Membangun Ekonomi Tanpa Kesenjangan Sosial

Seminar11Membangun ekonomi namun memunculkan ketimpangan sosial yang melebar memang sebuah ironi. Lalu bagaimana caranya agar tetap tumbuh tapi tidak timpang.

“Salah satu sebab mengapa orang lalai atau tidak memedulikan adanya kesenjangan antara kaya dan miskin adalah obsesinya tentang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa mengetahui persis apa artinya PDB,” kata pakar ekonomi Kwik Kian Gie saat berbicara sebagai key note speaker di seminar nasional yang bertema Ironi Pembangunan Ekonomi Indonesia, dengan sub tema Kesenjangan Sosial Melebar, 18/3/2015 di Auditorium Kwik Kian Gie School of Business.

Kwik mengatakan PDB adalah barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia tanpa memedulikan siapa yang membuat dan siapa yang memilikinya.

Jadi, lanjutnya, PDB yang terbentuk bisa dimiliki oleh orang atau perusahaan asing atau segelintir orang Indonesia saja, tanpa rakyat banyak menikmatinya.

Karena itu, menurut pengamat ekonomi sekaligus Rektor Kwik Kian Gie School of Business Anthony Budiawan yang menjadi salah satu pembicara, pertumbuhan pendapatan dengan cara apapun sudah pasti melebarkan kesenjangan sosial.

Oleh karena itu peran pemerintah diperlukan untuk melakukan redistribusi pendapatan. Pajak adalah mekanisme yang digunakan setiap negara untuk melakukan pemerataan pendapatan.

Anthony juga mewanti-wanti arah pembangunan rezim Joko Widodo yang baru berjalan lima bulan. Ia mengatakan bila tidak segera dikoreksi kesenjangan sosial lebih melebar.

Ia memperlihatkan beberapa indikator kebijakan ekonomi yang memicu pertumbuhan pendapatan sekaligus memperlebar kesenjangan sosial. Di Indonesia, pengusaha yang menikmati pendapatan progressive hanya dikenakan pajak final dan diwajibkan memberi deviden 10 persen.

“Pola seperti itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati golongan tertentu,” katanya.

Kebalikannya, ia menjelaskan, beban rakyat semakin besar karena pemerintah mengenakan PPN 10 persen kepada seluruh manusia di Indonesia, tak terkecuali orang miskin. Bahkan, menurut kabar, PPN ini akan dimasukkan dalam biaya listrik dan jalan tol.

Untuk itu, ia memberi masukkan agar pemerintah mengenakan Pajak progrsif bagi perusahaan yang mengalami peningkatan pendapatan. Ia mengatakan, pendapatan diatas 20 miliar dikenakan pajak sebesar 50 persen, pendapatan 10 sampai 20 miliar dikenakan 45 persen, sedangkn 5-10 miliar dikenakan 40 persen.

Untuk sektor pertanian, Anthony mengusulkan agar petani mendapat subsidi.

Di Indonesia, kelompok masyarakat miskin berada di petani. Itu disebabkan sektor ini menghadapi dilemma. Pertama, produksi beras tidak bertambah bahkan menurun. Kedua, petani tidak bisa menaikan harga beras karena pemerintah menekan harga agar tidak terjadi inflasi.

Pembicara yang lain, Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Erani Yustika, mengatakan setuju dengan pengenaan pajak progressive tapi ia mengajukan dua syarat sebelum hal itu ditetapkan pertama, tingkatkan ketaatan pajak, kedua, memastikan penerimaan pajak dikelola dengan baik.

Di Swedia, katanya, masyarakat tidak terbebani dengan pajak besar karena redistribusi yang dilakukan pemerintah dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur memuaskan.

Mengenai pola ekonomi, Erani meminta agar pemerintah menjalankan pasal 33 UUD 1945. “Pasal itu telah mengamanatkan prinsip ekonomi yang luar biasa” katanya.

Ia mengatakan, ayat satu pasal itu telah memberikan arah yang jelas karena ekonomi dibangun berdasarkan usaha bersama.

Pembicara lain yang hadir adalah Bambang Priambodo mewakili Kementerian PPN dan Kepala Bapenas,  serta peneliti World Bank Vivi Alatas. Hadir pula Ketua Umum Partai Hanura Wiranto dan peneliti kawakan di Pusat Data Bisnis Indonesia Christianto Wibisono. lj

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.