Kebebasan Merek

www.marketing.co.id – Pemilik merek sekalian, coba evaluasi kembali: apakah Anda benar-benar membebaskan merek Anda untuk berkembang atau justru mengekangnya? Mengapa demikian? Karena banyak fakta yang terjadi, antara lain, pemilik bisnis dengan manajer merek kompak membangun merek mereka, atau malah pemilik merek selalu mencampuri proses pengembangan mereknya walaupun terlalu berlebihan.

Seandainya hal pertama yang menjadi pilihan, itu sangat bagus karena semua operator merek membangunnya dengan satu arah yang sama. Namun, jika hal kedua yang mendominasi, sudah pasti merek itu akan berjalan tak wajar. Sebab campur tangan atau pengekangan pemilik bisnis terhadap pengembangan merek akan “membunuh” merek itu sendiri secara cepat atau lambat. Itu biasanya tak disadari oleh pemilik bisnis.

Ada banyak macam kasus dalam hal mengekang kebebasan merek ini, seperti memaksakan kelahiran merek meski survei tak menghendakinya, memasukkan strategi-strategi yang justru menjadi “batu sandungan” sebuah merek, atau mengarahkan merek itu harus begini dan begitu sesuai kehendak sendiri. “Kerikil-kerikil” itulah yang membuat merek tidak bisa tumbuh subur meski berada di pasar yang gembur. Merek itu selayaknya dipupuk, tetapi juga diperciki pestisida yang membunuhnya.

Sebagai contoh, ada satu merek nasi goreng instan yang dilahirkan perusahaan besar di Indonesia, padahal surveinya negatif. Hasil survei yang dilakukan sebelum kemunculannya menunjukkan bahwa konsumen tidak menghendaki nasi goreng instan, karena yang lebih fresh bisa dengan mudah dijumpai di mana-mana. Namun, nasi goreng instan tersebut dipaksa beredar oleh perusahaannya. Merek tersebut akhirnya mati sebelum berkembang. Terlalu dipaksakan, apa pun kasusnya, tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Kemudian, hal yang paling gampang adalah surat-surat kabar yang muncul secara musiman, misalnya menjelang pemilihan umum. Penerbitan surat kabar yang didorong oleh kepentingan pribadi ataupun golongan dan partai politik tertentu akan membunuh merek surat kabar itu sendiri. Pada tahun 2008 lalu, banyak sekali contoh surat kabar yang bermunculan menyambut pesta demokrasi tahun 2009. Setelah pesta demokrasi usai, surat-surat kabar itu hilang satu per satu. Tahun depan, contoh-contoh yang sama akan kembali terjadi mendekati Pemilu 2014, serta hilang lagi dan lagi.

Alasan Konsumen

Riset sebelum memasarkan merek tertentu sangat penting untuk mengetahui apakah konsumen memiliki alasan agar membeli merek tersebut atau tidak. Kalau risetnya saja negatif—seperti nasi goreng instan tadi—yang artinya merek tersebut tak dikehendaki konsumen, akhirnya merek tak bisa berkembang. Jadi, perusahaan harus memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan, persepsi, preferensi, dan perilaku konsumen sehingga memiliki keunggulan kompetitif. Pemahaman mendalam tersebut dikenal dengan istilah customer insight. Riset yang diperlukan untuk customer insight bisa berupa fokus grup, survei, wawancara mendalam, observasi di rumah, observasi di toko, atau bahkan dengan mystery shopping. Namun, di sini juga terkait strategi membangun persepsi konsumen terhadap sebuah merek. Membangun persepsi konsumen itulah yang harus digalakkan untuk membangkitkan alasan konsumen supaya melakukan pembelian.

Dalam tataran ini, pakar pemasaran David A. Aaker mengemukakan bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk ataupun jasa yang sama sesuai harapan. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas merek. Persepsi kualitas mempunyai atribut penting yang dapat diaplikasikan dalam berbagai hal, di antaranya kualitas objektif (actual or objective quality), kualitas isi produk (product-based quality), dan kualitas proses manufaktur (manufacturing quality).

Kualitas produk yang objektif dapat dirasakan apabila konsumen benar-benar mendapatkan keuntungan lebih dari sebuah merek yang mereka beli. Kalau konsumen tidak merasa mendapatkan kelebihan apa-apa, mereka akan sekali membeli lalu “kabur”. Padahal loyalitas konsumen akan mendongkrak nilai merek dan mengurangi beban program pemasaran, termasuk periklanan. Walaupun Coca-Cola, Aqua, Toyota, Pepsodent, Kacang Garuda, dan lain sebagainya tetap harus beriklan demi mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar.

Kemudian, kualitas isi produk berarti karakteristik dan kualitas unsur, bagian, atau pelayanan yang disertakan. Pemasar harus memerhatikan poin ini karena akan meningkatkan persepsi konsumen terhadap merek yang dipasarkan. Lantas, buatlah merek Anda dengan hasil akhir yang tanpa cacat alias zero defect. Gampangnya begini, cobalah Anda perhatikan, manufaktur-manufaktur elektronik akan memasarkan produk yang normal secara kualitas dan hasil akhir dengan harga normal pula sesuai yang telah ditetapkan. Tapi, ada pula yang dipasarkan dengan diskon besar-besaran hanya karena cacat sedikit. Semua itu demi persepsi konsumen.

Pada dasarnya, untuk membangun merek yang kuat dan terus berkembang, sebaiknya perusahaan lebih mengutamakan konsumen yang menjadi targetnya, daripada kepentingan pebisnis atau perusahaan secara pribadi. Sebab pasar tidak memberi toleransi pada merek-merek yang bertindak setengah-setengah dalam melayani mereka. Sekali saja konsumen dikecewakan, perusahaan harus bertindak dua-tiga kali, atau bahkan lebih, untuk mengembalikan kepercayaan terhadap mereknya. Jadi, biarlah pasar tumbuh atas dasar kehendak konsumen, bukan berkat campur tangan Anda yang justru berpotensi menjadi “kerikil-kerikil kecil yang tajam” bagi merek tersebut. (Darmadi Durianto)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.