Kopi Janji Jiwa, Tetap Tegar Meski Dihadang Pandemi

Marketing.co.id – Selama pandemi, bisnis kopi turut terdampak. Merek kopi Janji Jiwa pun bertahan dengan gerai yang berlokasi di luar mal. Bagaimana strateginya untuk bertahan dan pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi?   

Sebelum pandemi Covid-19, bisnis minuman yang berasal dari olahan biji kopi terbilang ramai. Kita dapat dengan mudah menemukan gerai minuman kopi di berbagai mal atau di tepi jalan. Beberapa di antaranya merupakan merek baru. Merek tersebut cepat melesat karena agresif menambah gerai dan strategi marketing yang jitu.

Billy Kurniawan, CEO dan Pendiri Janji Jiwa

Salah satunya adalah “Janji Jiwa” yang didirikan oleh Billy Kurniawan. Seperti dikutip dari Bisnis.com, saat pertama kali diluncurkan pada pertengahan 2018, Janji Jiwa hanya mampu menjual sekitar 10 hingga 20 gelas per hari atau sekitar 600 gelas per bulan. Setelah hampir 1,5 tahun berjalan, Janji Jiwa berkembang sangat pesat. Dalam sebulan, rata-rata penjualannya mencapai 5 juta cup dengan jumlah gerai mencapai 700.

Namun di tengah terus menanjaknya kinerja bisnis Janji Jiwa, Billy menghadapi “mimpi buruk” pandemi Covid-19. Menurut Billy, pandemi ini menyebabkan penjualan di industri makanan dan minuman merosot 70%–80%. Bahkan, sampai ada yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bisnis makanan dan minuman banyak yang terpuruk, terutama yang berlokasi di pusat perbelanjaan.

Beruntung gerai Janji Jiwa tidak semuanya berada di pusat perbelanjaan (mal). Gerai Janji Jiwa yang berlokasi di mal (retail based) hanya 10% dari total keseluruhan gerai. Seperti diketahui, kebijakan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) membuat kunjungan ke mal menurun drastis. Bahkan, banyak mal di Jakarta yang tutup selama kebijakan ini diterapkan.

“Dari outlet di luar mal yang kita punya sendiri, dari total yang ada, sekitar 30% yang berlokasi di retail based tutup. Sebesar 70% yang bertahan lokasinya dekat perkantoran, kampus, sekolah, dan permukiman,” tutur CEO dan Pendiri Janji Jiwa ini.

Lebih jauh Billy yang diwawancara melalui Zoom mengatakan, kondisi pandemi tak ubahnya force majeure atau di luar kendali manusia. Dia pun tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Dalam kondisi demikian yang bisa dilakukan Janji Jiwa hanya satu, yakni berupaya beradaptasi dengan kondisi.

Menurut Billy, selama pandemi kondisi pasar bergerak dinamis mengikuti perubahan perilaku konsumen. Perilaku konsumen ditentukan fase-fase dalam menghadapi Covid-19, mulai dari tidak tahu atau minimnya pengetahuan tentang Covid-19, perasaan takut, hingga terbiasa dengan virus. ”Kita berupaya menyesuaikan dengan setiap fase-fase tersebut,” tandasnya.

Secara garis besar ada dua hal yang dilakukan Janji Jiwa di masa pandemi, yakni mengerek penjualan di kanal online melalui berbagai promo dan meningkatkan engagement dengan konsumen. Promo di kanal online perlu dibuat semenarik mungkin, karena semua merek kopi praktis hanya mengandalkan kanal ini.

“Ini strategi pricing. Hasil melakukan cut cost kita memberikan beli 2 gratis 1 dan pembelian paket 1 liter, karena kondisi pandemi juga dimanfaatkan keluarga untuk berkumpul,” terang Billy. Ia pun menambahkan bahwa konsumen yang minum kopi di tempat (dine in) melorot sekitar 50%–60%.

Di luar kondisi pandemi, konsumen kopi sejatinya sudah sangat sensitif pada harga. Jadi, kenaikan penjualan di kanal online selama pandemi bukan semata karena konsumen takut datang ke gerai, sehingga hanya membeli secara daring. Tapi, juga didorong oleh berbagai promo.

“Industri kita menarik, kita bermain di semua umur dan gender. Middle, low, high, bisa main. Tapi, kebanyakan konsumen kita mid low segment, sebanyak 80%. Segmen mid high sekitar 20%,” ujar dia.

Billy mengatakan, kondisi pandemi merupakan saat yang tepat untuk menciptakan engagement dengan konsumen. Konten pun tidak perlu dibuat “mewah”, tapi dikemas sesederhana mungkin. Bahkan, bila perlu tanpa mengeluarkan biaya. “Seadanya, apa yang bisa dikerjakan dan dilakukan. Ini mesti gencar, karena di masa pandemi banyak orang yang melihatnya di smartphone mereka,” katanya.

Untuk engagement, Janji Jiwa antara lain pernah berkolaborasi dengan selebriti Denny Sumargo dan salah satu fitness trainer. Kolaborasi dengan fitness trainer cukup unik, karena kopi tidak berkolerasi langsung dengan fitness.

“Kita ajak dia kerja sama konten yang soft selling tentang mengonsumsi makanan sehat dan cara exercise yang benar. Bukan dengan strategi hard selling, tapi sesuatu yang beneficial dan contribute untuk konsumen-konsumen kita,” tuturnya lagi.

Pelajaran dari Covid-19

Di luar kekalutan masyarakat dan dunia bisnis pada wabah virus corona, tetap ada hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik. Billy mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal yang bisa diambil dari Covid-19. Pertama, pengelolaan keuangan. Selagi bisa menghasilkan revenue, perusahaan harus memiliki emergency plan.

“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan, dan berapa lama hal ini akan berlangsung, benar-benar anomali (pandemi). Bahkan, pebisnis andal belum tentu tahu bagaimana menghadapi kondisi ini, karena itu pasti strateginya baru juga,” ucap Billy.

Kedua, manajemen selama kondisi ini berlangsung. Singkirkan strategi yang sudah dibuat mungkin untuk 3 sampai 6 bulan ke dapan. Strategi harus ditinjau dan digodok tiap minggu guna menyeimbangkan antara pemasukan dan berbagai biaya.

“Di satu sisi bagus banget, karena menantang dari segi manajemen dan marketing untuk terus beradaptasi. Karena biasanya adaptasi mengikuti kondisi market saja, tapi kita dituntut menghadapi kondisi yang sangat dinamis,” imbuh dia.

Ketiga, membuat perencanaan manajemen pasca Covid-19. Seperti apa perilaku konsumen setelah pandemi berlalu masih tanda tanya. “Sekarang kita melihat ada perubahan perilaku orang, mereka menghindari tempat-tempat keramaian. Ini harus menjadi faktor yang dipertimbangkan untuk ke depannya,” kata Billy.

Menurut dia, jika pandemi Covid-19 benar-benar hilang, industri makanan dan minuman pun tidak lantas langsung pulih seperti sedia kala atau melesat. Dari kalkulasi Billy, sudah cukup bagus jika bisnis ini setidaknya dapat rebound 40%–50% dibandingkan penurunan 80% selama pandemi.

“Banyak yang memprediksi tahun 2021 merupakan periode recovery. Tapi, kembali apakah banyak yang kolaps atau tidak. Kalau banyak yang kolaps di tahun 2020, berarti tahun 2021 start ulang lagi. Kalau begini baru normal 2022,” kata Billy. (Tony Burhanudin)

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.