Loyalty Dispute

Saat-saat membanggakan bagi sebuah merek, adalah ketika pengguna merek-merek tersebut membentuk sebuah komunitas. Lebih membanggakan lagi, ketika komunitas tersebut terbentuk atas inisiatif sendiri. Apalagi, jika media memberikan ruang publikasi yang intensi untuk komunitas tersebut. Rasanya menjadi begitu mudah mengelola merekĀ  ke depannya.

Bagaimana tidak? Komunitas tersebut sudah bisa (dipastikan) menjadi brand ambassador, program aktivasi merek pun akan lebih bergigi ketika disinergikan oleh kegiatan komunitas. Dan bahkan, komunitas pun rela merogoh kocek sendiri untuk ā€œmengajakā€ orang lain untuk bergabung dalam komunitas. Itu artinya, sama dengan mengajak orang lain untuk menggunakan merek kita.

Sayangnya, tidak seindah itu yang terjadi di lapangan. Komunitas besar, sering kumpul, bukan lantas dengan mudah dianggap menjadi garda depan sebuah merek. Kita tahu sendiri bagaimana Blackberry menghancur leburkan komunitas-komunitas telpon seluler di Indonesia. Beberapa market leader di telpon seluler harus merelakan hingga 40% pasarnya termakan, dan anggota komunitasnya (bukan menjaga) malah dengan santai melenggang menikmati layanan BBM yang ada di Blackberry.

Minggu yang lalu, saya dapat pesan di facebook, dari seorang loyalis merek tertentu. Pesannya singkat, ā€œakhirnya gw pindah juga. Gak tahan diprotes sana-sini.ā€ Padahal, 3 tahun yang lalu, dia berjanji di depan saya, tidak akan pindah ke merek lain. ā€œGak ada matinyaā€ kata dia waktu itu.

Bukan hanya telpon seluler sebetulnya. Kita juga mengenal beberapa merek yang hancur, sekalipun telah memiliki komunitas yang (tampaknya) besar. Komunitas merek itu sendiri, lama-lama mengecil, dan justru menjadi eksklusif. Tetap ada, tapi tidak lagi menjadi bagian besar sebuah kehidupan. Masyarakat hanya melihat komunitas itu karena mereka memang hobi saja.

Layang-layang Konflik

Dalam sebuah in_house training, saya pernah mendapatkan pertanyaan tersebut. ā€œKenapa merek kami yang sudah memiliki komunitas loyal, sekarang menjadi seperti ditinggalkan begitu saja?ā€ Sebuah pertanyaan yang menggelitik. Bahkan beberapa merek, sudah secara khusus menganggarkan sekian persen dari bujet komunikasi pemasarannya untuk komunitas tersebut. Lebih seru lagi, ada pula merek yang setiap tahun melakukan meeting dengan komunitas, untuk menentukan kegiatan setahun yang akan dilakukan oleh komunitas tersebut.

Dengan mengajukan beberapa pertanyaan standar Brand PR audit, biasanya hasil yang sering muncul adalah bahwa merek yang bersangkutan tidak pernah melakukan uji kesetiaan pada komunitas. Akibatnya, komunitas tersebut sebetulnya lebih ā€œbergantungā€ daripada ā€œcintaā€ kepada merek prinsipalnya. Komunitas tersebut pun tidak memiliki laskar cinta, yang secara tulus menjadi brand endorser. Maaf, saya sering bilang, bahwa itu adalah komunitas cheer leader; besar di sorak (saat aktivasi) tapi setelah itu sepi, kembali pada aktivitas masing-masing.

Uji Kesetiaan? Ya, betul, merek harus menguji kesetiaan loyalitas komunitasnya.Ā  Baiklah, mungkin istilah kesetiaan terlalu mengambang. Kita sebut saja uji kohesifitas. Semakin kohesif sebuah komunitas, akan semakin kuat keinginannya untuk saling mempengaruhi, dan ā€“tentu saja- meyakinkan orang lain untuk bergabung dalam komunitas tersebut.Ā  Karena, anggota komunitas tersebut sadar betul bahwa komunitasnya adalah jalan hidup.

Sialnya, sebuah kohesifitas bukan terbangun dari (sekedar) seringnya komunitas tersebut bertemu. Apalagi, acaranya hanya senang-senang belaka. Kohesifitas terbangun berdasar solusi-solusi yang terjadi pada konflik internal maupun eksternal.Ā  Semakin tinggi konflik, dan semakin kuat solusinya, maka akan semakin kuat kohesifitas diantara mereka.

Padahal, seringkali, prinsipal justru menghindari konflik dengan komunitas. Kalau kita anggap permainan layang-layang, prinsipal lebih memilih untuk mengulur benang ketimbang menariknya.Ā  Sekalipun layang-layang (baca: komunitas) tetap mengudara, tapi sebetulnya mereka semakin jauh dengan merek kita.

Laskar (komunitas) Cinta

Pernah kan, merasakan arti sebuah kemesraan setelah konflik dengan pasangan kita? Nah, itulah yang akan kita dapatkan kalau kita memberikan solusi atas sebuah konflik komunitas. Mereka akan menjadi laskar-laskar cinta yang menjadikan komunitas sebagai bagian dari jalan hidup.

Maka, salah satu pekerjaan yang menantang dalam komunitas adalah mengelola konflik. Untuk beberapa kasus, kita bahkan perlu menciptakan konflik, untuk menguji kesetiaan yang telah terbangun.Ā  Memang kita sebaiknya tidak terlena dengan senyum dan sapaan ramah belaka para anggota komunitas. Karena kita tidak berbicara untuk membuat mereka senang. Kita membutuhkan lebih, kita ingin laskar komunitas cinta yang bisa menjadi brand ambassador.

Ya, kita membutuhkan anggota komunitas yang menjadikan merek menjadi bagian jalan hidup. Bukan hanya tersenyum dan berucap terima kasih saat kita buat program aktivasi.Ā  Hal terakhir ini yang sering membuat kita terjebak. Saat membuat program aktivasi komunitas yang hadir melimpah, suasana ceria dan penuh kegembiraan, publikasi tak kepalang tanggung. Tapi begitu ada produk lain hanya dengan selisih satu fitur saja, ternyata mereka pindah dengan gampang.

Konflik menciptakan kohesifitas, itu lah konsep dasar laskar komunitas cinta. Beberapa merek di Jerman, bahkan menyewa psikolog untuk meningkatkan kohesifitas komunitas mereka melalui manajemen konflik.Ā  Tapi, bagaimanapun, kita harus melatih diri juga untuk bisa menciptakan manajemen konflik.

Tapi jangan salah sangka, bukan berarti konflik harus diciptakan. Belum tentu diperlukan juga. Apalagi pada dasarnya, konflik akan terus ada dalam sebuah kelompok. Itu memang proses alami didalam sebuah kelompok. Kita bisa mencoba latihan kecil-kecilan dalam mengelola konflik.

Ketika salah seorang anggota komunitas memiliki keluhan, cobalah jangan terlalu reaksioner dengan memberikan merchandise dan meminta maaf. Karena belum tentu keluhannya betul, bisa jadi sebetulnya keluhan tersebut terjadi karena kesalahannya sendiri. Kalau perlu, cukup berikan penjelasan sampai anggota komunitas tersebut mengerti. Jangan berikan apapun, karena ini bagian pembelajaran untuk menjadi bagian komunitas yang dewasa. Merchandise dan permintaan maaf, tanpa reason yang kuat, hanya akan menjadikannya manja.

Ini latihan awal. Kalau memang masih susah, mengingat kita sudah terbiasa dengan merchandise, coba simpan dulu merchandise di dalam mobil. Nanti diberikan, setelah masalahnya selesai.

Kalau kita sudah bisa melewati fase sederhana ini, rasanya sangat mudah untuk mengelola konflik yang lebih kuat. Oops, maaf, tolong jangan salah juga, konflik bukan berarti mesti diartikan terjadi ketegangan diantara anggota komunitas, ataupun anggota komunitas dengan merek kita. Konflik itu sederhana saja kok, ketika terjadi perbedaan pendapat diantara anggota komunitas, itu konflik.

Pemecahannya juga sederhana kok, kita larikan pada brand value yang kita miliki. Karena, bukankah kita ingin memasukkan nilai-nilai merek dalam komunitas tersebut kan? Selamat mengelola konflik untuk mendapatkan laskar cinta di komunitas merek anda.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.