Kemesraan Brand dan Konsumen di Media Sosial: Boleh Sejauh Mana?

Kini sudah jamak sebuah brand (atau perusahaan) memiliki tim khusus untuk menangani media sosial. Tim tersebut menjadi ujung tombak interaksi antara brand dan konsumen di media sosial. Lewat interaksi dua arah tersebut, perusahaan berharap bisa membangun hubungan yang positif dengan konsumennya.

konsumen dan media sosialNamun, tim medsos perusahaan sering tidak dibekali dengan konsep strategi yang justified saat membangun hubungan dengan konsumen. Benchmarking atau bahkan trial-error masih menjadi cara yang ditempuh saat mencari strategi yang pas. Cara tersebut tentu sangat riskan, mengingat dinamika interaksi di media sosial lebih sulit diprediksi dibanding dengan media lain. Karenanya, tim medsos perlu dibekali dengan setidaknya satu buah konsep dasar saat membangun consumer-brand relationship.

Untuk menentukan konsep yang perlu dibekalkan kepada tim medsos, kita perlu menjawab pertanyaan: hubungan atau interaksi yang seperti apakah yang diharapkan oleh konsumen ketika mereka berinteraksi dengan brand dalam konteks media sosial? Apakah kita ingin menjadikan konsumen kita sebagai sahabat, teman biasa, teman tapi mesra, atau hanya sebatas kenal saja? Kebanyakan pemasar akan menjawab bahwa hal itu tentu terkait dengan karakteristik produk/brand dan strategi pemasaran yang kita miliki—sehingga sangat kompleks.

Namun, banyak yang tidak menduga bahwa jawabannya bisa sangat sederhana. Secara garis besar, kita bisa membagi hubungan antara brand dan konsumen ke dalam dua tipe, yaitu hubungan communal dan hubungan exchange. Hubungan communal dibangun dengan landasan konseptual bahwa jika brand tidak terlalu memikirkan timbal balik secara ekonomis dalam interaksinya dengan konsumen dan begitu pula sebaliknya, maka hasilnya akan lebih positif bagi kedua pihak. Sebaliknya, konsep hubungan exchange dibentuk berdasarkan kebutuhan ekonomis, dimana kedua belah pihak akan saling mengharapkan timbal balik secara ekonomis dari hubungan tersebut. Keduanya adalah konsep dasar yang harus dikuasai oleh siapa pun yang mengelola akun media sosial brand/perusahaan.

Observasi kami pada media sosial (Twitter) dari beberapa brand di Indonesia yang memiliki jumlah follower terbesar, menunjukkan bahwa brand-brand tersebut—baik sadar atau tidak—punya tendensi menggunakan salah satu dari konsep tersebut. Misalnya akun @XL123, yang memiliki 1,07 juta follower. Dari pesan-pesan Twitter yang disampaikan oleh brand XL ini, mereka cenderung mengarah ke pesan-pesan yang membangun hubungan communal. Pengelola akun @XL123 mengirimkan pesan-pesan yang ingin mengesankan bahwa konsumen adalah teman baik mereka. Pesan bersifat exchange (misalnya yang terkait dengan penawaran produk) dibatasi, sehingga tidak mendominasi timeline. Contoh lain yaitu akun @AirAsiaId yang memiliki 1,02 juta follower. AirAsia memiliki pendekatan yang berbeda; pesan-pesan di timeline akun Twitter @AirAsiaId cenderung bersifat exchange, yaitu didominasi informasi mengenai produk-produk mereka.

Pertanyaannya, pendekatan mana yang lebih pas bagi sebuah brand?

Dalam hal ini, tidak ada jawaban yang benar dan salah. Baik pendekatan communal maupun exchange bisa memiliki andil dalam pencapaian tujuan pemasaran sebuah brand. Yang lebih penting justru mengidentifikasi kepada siapa kita perlu menggunakan pendekatan communal dan kepada konsumen seperti apa kita harus memakai pendekatan exchange. Apakah kepada mereka yang intens menggunakan media sosial, ataukah mereka yang jarang menggunakan media sosial?

 Kami melakukan sebuah eksperimen untuk menjawab pertanyaan di atas. Dengan menggunakan desain 2 jenis pesan (communal, exchange) x 2 tipe intensitas menggunakan Twitter (low usage, high usage), kami mencoba untuk mengidentifikasi tipe konsumen seperti apa yang akan lebih dipengaruhi secara positif (misal: memiliki attitude lebih positif pada brand) oleh jenis hubungan yang terbangun melalui pesan dari akun Twitter resmi perusahaan. Sebanyak 126 responden (50 perempuan) bersedia menjadi partisipan dalam eksperimen ini, dan dimasukkan dalam dua kelompok yang berbeda. Tiap-tiap kelompok diberikan salah satu di antara dua stimulus berupa akun Twitter brand (fiktif, sebuah retailer online) yang pesan di timeline-nya bersifat communal atau exchange. Setelah menerima stimulus, mereka diminta untuk mengevaluasi brand tersebut.

Hasil dari eksperimen ini mengidentifikasi bahwa dua kelompok partisipan (light users dan heavy users) yang mendapatkan stimulus “exchange”, memberikan evaluasi yang berbeda terhadap brand. Partisipan yang sering menggunakan Twitter memiliki sikap positif terhadap brand yang lebih tinggi dibanding partisipan yang jarang menggunakan Twitter, terutama ketika akun Twitter dari brand tersebut menggunakan pendekatan exchange. Sementara efek tersebut tidak terjadi pada saat stimulus yang digunakan adalah communal. Baik partisipan yang sering menggunakan Twitter maupun yang jarang, memiliki sikap positif yang sama besar terhadap brand tersebut.

Hasil ini terjadi karena partisipan yang lebih sering menggunakan dan berinteraksi melalui media sosial (light users) mengetahui interaksi sosial di media sosial (Twitter) dengan baik, sehingga membuat mereka lebih fleksibel dalam mengikuti bentuk hubungan dengan akun resmi perusahaan. Akan tetapi bagi partisipan yang jarang menggunakan media sosial (light users), kurangnya pengetahuan dan pengalaman menghadapi interaksi sosial di media sosial membuat mereka menjadi kurang fleksibel dalam beradaptasi dengan bentuk hubungan yang ditawarkan akun resmi perusahaan.

Implikasi dari hasil eksperimen ini cukup kritikal bagi pengelola akun medsos perusahaan/brand. 

Pertama, hasil eksperimen kami menunjukkan bahwa penggunaan pesan yang bersifat exchange cukup berisiko, terutama jika dibaca oleh konsumen yang jarang menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan brand. Konsumen semacam ini lebih menghargai pesan yang berbentuk communal, yang memberikan kesan hangat pada mereka yang hanya sesekali menengok akun medsos resmi perusahaan/brand. 

Kedua, penggunaan pesan yang bersifat communal lebih aman bagi brand untuk segala kondisi. Hal ini karena baik konsumen yang sering menggunakan maupun yang jarang menggunakan Twitter, keduanya memberikan respons dan evaluasi yang sama. Artinya jika pengelola brand buta atau tidak terlalu yakin dengan komposisi konsumen yang subscribe atau follow akun medsos perusahaan, penggunaan pesan communal memberikan risiko paling minimal dalam membangun consumer-brand relationship.

Ketiga, social response theory mengatakan bahwa interaksi sosial antar manusia secara konvensional (offline) dapat menjelaskan pula pola pada interaksi manusia dengan teknologi (online). Manusia modern merespons internet (teknologi) sebagai sebuah sumber informasi yang independen dan mandiri, tak ada bedanya dengan makhluk organik (misal manusia lain, binatang, dan lain-lain). Sehingga dalam perkembangannya, ada satu titik di mana kita secara aman bisa mengatakan bahwa yang terjadi pada setting online, juga bisa terjadi secara offline. Dengan demikian, brand juga perlu memerhatikan bentuk hubungan yang ingin dibangun melalui media konvensional, terkait jenis pesan yang diberikan kepada audiens.

Keempat, hasil eksperimen ini juga sejalan dengan perkembangan tren pemasaran, dimana pada pemasaran tradisional hubungan yang dibangun dengan konsumen lebih mengarah pada hubungan yang berorientasi pada exchange relationship. Padahal di era ini, pendekatan pemasaran dituntut untuk bisa membangun sekaligus mempertahankan hubungan yang telah terbina dengan konsumen. Konsumen ingin mendapat perlakuan yang lebih personal, layaknya hubungan pertemanan, hubungan romantis, atau hubungan kekeluargaan yang tidak transaksional. Artinya, silakan bermesraan dengan konsumen semesra-mesranya. Lebih mesra lebih baik.

Harryadin Mahardika dan Hendra Ngalusi

Harryadin Mahardika Kepala Program Magister Manajemen Universitas Indonesia. Hendra Ngalusi adalah Praktisi dan Peneliti Digital Marketing.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.