Memahami Perilaku Konsumen

www.marketing.co.id – Pemasaran memang tidak lepas dari kondisi ekonomi, tapi ahli ekonomi sering kurang (atau alergi?) mempelajari ilmu pemasaran. Padahal ekonomi dan pemasaran, menurut saya, adalah dua komponen yang bisa saling mengisi. Jangan-jangan, itulah sebabnya mengapa ekonomi Indonesia tidak dibangun dengan visi pemasaran yang jelas.

Kalau perlu Nota Keuangan serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disertai dengan strategi marketing: bagaimana strategi memasarkan produk-produk andalan seperti migas atau produk ekspor lain agar bisa mencapai revenue yang diharapkan. Tapi, jangankan menjalankan strategi pemasaran, mempelajari dan memahami perilaku konsumen Indonesia saja barangkali tidak dilakukan pemerintah. Padahal perilaku konsumen kita sedikit banyak dipengaruhi, mempengaruhi atau bahkan terganggu gara-gara kebijakan di dalam APBN.

APBN adalah salah satu komponen yang menentukan pertumbuhan ekonomi negara. Komponen lain adalah konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Naik-turunnya konsumsi tentunya akan dipengaruhi bagaimana perilaku konsumen dalam membeli produk. Di sisi lain, perilaku konsumen di Indonesia secara tidak langsung juga berhubungan dengan APBN. Jadi, karena kurang memahami perilaku konsumen, pemerintah tidak punya strategi untuk mengantisipasi perilaku masyarakat yang muncul karena kebijakan tertentu.

Contohnya soal kenaikan gaji pegawai (PNS) yang menjadi salah satu komponen dalam APBN. Memang serba susah bagi pemerintah kalau bagian ini tidak diumumkan. Soalnya ini bagian yang paling ditunggu-tunggu banyak orang. Tapi masalahnya, kenaikan gaji PNS akan langsung memicu harga-harga naik, sekalipun kenaikan gaji itu baru tahun depan. Apalagi pengumumannya dilakukan mendekati hari raya. Di Indonesia, (lucunya) gaji PNS menjadi referensi bagi pemasar komoditi. Mereka menganggap bahwa tahun depan kenaikan pendapatan konsumen kira-kira sebesar 20 persen. Akibatnya, daya beli mereka juga diperkirakan naik sebesar 20%.

Kalau dipikir-pikir jumlah pegawai negeri tidak lebih dari 4 juta orang atau 4% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Mereka sebagian besar juga kelompok berpendapatan pas-pasan, tapi kelompok inilah yang dijadikan patokan untuk menaikkan harga barang. Masalahnya, apakah sisa jumlah pekerja yang 96%  juga mengalami kenaikan income lebih besar atau minimal sama dengan PNS?

Mungkin menaikkan harga adalah pekerjaan para spekulan yang mencoba mencari untung. Tapi siapa pun yang membuat harga komoditas utama naik, efeknya akan berpengaruh ke semua harga. Harga komoditas menjadi referensi bagi para pemasar untuk menaikkan harga juga. (Maklum, marketer juga manusia. Mereka perlu makan nasi juga, jadi kalau harga kebutuhan pokok naik, otomatis harga produk yang dijual juga naik.!)

Dalam kasus konversi minyak tanah dengan gas yang lalu, sebenarnya selain ketakutan konsumen bahwa gas mudah meledak, mereka juga merasa nantinya tidak bisa membeli gas ketengan. Pemerintah tidak sadar bahwa salah satu dari 10 karakter konsumen Indonesia (yang dipublikasi oleh Majalah MARKETING) adalah bahwa konsumen Indonesia berpikir short-term (jangka pendek). Banyak pembelian dilakukan oleh orang Indonesia berdasarkan pendekatan budget.

Memang jika dihitung secara rasional, gas memang lebih murah. Tapi masalahnya mereka tidak bisa membeli gas melebihi budget yang biasa merek sisihkan untuk minyak tanah. Kalau mereka biasa membeli seharga sepuluh ribu selama seminggu, maka mereka juga berharap bisa membeli gas dengan harga tersebut, berapa pun ukurannya. Apalagi bagi konsumen yang income-nya mingguan atau harian, mereka tidak bisa membeli kalau menggeser pendapatan yang sebulan ke depan. Meskipun, jika dihitung-hitung, mereka bisa lebih untung.

Mungkin pemerintah bisa belajar dari para pemasar produk fast moving consumer goods. Mereka senang membuat paket-paket ekonomis agar bisa dijangkau oleh konsumen. Konsumen tidak peduli isinya lebih sedikit, atau ukurannya diperkecil, yang penting mereka bisa membelinya saat ini.

Jadi, kalau pemerintah menggembar-gemborkan gas lebih murah, ide itu masih belum masuk di akal mereka. Bagaimana bisa lebih murah, jika mereka harus membayar jauh lebih mahal, sekalipun setelah itu (selama sebulan) mereka tidak perlu membayar lagi?

Pesan dari ini semua sederhana saja, pemerintah harus punya strategi dan kalkulasi pemasaran, sekalipun produknya mungkin bernafaskan sosial. Nah, untuk itu dibutuhkan upaya untuk memahami perilaku konsumen dengan baik. Bagaimana? (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.