yang kuat ini sangatlah besar untuk strategi pemasaran terutama dalam konteks penetrasi pasar. Salah satu strategi yang penting adalah strategi komunikasi. Proses komunikasi yang menggunakan word of mouth menjadi sangat efektif yang membantu penetrasi pasar dari suatu merek. Kenyataan dari penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa komunikasi word of mouth di Indonesia memang efektif. Pastilah lebih efektif dibandingkan dengan yang ada di pasar Amerika. Bukan hanya faktor socializing, tetapi kebiasaan orang Indonesia yang banyak membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dan memiliki kecenderungan kuat untuk membagi informasi, sudah merupakan bumbu penyedap untuk komunikasi dari mulut ke mulut ini. Mereka berbagi mengenai kehidupan keluarga, mereka bercerita mengenai pakaian, kosmetik, cara merawat kesehatan, aktivitas, dan lain-lain.

Jumlah jam kerja produktif yang lebih kecil dari masyarakat Amerika, membuat waktu kita untuk berkumpul dan ngobrol lebih tinggi lagi. Tidak mengherankan, bila Amerika mencatat bahwa kalau konsumen puas akan cerita kepada sekitar 2-5 orang, angka ini pastilah terlampaui untuk pasar Indonesia. Dari salah satu penelitian yang saya lakukan, konsumen Indonesia yang puas akan bercerita kepada sekitar 5-15 orang, tergantung dari jenis produk dan target pasar yang dibidik.

Berbagai faktor eksternal di atas juga kemudian mempengaruhi faktor internal seperti proses pembentukan persepsi, kapasitas memori, motivasi, attitude, gaya hidup dan akhirnya proses perilaku pembelian. Berikut ini, saya ingin berbagi 2 keunikan konsumen Indonesia yang bersifat internal dan individu.

Konsumen Indonesia cenderung memiliki short-term memory yang lebih dominan. Ini adalah gabungan antara tingkat pendidikan dan kelas sosial yang lebih rendah, budaya dan norma, serta pengaruh sistem-sistem yang ada dalam masyarakat. Ini saja sudah membuat implikasi yang sangat besar terhadap strategi positioning suatu produk. Saya memiliki keyakinan besar bahwa pemasar Indonesia akan mengalami kesulitan yang sangat besar bila menawarkan suatu benefit yang bersifat jangka panjang. Itulah sebabnya, semua produk baru yang menawarkan benefit dalam jangka waktu 10 tahun atau 20 tahun, sungguh lambat proses penetrasinya.

Vitamin dan makanan kesehatan yang mudah diterima adalah produk yang membuat konsumen segar setiap hari—bukan sehat setelah 10 tahun lagi. Bahkan, konsumen lebih mengejar harga murah dan rasa enak untuk sebuah makanan, daripada implikasinya terhadap kesehatan dalam jangka panjang. Tidaklah mengherankan bila bumbu penyedap, bahan pengawet ataupun bahan additive yang masih menyisakan kontroversi dalam hal pengaruhnya terhadap kesehatan, masih terus memiliki pasar yang berkembang.

Demikian pula bahwa produk asuransi yang menawarkan benefit jangka panjang, masih sangat kecil pasarnya di Indonesia. Konsumen di Indonesia sunguh sulit diajak untuk berpikir jangka panjang. Bahkan untuk masyarakat kelas sosial bawah, diajak berpikir untuk 1 tahun ke depan pun, terasa sulit. Mereka terbiasa dengan pola pikir satu hari dan kemudian selesai untuk menyambut esok harinya.

Hampir sama dengan karakter pertama, maka konsumen Indonesia juga cenderung tidak memiliki rencana. Ini yang membuat pola belanja konsumen Indonesia relatif tidak teratur. Ini yang membuat proses pembelian melalui impulse buying relatif tinggi. Ini yang membuat produk yang sifatnya harus dikonsumsi secara berkala dan terencana, juga mengalami kesulitan. Tidaklah mengherankan bagi saya, bila menjelang hari H-2 proses pendaftaran untuk kartu prabayar, baru sekitar 60% yang melakukan pendaftaran. Saya percaya, pada hari terakhir, akan ada jutaan yang kemudian melakukan pendaftaran ulang.

Halaman ini tentunya tidak cukup panjang untuk membuat daftar keunikan konsumen Indonesia. Intinya, para marketer jangan terlalu fokus hanya melulu belajar studi kasus dari negeri Paman Sam. Sungguh, kita berhadapan dengan realitas pasar yang berbeda. (Handi Irawan D.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.