Mass atau Customized?

Marketing Idea Competition yang diselenggarakan Majalah MARKETING dan Yamaha Motor Kencana (YMKI) tahun 2007 silam benar-benar menampilkan banyak ide menarik. Akibatnya, dewan juri pun harus ekstra hati-hati memilih para finalis. Memang tidak semua ide menarik itu bisa diimplementasikan, namun keberanian mengeluarkan ide-ide baru ini patut diacungi jempol.

Salah satu karya menarik dari peserta ketika itu yang sempat “mampir” di milis MC-ers (dan membuat saya tergerak membuat tulisan ini) adalah ide membuat sepeda motor dengan beberapa ukuran seperti S, M dan L. Ide dari teman milis kita, Neeraj Kiani, saya rasa merupakan ide yang menarik, sekalipun punya beberapa kelemahan. Menarik karena beberapa kali saya melihat orang bertubuh besar dan gendut naik motor yang tampak tidak proposional. Motor itu pun rasanya tidak kuat menahan beban demikian berat. Di lain waktu, saya juga melihat seorang wanita bertubuh kecil naik motor yang ternyata juga punya masalah dengan jarak setang dan tubuh.

Tantangan bagi produsen motor untuk menjalankan konsep ini tentunya terletak pada besarnya biaya customization dibandingkan mass production. Para diler juga bisa kehilangan pembeli jika saat pembeli datang ternyata tidak ada ukuran yang sesuai, yang akhirnya membuat dia pergi ke diler lain.

Namun di luar pengkajian konsep tersebut, ide motor dengan berbagai ukuran ini membuat saya juga berpikir bahwa masalah standarisasi versus customization seringkali menjadi isu penting di kalangan pemasar. Tidak mudah membuat sebuah produk yang customized. Pertama, jelas dibutuhkan keberanian bagi pemasar untuk keluar dari mass market mengingat sebagian besar orang masih menyukai produk yang dipakai oleh kebanyakan orang. Kedua, produk khusus membutuhkan usaha yang lebih besar. Bagi pemasar yang “memuja” harga sebagai senjata bersaing, tentunya sulit membuat produk khusus karena harga yang rendah tercipta karena skala ekonomi.

Ketiga, pemasar harus hati-hati karena ketika pemasar sudah masuk area produk khusus, mereka bisa terjebak pada “customization trap”. Artinya, pemasar harus menciptakan segala sesuatunya secara khusus. Bayangkan jika Anda membuat mobil yang komponennya banyak yang tidak sama dengan mobil lain, itu berarti Anda harus menyediakan komponen-komponen khusus, toko khusus yang menjual komponen mobil Anda, dan bahkan mekanik khusus yang mengerti mobil Anda. Konsumen yang merasa “dikhususkan” juga cenderung rewel karena merasa ingin berbeda.

Di sisi yang berseberangan, membuat produk massal dan memiliki standar yang sama bisa membuat konsumen tidak nyaman (kecuali jika memang konsumen membuang kenyamanan tersebut demi harga yang murah). Saat itu sebuah survei di India mengungkapkan banyak pria di sana mengeluh akan ukuran kondom yang mengikuti standar internasional. Tidak jelas, apakah ketidaksesuaian tersebut karena ukuran alat vital mereka yang kebesaran atau kekecilan. Namun contoh tersebut menunjukkan bahwa standarisasi bisa tidak menyenangkan untuk banyak orang.

Untuk mengurangi sifat massal, para produsen kemudian sepakat menciptakan berbagai ukuran standar. Contohnya dengan membuat ukuran S, M, L dan XL (kemudian muncul ukuran XXL dan XXXL). Juga ukuran baju dengan angka seperti 12, 13, 14 (kemudian muncul ukuran 12 ½, 13 ½ dan lain-lain). Tujuannya mempersempit kelompok konsumen agar semakin terpuaskan.

Yang kemudian menjadi tantangan, apakah yang menjadi tolok ukur dari standarisasi (yang dikhususkan) tersebut? Jika Anda membeli baju di factory outlet (baju ekspor) ukuran M yang ada berbeda dari ukuran M yang Anda punya. Itu disebabkan ukuran M mereka mengikuti ukuran orang bule.

Kedua, apakah standarisasi tersebut masih relevan pada masa sekarang? Anda mungkin memakai baju ukuran 16, tapi lengan Anda (karena Anda rajin berolahraga sehingga berotot) berukuran 17. Ada orang yang memiliki panjang tapak kaki berukuran 43, namun karena kakinya gemuk membuat tapaknya lebih lebar sehingga dia tidak nyaman dengan ukuran sepatu tersebut. Ada wanita langsing namun memiliki payudara berukuran besar, sehingga dia harus membeli baju  berukuran kecil namun memiliki bagian dada yang besar.

Disadari atau tidak, perubahan generasi, gaya hidup dan lingkungan ternyata bisa menciptakan ukuran-ukuran standar baru. Itulah sebabnya di Amerika Serikat ada survei yang dilakukan setahun sekali untuk mengukur perubahan ukuran dan bentuk orang. Survei yang dilakukan oleh USA Size ini mengobservasi ratusan ribu orang Amerika. Responden diminta untuk melewati alat sensor yang bisa menandai sekitar 250 titik di tubuh kita. Dengan survei ini, para produsen bisa mengikuti standarisasi yang lebih relevan pada masa sekarang. Survei ini penting dilakukan karena masalah obesitas menjadi isu yang krusial di sana. Apalagi banyak wanita di AS melakukan operasi plastik untuk memperbesar payudara. Akibatnya, proporsi ukuran tubuh dan payudara yang dibuat para produsen baju mungkin sudah tidak relevan lagi.

Jadi, percaya atau tidak, walaupun Anda menjadi pemasar produk massal, secara alami Anda tidak bisa menghindar dari upaya menciptakan berbagai produk yang sesuai standar yang dimaui konsumen. Alias… mencoba membuat produk yang lebih customized.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.