Kijang, Avanza, dan Xenia

www.marketing.co.id – Kijang adalah merek yang fenomenal. Merek ini telah menancap kuat dalam benak masyarakat Indonesia. Bahkan dibanding dengan merek induknya—Toyota, Kijang lebih populer selama 20 tahun terakhir. Kekuatan dari merek ini banyak ditunjang oleh pangsa pasarnya dan jumlah populasi yang tinggi. Selain itu, Kijang memang merupakan produk yang menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang menyukai mobil serba guna dengan memiliki kapasitas untuk menampung seluruh anggota keluarga.

Puncaknya, di awal tahun 2000, merek Kijang benar-benar tiada duanya, menduduki top of mind tangga merek untuk kategori mobil atau untuk merek secara umum. Lalu, apa yang bisa mengalahkan Kijang? Sederhana, bagaimana kalau membuat Kijang mini? Bentuknya seperti Kijang, dapat digunakan untuk banyak keperluan atau masuk kategori multi-purpose vehicle (MPV), dan harganya jauh lebih terjangkau. Kijang yang diproduksi di awal tahun 1980-an bentuknya kotak dan kemudian diperbaiki desainnya menjadi jauh lebih menarik. Setelah itu, merek ini terdongkrak dengan citra merek Toyota yang semakin berkibar. Merek Astra pun kemudian turut membantu terciptanya kekuatan merek ini. Dengan citranya yang semakin baik dan keinginan untuk membuat mobil yang berkualitas, harga Kijang pun terus naik dan kemudian produsen tergoda membuat tipe Kijang yang premium.

Tidak mengherankan, kemudian ada segmen yang kosong.  Banyak yang bermimpi untuk membeli Kijang, tetapi harga tidak terjangkau. Ketika Avanza dan Xenia diluncurkan, pasar langsung menyambut dengan antusias. Kijang-lah yang membuat kategori MPV menjadi kategori yang besar.  Karena desakan untuk memperbaiki margin dan mendongkrak citra merek Kijang, merek ini cenderung tidak memerhatikan pasar yang berada di bawahnya.

Studi kasus ini sebenarnya menjadi fenomena yang kemudian memiliki pola yang umum bagi merek baru. Pelaku bisnis atau marketer dapat mencari peluang dengan  melihat kategori bisnis apa saja yang sudah semakin besar.  Kategori yang memiliki pertumbuhan yang besar dan biasanya, di dalam kategori atau industri seperti ini terdapat pemain besar yang mengedukasi pasar. Karena pemimpin besar didesak oleh target margin yang besar, biaya produksi dan operasional semakin meningkat dan keinginan untuk mempertahankan atau meningkatkan citra, pemimpin pasar biasanya meninggalkan lubang besar di segmen bawah.

Fenomena di mobil ini tidak sama dengan industri sepeda motor. Yamaha dan Honda yang terus memperbesar kategori, tidak membuat merek-merek murah dari Cina bisa berhasil mengambil pasarnya. Maklum, konsumen mudah untuk mendapatkan produk pemimpin pasar. Kecilnya uang muka dari perusahaan pembiayaan membuat produk ini mudah dimiliki. Ditambah, banyak perusahaan pembiayaan tidak mendukung produk murah di industri sepeda motor karena kekhawatiran terhadap besarnya kredit macet.

Fenomena seperti kategori MPV ini juga tidak sepenuhnya terjadi di industri elektronik. Apa sebabnya? Dalam industri ini, biaya produksi sangat cepat turun sejalan dengan meningkatnya jumlah produksi. Di dalam industri elektronik, banyak komponen diperoleh dari sumber yang sama, umumnya perusahaan global. Tidak mengherankan, banyak pemimpin atau merek global sanggup untuk menjangkau banyak segmen, dari segmen atas hingga segmen bawah.  Sejalan dengan tingkat penjualannya yang meningkat dan biaya produksi yang cepat turun, merek ini mampu menjangkau segmen di bawahnya melalui skimming pricing strategy.

Jadi, bagi pemimpin pasar yang meninggalkan lubang besar di segmen bawah, maka pilihannya sangat jelas. Pertama, mereka bisa membiarkan segmen ini untuk diambil oleh merek lain. Perusahaan seperti ini biasanya sudah merasa tidak tertarik untuk melayani segmen ini. Bisa terjadi karena tidak menguntungkan buat mereka, tidak sesuai dengan visi, misi, dan budaya perusahaan, atau mereka memang tidak memiliki akses terhadap pasar di segmen ini. Kedua, perusahaan bisa meluncurkan fighting brand. Mereka sadar bahwa merek premium mereka tidak bisa diturunkan kelasnya karena khawatir merusak citra atau ditinggalkan oleh segmen yang saat ini mereka layani.

Toyota membuat keputusan yang tepat. Mereka menyadari akan adanya lubang besar karena ada segmen yang tidak bisa dipenuhi. Daihatsu yang memang piawai untuk mobil-mobil berukuran compact, menangkap peluang ini dengan cermat. Buat Toyota, sebagai perusahaan yang juga sebagai pemilik dari Daihatsu di Jepang, membuat pilihan yang cerdas. Mereka meminta Daihatsu untuk dapat menjual Xenia. Tentu saja, Toyota memilih untuk mengubah mereknya. Jadilah Avanza! Toyota sangat percaya diri. Apa pun mereknya, di bawah bendera Toyota, pastilah lebih baik nasibnya daripada di bawah bendera Daihatsu.

Pada awal kedua produk ini akan diluncurkan, dalam sebuah seminar untuk para diler Daihatsu, saya memberi keyakinan kepada semua diler Daihatsu, bahwa inilah saat yang tepat untuk mengembangkan diler mereka. Xenia pasti akan sukses dan melalui merek ini, perusahaan Daihatsu di Indonesia akan mencapai titik baliknya. Logikanya? Avanza pasti akan sukses untuk mengisi segmen yang kosong.  Apalagi, Kijang kemudian memutuskan untuk membuang  varian Kijang yang paling murah untuk semakin memberi ruang besar bagi Avanza.

Kalau Avanza sukses, Xenia pun mudah untuk memasarkan produknya. Dengan harga yang sedikit lebih rendah, calon pembeli yang sensitif terhadap harga, yang tidak loyal dengan Toyota, atau yang tidak terlalu mementingkan citra dan terutama mereka yang sudah yakin akan kualitas dari Daihatsu, akan membeli Xenia. Hasilnya, tidak mengecewakan, Xenia mampu menjual sekitar 40% dari tingkat penjualan Avanza. Terutama saat Xenia sudah mampu mengendalikan harga jual mobil bekasnya yang tidak tertinggal jauh dari Avanza, Xenia pun semakin mudah memantapkan pasarnya. Xenia inilah yang kemudian membuat Daihatsu bisa bertengger di nomor dua setelah proses turn around dirintis oleh Daihatsu Taruna.

Mengamati hasil Top Brand Index untuk kategori MPV akan melengkapi semua cerita ini. Indeks dari Toyota Kijang sejak tahun 2007 terus mengalami penurunan. Di tahun 2007, indeksnya masih 56.3% dan tinggal 16.8% di tahun 2011.  Kalau ini terus terjadi dan Kijang Innova tidak melakukan perubahan produk, saya prediksi, indeksnya akan tinggal 10%. Di sisi lain, indeks Avanza terus meningkat dan mencapai indeks 35.8% di tahun 2011. Ini juga sejalan dengan tingkat penjualan di tahun 2011 yang mencapai 162.367 dibanding dengan Kijang Innova yang tinggal 54.763. Xenia yang penjualannya di atas Kijang Innova, indeks kekuatan mereknya bertengger di tempat ketiga di tahun 2011.

Bagi Daihatsu, tentunya ini merupakan pencapaian yang memuaskan, baik dari kinerja pasar maupun kinerja keuangannya. Bagi Toyota, penurunan dari Kijang dan diimbangi dengan melesatnya Avanza adalah zero sum games. Di satu sisi, Toyota tetap sebagai pemenang. Akan menyedihkan bila keuntungan dari Avanza ini jauh lebih kecil daripada keuntungan menjual Toyota Kijang. Kisah Kijang, Avanza, dan Xenia menyimpan banyak pelajaran yang berharga bagi para marketer yang menyukai strategi bisnis. (Handi Irawan D.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.