Kebijakan Properti di Era Jokowi

Kemudahan kepemilikan asing sulit diwujudkan dari sudut pandang ekonomi dan politik (Foto: Incorporateinitaly.wordpress.com)
Kemudahan kepemilikan asing sulit diwujudkan dari sudut pandang ekonomi dan politik (Foto: Incorporateinitaly.wordpress.com)

Minggu ini, Presiden Indonesia terpilih Joko Widodo resmi dilantik menggantikan Presiden SBY yang menjabat selama dua periode.

Banyak harapan yang menyertai masa jabatannya. Portal properti global Lamudi menganalisis salah satu dampak yang mungkin terjadi pada pasar properti di Indonesia.

Semasa masih menjadi calon presiden, Jokowi berencana mengizinkan investasi asing di real estate. Langkah tersebut ditujukan untuk mendorong masuknya investasi langsung asing, dan menaikkan pemasukan pajak negara.

Namun melihat situasi dan tren yang ada sekarang, hasil pembicaraaan Lamudi dengan Tim Alamsyah, konsultan Trimegah Securities dan mantan analis properti untuk UBS Investment Bank, mengungkap bahwa kebijakan properti ini bukanlah sesuatu yang baru.

Langkah ini pernah dicoba sebelumnya dan hasilnya tetap jalan di tempat karena memerlukan revisi UU Agraria oleh DPR, yang sangat terfragmentasi.

Lagipula, lanjut Tim Alamsyah, membuka pasar bagi orang asing bisa mengakibatkan apresiasi harga lebih tinggi dari yang diharapkan — sesuatu yang justru hendak dibatasi pemerintah.

Meski kebijakan ini ditargetkan bagi apartemen diatas nilai Rp 2.5 miliar untuk membatasi dampak yang ditimbulkan, namun akan sulit untuk menjaganya tetap di segmen tersebut.

Jakarta merupakan salah satu tempat yang memiliki performance paling baik di pasar properti global. Melihat potensi dan populasi Indonesia, akan banyak investor asing yang berlomba-lomba mengambil kesempatan ini.

Dengan  permintaan yang besar dari investor asing, harga pada segmen ini tentu akan mengalami kenaikan. Dan, dengan permintaan yang bertambah, semakin banyak supply yang ditargetkan untuk memenuhi permintaan asing ini dan supply untuk permintaan lokal akan tetap tidak terpenuhi.

Dengan kata lain, terdorongnya harga apartemen di level premium juga menyebabkan naiknya harga apartemen di level menengah. Pasar properti akan terus meroket, jauh di atas kemampuan ekonomi masyarakat pada umumnya.

Situasi semacam ini dapat dilihat di Singapura dan Inggris. Di Inggris, kota London menjadi pasar properti yang “sangat panas” untuk investor  asing.

Harga properti rata-rata mencapai GBP 270 ribu, 10 kali rata-rata gaji minimum di kota London dan 33% lebih tinggi dari rata-rata gaji minimum di Inggris. Hanya saja, suku bunga KPR di negeri ini masih cukup rendah, sehingga hargaa perumahan masih cukup terjangkau.

Situasi tersebut berbeda dengan yang ada di Indonesia. Harga properti di Jakarta saja sudah mencapai 12 kali lipat dari rata-rata gaji minimum menurut FT.

Suku bunga KPR yang tinggi, dan akan semakin tinggi, harga properti diprediksi akan terus naik sehingga menyebabkan warga Indonesia semakin tidak mampu membeli properti.

Akhirnya, tekanan inflasi dari langkah ini akan mengurangi kemampuan beli masyarakat Indonesia dan nilai kerugiannya akan lebih besar dari nilai pajak yang berhasil dikumpulkan.

Dari segi politis, Presiden juga tidak mempunyai suara mayoritas DPR untuk bisa meloloskan kebijakan tersebut.Mayoritas wakil rakyat dapat melihat bagaimana masyarakat Indonesia sulit bersaing dengan orang asing dalam hal pembelian properti.

Situasi ini bisa memicu kekecewaan publik yang lebih luas terhadap pemerintahan dan menimbulkan reaksi di media.

Tujuan Presiden Jokowi mengambil langkah tersebut bisa jadi hanya sebagai manuver politik semasa kampanye. Lagipula, meski kebijakan tersebut tidak diloloskan, orang asing masih mempunyai kesempatan untuk membeli properti melalui proxy ataupun kemitraan. Demi kebaikan rakyat Indonesia, diprediksi kebijakan tidak akab berubah dalam waktu dekat ini.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.