Kecerdasan Dikembangkan atau Dilahirkan?

Marketing.co.id –  Menurut peneliti sekaligus psikolog Carol Dweck, penulis “Mindst: The New Psychology of Succes,” jawaban Anda bisa memiliki dampak pada kesuksesan masa depan dan bisnis Anda.

Dweck menyebut dua golongan, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Growth mindset cenderung eksponensial, lebih inovatif dari pada mereka yang memiliki fixed .Growth mindset adalah sebutan untuk orang-orang yang berani mengambil risiko dan belajar agar dapat berkembang.

Sedangkan fixed mindset adalah orang-orang yang percaya bahwa bakat dan kecerdasan sudah ditetapkan. “Sudah dari sono-nya,” demikian menurut keyakinan mereka.

Berikut hal-hal yang bisa Anda pelajari untuk menjadi seorang manajer yang baik, inovator yang lebih baik, dan orang yang lebih baik.

Rasa takut gagal berdampak pada kemampuan seseorang dalam berinovasi?

Ini membuat Anda takut dihakimi. Inovasi atau kreativitas adalah soal melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan. Jika Anda memiliki fixed mindset, kemampuan Anda akan terbatas. Anda takut untuk memilih tugas-tugas sulit. Anda berpikir, “Bagaimana jika saya tidak berhasil?”

Dalam penelitian yang dilakukan Dweck, ketika diberikan pilihan untuk kembali ke pada sesuatu yang sudah dilakukan dengan baik, atau sesuatu yang tidak dilakukan dengan baik, mereka kembali ke hal-hal yang sudah mereka tahu. Dalam skenario itu, Anda tidak berkembang, atau keluar dari zona nyaman Anda. Anda ingin terlihat cerdas.

Mereka dengan fixed mindset berpikir bahwa upaya besar, perjuangan besar berarti Anda tidak cerdas. Tetapi orang-orang dengan growth mindset sangat menikmati upaya tersebut dan menyambut perjuangan. Mereka memahami bahwa inovasi membutuhkan itu.

Kedua pola pikir itu berpengaruh pada cara seseorang menghadapi kesuksesan maupun kegagalan

Orang-orang dengan growth mindset tidak selalu menerima kemunduran. Mereka sudah pasti berharap untuk terus maju, namun mereka juga tahu bahwa ada informasi yang dibutuhkan untuk maju dan menjadi lebih baik. Mereka melihat itu sebagai tantangan yang harus dihadapi.

Sementara bagi orang-orang dengan fixed mindset, sebuah kemunduran menyerukan kemampuan Anda dipertanyakan. Semua adalah tentang: “Apakah saya pintar? Apakah saya tidak pintar?”

Jika Anda selalu mengelola citra agar terlihat cerdas, Anda tidak akan berani mengambil tugas yang paling sulit, apalagi berpikir untuk mencari cara mengerjakan dengan inovatif.

Pola pikir akan menentukan bagaimana perusahaan memandang sebuah proyek gagal

Seperti dilansir www.openforum.com, orang-orang yang memiliki growth mindset mengatakan bahwa mereka merasa didukung oleh perusahaan untuk mengambil risiko, serta jika mereka mengambil risiko yang wajar dan gagal, perusahaan akan tetap mendukung mereka. Tetapi, perusahaan yang memiliki fixed mindset hanya memuja bakat, mereka tidak memiliki keleluasaan untuk bertindak.

Di Silicon Valley ada sebuah yayasan yang memberikan penghargaan “Failure of the Year.” Ini bukan proyek yang menghamburkan banyak uang. Penghargaan ini untuk sebuah proyek yang gagal. Satu pelajaran yang mereka dapatkan dari penghargaan ini adalah mereka bisa “memberi makan” kembali ke organisasi, serta dapat membuat organisasi lebih mungkin untuk berhasil di masa yang akan datang.

Anda bisa mendapatkan begitu banyak value added dari sebuah proyek gagal jika Anda mencoba memahami mengapa hal itu gagal dan bagaimana membuat sesuatunya bekerja lebih baik lagi di masa mendatang.

Jadi perusahaan bisa mengeluarkan pesan bahwa merek berkomitmen untuk pengembangan setiap orang dalam perusahaan, mereka percaya bakat dapat berkembang, dan mereka akan menunjang pertumbuhan.

Pola pikir menentukan bagaimana melakukan post-mortem

Kebanyakan orang tidak melakukan post-mortem setelah sukses. Mereka mengatakan, “Ya, itu berhasil!” Tapi mereka tidak menganalisa itu.

Mereka tidak tahu cara mengembangkannya, dan tidak tahu faktor di balik keberhasilan tersebut. Jadi mengevaluasi keberhasilan sangatlah penting.

Banyak sekali perusahaan yang melakukan post-mortem ketika terjadi kegagalan, tetapi  semua tentang menyalahkan. Siapa yang mengacaukan hal ini? Yang kehilangan klien? Sebagai kebalikan dari menganalisis proses tersebut, apa yang salah, tanpa menyalahkan. Sebab, jika ada aura menyalahkan, orang tidak akan tampil ke depan dan berkata, “Ya, itu aku. Aku orang jatuh. Sematkan itu pada saya.”

Jadi post-mortem ini harus dilakukan dalam suasana penuh pembelajaran, bukan menyalahkan. Orang yang maju ke depan dan berkata “mungkin apa yang saya lakukan di sini tidak berhasil “, mungkin kita bisa belajar dari kejadian itu. Mereka seharusnya dikagumi serta dipuji.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.