Keindahan Craft di Tangan Seorang Akuntan

Ashley Craft sudah tidak asing di telinga konsumen, khususnya segmen kelas atas. Bisnis yang diawali dari sekadar hobi, kini telah berkembang menjadi usaha yang beromzet miliaran rupiah.

Berawal dari hobi mengutak-atik kain menjadi sejumlah craft (kerajinan tangan) di waktu luang, kini Lanny Harjani, pemilik dari Ashley Crafts, berhasil membangun bisnis craft sendiri dengan omzet puluhan, bahkan sampai ratusan juta rupiah sebulan. Dia mengaku, mulanya tidak menyangka hobi yang ia lakoni sejak SD ini bisa menjadi lahan bisnis yang menguntungkan seperti sekarang.

“Sejak kecil, saya memang suka sekali dengan kegiatan kerajinan tangan. Maka tidak heran, setelah dewasa, saya sering diminta teman-teman membuatkan aksesori atau cinderamata untuk pernikahan mereka,” tutur dia.

Kendati sering menerima order waktu itu, Lanny masih belum berpikir untuk membisniskan hobinya. Sampai tiba saat ia berhenti bekerja sebagai akuntan 10 tahun lalu, sedikit tebersit keinginan di hatinya untuk menjadikan hobi dia selama ini, sebagai ceruk baru yang mendatangkan uang. Tepatnya, niatan itu muncul sesudah enam tahun ia berhenti bekerja.

Ada sejumlah alasan bagi Lanny mengapa akhirnya dia berani untuk terjun ke bisnis craft. Pertama, peluang pasar craft yang terbuka lebar; kedua, kegiatan ini dinilai tidak mengganggu perannya sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus anak dan suami; dan ketiga, dorongan semangat dari seorang pelanggan.

Ceritanya, suatu hari, ada seorang pelanggan yang menceletuk kepada dia. Dikatakan oleh pelanggan itu, daripada sekadar iseng, mengapa Lanny tidak sekalian saja membesarkan bisnis craft-nya. Lantas, Lanny bertanya balik, apa dia bisa melakukannya. Si pelanggan pun menjawab, mengapa Lanny tidak mencobanya saja. Pelanggan itu ternyata sudah melakukan survei ke beberapa tempat. Menurut dia, craft yang dimiliki Lanny sangat personalize dan kualitasnya tidak kalah dengan craft lain yang bahkan harganya jauh lebih mahal.

Usai mendengar itu, Lanny berpikir bahwa omongan si pelanggan ada benarnya juga. Lalu, atas inisiatif bersama sang suami, Lanny pun mencoba serius menjalankan bisnis craft. Nama “Ashley” dipilih sebagai merek dagang lantaran dinilai terdengar cukup unik. “Tidak ada sejarah yang menarik terkait pengambilan nama ‘Ashley’ sebagai merek dagang,” kata Lanny.

Nama tersebut sepintas muncul begitu saja di kepala, dan setelah dipikir-pikir, ternyata cukup enak terdengar, lalu segera diambil sebagai merek dagang craft yang dia jual. Begitu menurut cerita Lanny.

Belakangan, setelah berjalan beberapa saat, sang suami, Daniel Irwanto pun memutuskan untuk membantu penuh usahanya dengan menangani bagian pemasaran. Kemudian, ibu kandung Lanny sendiri juga menyatakan diri ingin ikut membantu di bagian produksi dari Ashley Crafts.

Tak disangka, hanya dalam waktu singkat, Ashley telah berkembang pesat. Pelanggannya ada dimana-mana dan terdiri dari beragam golongan, mulai dari individu sampai pelaku usaha. Misalnya, Holland Bakery, Keris Galeri, dan lain-lain. Bahkan, kategori produknya pun kian bertambah.

Kalau dulu, yang dijual hanya berkisar dua kategori. Kini, sudah mencapai empat ketegori craft yang dijual Ashley. Antara lain, untuk ulang tahun, perlengkapan bayi, pernikahan, kebutuhan rumah tangga, dan satu lagi yang saat ini tengah dikembangkan adalah cotton.

Menurut Lanny, bisnis craft itu sangat manis. Sebab, dia akui, craft itu fleksibel dan mudah di-customize untuk kebutuhan apa saja. Misalkan, untuk perlengkapan bayi, craft dapat didesain sebagai parcel yang bisa diisi perlengkapan bayi.

Mengenai urusan pemasaran produk, Lanny mengaku dirinya tidak terlalu banyak tahu tentang itu. Yang mengerti benar soal ini adalah suaminya. Namun yang jelas, tonggak kuat Ashley ada di jaringan distribusi yang sudah menyebar hingga ke daerah-daerah. Setidaknya, kini ada 50 distributor yang menjadi mitra Ashley. Lokasinya menyebar hingga ke beberapa wilayah, seperti Jakarta, Jambi, Jember, dan Surabaya.

Dalam hal berpromosi, Lanny mengaku tidak begitu gencar melakukan promosi seperti kebanyakan pelaku usaha craft lainnya. Semua pelanggan yang datang mengetahui informasi yang mereka dapat dari mulut ke mulut saja. Orang bisa kenal Ashley rata-rata dari dua sumber: iklan Ashley di Facebook dan ketemu di pameran-pameran. Promosi lain, seperti membuat katalog, brosur, atau beriklan di media massa, belum dilakoni.

Di Indonesia, pemain craft bukannya tidak banyak. Kalau mau dihitung, jumlahnya bisa mencapai ratusan. Maka itu, meski pasar craft terus tumbuh, kondisi pasar saat ini diselimuti oleh ketatnya persaingan. Untuk berkompetisi di pasar, Lanny menegaskan dia tidak memiliki kiat khusus untuk mengembangkan pasarnya. Satu hal yang dia andalkan hanyalah menjaga kualitas produk dan hubungan dengan pelanggan.

“Dalam berbisnis, saya tidak pernah takut disaingi, apalagi ditiru. Sebab, saya percaya setiap orang sudah ada rezekinya sendiri-sendiri. Kalau untuk meniru pun, saya rasa juga susah. Sebab, jika ada yang meniru satu model dari Ashley, saya bisa membuat seribu model lain yang berbeda,” tegas dia.

Satu lagi yang membuatnya percaya diri ialah target market Ashley yang lebih menyasar ke segmen atas. Rata-rata yang menjadi pelanggan Ashley adalah kaum berduit, seperti ibu-ibu pejabat dan isteri duta besar. Lanny mematok harga sedikit lebih mahal ketimbang craft lain yang ada di pasaran. Pasalnya, selain karena segmen kelas atas yang dia bidik, bahan baku craft Ashley juga kebanyakan berasal dari luar negeri, seperti Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.

Misalnya aksesori wedding, yang termurah harganya Rp 10 ribu per unit. Sedangkan untuk bingkisan perlengkapan bayi—belum termasuk isi—dibanderol seharga Rp 1 juta. Sebab, harga bahan baku, semisal kain, pun cukup mahal. Satu meter kain ada yang seharga mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah.

Ketika disinggung soal omzet, Lanny enggan memberitahu. Namun, dia mengungkapkan, omzet bisa naik belipat-lipat saat menjelang musim nikah, hari raya, dan libur anak sekolah. Nominalnya bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.

Dalam melayani pelanggan, Lanny mengaku dirinya tidak pernah mengeluh andaikan ada pelanggan yang jenis permintaannya bermacam-macam dan agak sedikit aneh. ”Apa pun yang mereka minta, sebisa mungkin akan saya kerjakan dan layani dengan baik,” tegas dia.  Menurut pengalamannya, setiap pelanggan memiliki karakter sendiri-sendiri, menurut kelas ekonominya. Seperti konsumen kategori high class, mereka rata-rata menyukai desain craft bergaya Victorian, yakni bentuk craft yang terkesan anggun dengan selimut gambar bunga-bunga, namun tanpa disertai banyak aksesori di luarnya. Sedangkan bagi pelanggan yang menengah, kebanyakan dari mereka menyukai craft yang didesain penuh corak dan aksesori.

Melihat bisnisnya yang tumbuh seperti sekarang, Lanny mengaku dirinya sudah cukup puas. Namun demikian, yang namanya keinginan pasti selalu ada. “Ke depan, saya ingin Ashley punya galeri sendiri untuk memajang sejumlah craft yang ada. Entah kapan itu terwujud, kita lihat saja nanti. Yang jelas, itu masih sebatas keinginan, dan belum ada rencana diwujudkan dalam waktu dekat,” kata Lanny mengakhiri wawancara. (Andri Darmawan)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.