Media Sosial, Mampukah Menjadi Alat Powerful Menjaring Pemilih?

Media sosial merupakan alat yang paling powerful dibandingkan platform media internet lainnya. Media sosial itu mempertemukan orang secara personal.

media sosialTahun ini disebut tahun politik atau tahun penentu masa depan dengan digelarnya pemilihan presiden pada Juli mendatang.

Pemilu di Indonesia selama ini dihantui oleh warga yang enggan ikut berpartisipasi. Sayangnya, golongan ini justru mayoritas adalah anak muda. pada pemilu 2009, hampir 30% warga tak berpartisipasi dalam pemilu.

Masalah tersebut mungkin bisa saja disebabkan lantaran tak paham bahwa suara mereka penting bagi masa depan negara atau mungkin mereka tak tahu siapa calon yang harus dipilih.

Perkembangan internet dalam dekade terakhir ini memang luar biasa. Dunia maya yang tanpa batas ini telah merambah ke seluruh penjuru dunia dan melingkup semua lapisan masyarakat. Lihat saja masyarakat yang melek internet dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat.

Data terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) menyebutkan, total pengguna internet di Indonesia per tahun 2013 mencapai 71.19 juta, sebagian besar dari mereka adalah anak muda.

Asosiasi Mobile Marketing (AMM) dan Vserv.mobi juga mengungkapkan laporan konsumen mobile internet partama untuk Asia Tenggara. Menurut laporan tersebut, pengguna internet di Indonesia merupakan yang termuda jika dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Sekitar 30% dari mereka bergelar sarjana dan pasca sarjana.

Seiring dengan terus meningkatnya pengguna internet, bisnis yang menggunakan fasilitas internet juga ikut meningkat, tak terkecuali partai politik dan politisi.

Menurut Eep Saefulloh Fatah, President Direktur PolMark Indonesia, para politisi dan partai politik ramai-ramai memasuki ranah digital dengan cara membuat website, nge-blog, dan media sosial. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan, pasalnya ada sekitar 35 juta pemilih pemula (17-22) dan sebagian besar mereka aktif di ranah digital.

Agar politisi dan partai politik mendapatkan hasil maksimal, menurut Eep mereka harus membuat langkah terstruktur dimulai dari riset dan pemetaan. Selain itu, mereka juga harus mengelola diri mereka sebagai bagian dari produk yang memang cocok untuk generasi digital. Dalam political marketing produk itu setidaknya ada empat, yakni partai politik, orangnya, kebijakannya dan presentation (kemasan).

Kalau menggunakan ilmu marketing, bagian pengelolaan produk itu berarti menyusun positioning, menegaskan diferensiasi, dan membentuk merek. Jika tiga hal ini terbangun dengan baik, maka akan terbangun pula integritas, citra dan identitas.

Lantas seberapa besar pengaruh media digital dalam menentukan pilihan konstituen terhadap partai?

Saya lebih spesifik ke media sosial, kalau diurut-urut media sosial yang paling powerful dibandingkan platform media internet lainnya. Media sosial itu mempertemukan orang secara personal.

Meski media sosial bukan penentu paling besar dalam preferensi pemilih di Indonesia, peran media sosial di kota-kota besar peranannya lumayan signifikan karena konsentrasi pengguna media sosial ada di situ, yang infrastruktur online-nya memadai, yang secara sosial ekonomi dan pendidikan memadai, dan kebutuhan interaksinya tinggi.

“Di kota-kota besar peranan media sosial menjadi makin besar, media sosial bisa menjangkau kota di sekelilingnya dikarenakan public opinion leader (para pembentuk opini publik) adalah pengguna media sosial,” terangnya.

Selain itu lanjutnya, media sosial menjadi sangat penting karena interaksinya menjadi sejarah yang tercatat. Komunikasi politik yang terdata secara historis ya media sosial. Dan orang bisa save file kontennya, copy content-nya, atau di capture. Capture itu powerful .

“Dengan media sosial orang merasakan kemerdekaan yang tidak terbatas. Itu semua yang menyebabkan media sosial menjadi penting perannya,” lanjutnya lagi.

Dalam political marketing ada konsep yang namanya transmedia, yang bisa sambung menyambung  seperti bola salju dari satu media ke media lainnya.

Misal, ketika saya membuat buku, saya meminta pakar untuk mengomentari buku tersebut, kemudian komentar mereka dipubilkasikan di Koran, rekaman audio mereka dimunculkan di radio, setelah itu saya keliling untuk me-launching buku tersebut.

Hadirlah masyarakat, ada komunikasi langsung, saya diundang talkshow di TV untuk membicarakan buku tersebut. Cuplikan talkshow tersebut dimunculkan di YouTube. Kemudian saya minta sejumlah tokoh untuk ambil link-nya dan di Tweet di akun Twitter atau di Facebook mereka. Lalu saya minta selebriti yang memiliki jutaan follower untuk me-retweet. Dampaknya sudah kebayang, bukan?

Editor: Wahid FZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.