Laporan Keuangan Bagi CMO. Apa Artinya?

www.marketing.co.id – Ketika kuartal dalam tahun tertentu berakhir, perusahaan-perusahaan yang sudah go public biasa mulai menerbitkan laporan keuangannya. Koran-koran nasional yang memiliki target pembaca para pelaku bisnis seperti koran Bisnis Indonesia, biasanya kebanjiran banyak iklan laporan keuangan.

Maklum, ada kewajiban yang ditetapkan Bapepam bagi perusahaan yang sudah go public untuk menyampaikan laporan keuangan. Dengan jumlah sekitar 450 perusahaan Indonesia yang sudah go public, dapat dibayangkan bahwa pelaku bisnis semakin mudah mendapatkan akses terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Sayangnya, banyak CMO dan marketer melewatkan informasi tersebut. Ini bisa terjadi karena mereka tidak tertarik atau karena banyak para marketer yang tidak menguasai laporan keuangan, baik laporan rugi laba atau laporan neraca perusahaan. Tidak mengherankan, banyak CFO yang sering kali memiliki peluang yang lebih baik dari CMO untuk terpilih menjadi CEO. Shareholder sering kali lebih memilih eksekutif yang memahami keuangan dengan baik dan bukan sekadar menguasai industri atau kondisi pasar. Harga saham dan kapitalisasi pasar adalah tujuan akhir dari pemegang saham dalam membangun bisnis.

Laporan keuangan dari para market leader harus menjadi prioritas. Kalau Anda berada di industri makanan, PT Indofood bisa dijadikan sebagai benchmark. Untuk industri rumah tangga dan personal care, PT Unilever adalah pemimpin pasar yang perlu dievaluasi laporan keuangannya. Untuk industri farmasi, PT Kalbe Farma adalah pilihan utama. Untuk industri telekomunikasi, tiga pemain besar sudah menjadi emiten bursa, yaitu PT Telkom, PT Indosat, dan PT XL Axiata. Tentunya, selain laporan keuangan market leader, laporan keuangan dari para pesaing juga layak untuk dibaca dan dievaluasi.

Apa Gunanya?

Dengan meluangkan waktu sejenak membaca laporan rugi laba, kita bisa mengerti mengenai industri. Angka penjualan dari market leader dan beberapa pesaing memberikan gambaran terhadap market size dari sebuah industri. Angka pertumbuhan penjualan dari dua tahun laporan keuangan paling tidak memberikan gambaran terhadap pertumbuhan sebuah industri. Bagi perusahaan yang berada dalam industri yang sama, informasi ini berguna untuk membandingkan kinerja perusahaan dan sekaligus untuk dasar menerapkan target di masa mendatang.

Bagian kedua yang menarik dari laporan keuangan adalah struktur biaya. Perusahaan yang berbasis manufaktur misalnya, sangat tertarik dengan cost of good sold (COGS). CMO akan segera tahu apakah perusahaan mereka dibandingkan dengan perusahaan sejenis, relatif memiliki struktur COGS yang lebih baik atau tidak. Misalnya, untuk PT Unilever, COGS mereka biasanya adalah 45%–50%. Kalau COGS perusahaan Anda adalah 55%–60%, berarti lebih tinggi 10%. Ini bisa terjadi karena skala ekonomi yang tidak tercapai, harga supplier bahan baku yang mahal, atau memang produksi yang tidak efisien. CMO dan marketing manager harus mampu memberi evaluasi kepada CEO atau departemen produksi mengenai hal ini.

Biaya penjualan, pemasaran, dan biaya  operasional, termasuk beban gaji karyawan juga bisa terlihat dalam laporan keuangan. Angka-angka biaya ini dari market leader atau pesaing dapat dibandingkan dengan perusahaan Anda dan memberi gambaran terhadap efisiensi atau produktivitas perusahaan Anda dengan pesaing. Angka-angka biaya produksi, pemasaran, dan operasional ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membuat kesimpulan awal terhadap kunci keunggulan bersaing dalam suatu industri. Bahkan, sebuah strategi bisnis yang kritikal sangat membutuhkan data-data yang berhubungan dengan struktur biaya.

Beberapa industri menggunakan skala ekonomi dan efisiensi untuk menciptakan keunggulan bersaing. Beberapa perusahaan lebih memilih diferensiasi dan kekuatan merek untuk bisa menciptakan keunggulan bersaing. Perusahaan yang melihat struktur biaya yang tidak efisien kemudian bisa memilih dengan mempertahankan bisnis intinya, dan lalu melakukan outsourcing untuk aktivitas bisnis yang tidak menjadi kompetensi inti mereka.

Hal lain yang menarik dilihat tentunya adalah profitabilitas. Pengukuran profitabilitas yang paling sederhana adalah persentase laba terhadap total penjualan. Ukuran profitabilitas lain yang layak diamati adalah return on equity (ROE). Misalnya, untuk industri perbankan, ROE rata-rata adalah 20%–25%. Untuk consumer goods yang memiliki merek yang kuat bisa mencapai 40% hingga 60%. CMO dan marketing manager perlu untuk mengamati angka-angka profitabilitas ini. Setiap strategi dan program pemasaran haruslah dapat diukur tingkat ROI-nya dan perlu untuk mencapai ROE yang sudah ditetapkan oleh BOD.

Bagi CMO, kontribusi terbesar dalam meningkatkan profitabilitas adalah pilihan strateginya, apakah memilih efisiensi dengan menjaga keunggulan biaya atau efektivitas dengan memompa penjualan lebih cepat, atau kemampuan produknya untuk dapat ditetapkan dengan harga premium. Harus diakui, biasanya CMO lebih senang untuk menjaga profitabilitas dengan meningkatkan penjualan. Perhatian terhadap upaya untuk meningkatkan efisiensi biasanya relatif sedikit. Inilah yang menjadi penyebab konflik dengan bagian produksi atau keuangan.

Hanya sedikit CMO yang menjadikan ROE sebagai alat ukur kinerjanya. Mereka lebih senang menyerahkan urusan ini kepada para CFO. CMO yang piawai atau CMO yang berambisi menjadi CEO biasanya akan sangat memerhatikan angka ini. Mereka sadar, inilah rasio keuangan yang sangat penting bagi pemilik saham. Untuk memahami ROE dengan baik, CMO harus memerhatikan balance sheet atau neraca keuangan dan bukan hanya laporan laba rugi.

Untuk menjaga ROE yang baik, peran CMO dalam meningkatkan ekuitas merek dan loyalitas pelanggan adalah hal yang vital. Tidak mengherankan, market leader biasanya memiliki ROE yang tinggi. Mereka membuat merek produknya bisa berharga premium. Jadi, laba akan meningkat. Pada akhirnya, ROE tinggi yang disebabkan oleh kekuatan merek dan loyalitas pelanggan yang tinggi akan membuat nilai price earnings ratio (PER) dan rasio P/BV yang tinggi. Pada akhirnya, perusahaan mampu menjadi harga sama dan nilai kapitalisasi pasar.

ROE dari industri consumer goods biasanya cukup tinggi, sedangkan perusahaan distribusi hanya sekitar 10 hingga 15. Demikian juga, rasio P/BV dari perusahaan yang memiliki kekuatan merek, bisa tinggi. Ini mencerminkan nilai intangible asset yang besar dari perusahaan. Seperti PT Unilever misalnya, dengan nilai ekuitas sekitar Rp4 triliun, mereka mampu mencetak kapitalisasi pasar Rp140 triliun atau P/BV mencapai 35.

Ini terjadi karena perusahaan consumer goods menjaga profitabilitasnya melalui kekuatan merek dan loyalitas pelanggan. Dampak dari kekuatan merek dan loyalitas pelanggan ini terhadap profitabilitas perusahaan akan berjangka panjang. Sangat sulit bagi pesaing untuk menggoyang profitabilitas perusahaan dengan kekuatannya dari merek dan pelanggan. Bahkan, di saat krisis pun, investor akan tetap memiliki keyakinan yang tinggi terhadap perusahaan ini untuk bertahan dalam situasi ekonomi yang buruk. Astra International adalah contoh perusahaan yang dibangun dengan merek yang kuat dan loyalitas pelanggan.

Strategi pemasaran selalu berdampak pada kinerja nonkeuangan dan kinerja keuangan perusahaan. Sungguh disayangkan apabila kemudian seorang CMO atau Marketing Manager hanya fokus pada dampak strategi terhadap kinerja pasar dan kinerja merek. Strategi bukanlah konsep pemasaran, tetapi konsep pemasaran dan keuangan. CMO yang tidak menguasai laporan keuangan sungguh sulit membayangkan bila mereka mampu menganalisis efektivitas strategi bisnis yang sudah diimplementasikan. (Handi Irawan D.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.