Memprediksi Kecepatan Konsumen Belajar

Dibutuhkan sekitar 1 hingga 5 tahun bagi konsumen Indonesia untuk dapat menerima sebuah produk makanan dan minuman yang memiliki bentuk baru. Bentuk baru dalam hal ini bisa sesuatu yang dahulunya adalah padat kemudian dibuat cair. Atau yang dahulu keras kemudian dibuat lebih lembut dan sebaliknya. Contohnya minuman nata de coco atau jelly. Perusahaan yang kemudian meluncurkan produk nata de coco dan jelly dalam bentuk cairan atau diminum bersama dengan sari buahnya sehingga menciptakan kategori baru, membutuhkan waktu beberapa tahun hingga konsumen bisa menerima produk ini. Padahal, jelly drink dan sari buah adalah produk yang sudah dikenal luas.

Apabila perubahan sudah menyangkut rasa, maka penerimaan konsumen terhadap kategori yang baru ini membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, yaitu sekitar 5 hingga 15 tahun hingga konsumen dewasa dapat menerima produk tersebut. Minuman isotonik adalah contoh yang menggambarkan fenomena ini. Beberapa perusahaan mulai menawarkan produk isotonik di pertengahan tahun 1980-an. Karena rasanya yang asin dan tidak biasa bagi konsumen saat itu, penerimaan terhadap produk ini menjadi lambat sekali. Minuman berkarbonat, air mineral, teh, atau sari buah masih menjadi pilihan  yang lebih baik daripada isotonik. Baru sekitar tahun 2000, minuman ini tersebar luas dengan Pocari Sweat sebagai  pemimpin pasar di kategori ini. Pada tahun 2007, sudah puluhan merek isotonik yang beredar di pasaran dengan total pasar lebih dari Rp 1 triliun.

Konsumen Indonesia sudah biasa minum teh. Demikian pula, mereka sudah terbiasa dengan minum susu. Tetapi bila kedua minuman ini dikombinasikan, maka menjadi minuman dengan rasa yang khas. Di banyak negara seperti Australia, Singapura atau Thailand, campuran minuman ini sudah menjadi kategori yang dapat diterima oleh sebagian besar dari konsumennya. Di Indonesia, fenomena ini masih membutuhkan waktu hingga puluhan tahun dan akhirnya, sekarang telah memperlihatkan penetrasi yang sangat cepat.

Bagi makanan dan minuman dengan kategori baru dan menawarkan sesuatu yang lain dengan kebiasaan makan atau norma suatu suku, maka proses yang dibutuhkan bisa mencapai 20-30 tahun. Dengan kata lain, dibutuhkan satu generasi penuh agar kategori makanan dan minuman seperti ini dapat  diterima oleh konsumennya. Proses substitusi nasi menuju mie siap saji adalah contoh yang nyata. Setelah 30 tahun berjalan, pada tahun 2007 saja mie instan diproduksi hingga 18 miliar bungkus per tahunnya. Ini berarti, ketika itu setiap kepala makan mie siap saji sebanyak hampir 80 bungkus. Kalau kita hitung kebiasaan kita yang makan 3 kali sehari atau sekitar 1.100 kali per tahun, maka mie siap saji ini sudah menggantikan sekitar 7% dari total nasi. Bila melihat perkembangannya yang selalu 4-5% di atas tingkat natalitas, maka dalam 10 tahun lagi, kontribusi mie siap saji bisa  mencapai 15%. Ini bisa menjadi pengganti makan pagi, siang atau malam.

Memang, rumusan tahun yang saya lontarkan adalah gambaran secara umum. Mengetahui suatu budaya atau kebiasaan masyarakat, bukanlah pekerjaan mudah. Oleh karena itu, marketer haruslah hati-hati. Tidak semua strategi blue ocean akan mendatangkan keberhasilan. Yang sering terjadi justru sebaliknya. Perusahaan melakukan edukasi pasar dan karena membutuhkan waktu yang sangat lama, sang produsen kemudian kehabisan nafas di tengah jalan. Akhirnya yang menikmati adalah pendatang baru, yang relatif tidak memerlukan banyak upaya untuk melakukan proses edukasi pasar.

Buah mengkudu sempat menggemparkan pasar Indonesia. Pacekap kemudian menangkap peluang dengan meluncurkan minuman serbuk. Tetapi karena rasanya yang aneh bagi sebagian konsumen Indonesia, maka penerimaan produk ini  menjadi lambat. Perusahaan tentunya membutuhkan kesabaran yang panjang untuk menunggu sampai suatu saat  konsumen menerima rasa minuman ini.

Atau lebih mudah lagi melakukan proses penetrasi di mana sebuah kategori sudah eksis, kemudian salah satu merek produk melakukan perubahan dalam cara pemasarannya. Salah satunya dengan melakukan perubahan dalam desain. Ini adalah cara yang biasanya membutuhkan waktu yang cepat. Desain menawarkan suatu tren yang dinamis, segar dan relevan dengan kondisi zama atau bahkan mendahului.

Sudah puluhan tahun konsumen Indonesia menikmati roti yang isinya ada di dalam. Sebuah roti di mana pisang, keju, sosis, daging dan lain-lain berada di bagian dalam. Ternyata, ketika roti dibuat dengan desain baru di mana isinya berada di bagian luar, produk tersebut mampu menembus pasar dengan kecepatan tinggi. BreadTalk, Bread Story dan banyak toko roti  lainnya, membuat kategori roti fashion ini menjadi tren baru. Karena tidak ada perubahan rasa, bentuk ataupun perubahan  dalam kebiasaan makan, maka penerimaan kategori ini menjadi lebih cepat.

Pasar vitamin C di Indonesia sudah cukup besar. Semula berbentuk tablet. You C-1000 kemudian datang menawarkan bentuk yang berbeda. Ternyata, produknya cepat melaju pasar. Mengapa? Saya yakin, salah satunya adalah karena minuman ini berkarbonat. Tidak mengherankan bila mereka yang switching dari yang biasa makan vitamin tablet ke minuman ini, bukanlah semata-mata mencari vitamin C-nya. Sebagian besar, menyukai rasanya yang menyegarkan. Jadi, ada cara baru untuk minum vitamin C di sini. Proses ini, tentunya tidak membutuhkan edukasi konsumen yang panjang  karena memang sudah menjadi suatu nilai tambah yang diharapkan oleh konsumen.

Faktor strategi para pemain dalam kategori produk juga tentunya sangat berpengaruh, terutama dalam hal distribusi dan komunikasi. Distribusi adalah faktor penting yang membuat penetrasi produk menjadi cepat. Kopi ginseng ketika diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan tradisional, mempunyai penetrasi yang lambat. Ketika CNI meluncurkan produk ini dengan cara multi-level marketing, maka kecepatan penetrasinya menjadi beberapa kali lebih cepat. Kecepatan penetrasi penjualan hamburger yang ditawarkan McDonald’s terasa lambat. Tetapi hamburger yang kemudian dijual dengan distribusi di mana penjualannya berkeliling, telah memberikan tambahan kecepatan terhadap penerimaan roti hamburger. Kecepatan penerimaan dalam distribusi jelas terletak dari dua hal, yaitu: proses komunikasi yang semakin cepat kepada pasar dan  sekaligus kenyamanan dari konsumen karena memperoleh produk dengan cara yang lebih mudah dan nyaman.

Komunikasi terutama iklan televise adalah faktor yang dahsyat. Misalnya, suatu ketegori produk seharusnya memiliki kecepatan penetrasi selama 25 tahun. Tetapi karena iklan yang gencar, maka proses penetrasi ini akan bisa terpotong menjadi 10 tahun saja. Lihat saja, kecepatan penetrasi minuman Vegeta yang hanya satu tahun. Demikian juga, kecepatan penetrasi dari minuman penambah tenaga hanya sekitar 2 tahun setelah beberapa pemain menggelontorkan budget iklannya. Tanpa melalui iklan, saya yakin, dibutuhkan waktu 2-3 kali lebih panjang dari seharusnya.

Kecepatan proses penetrasi suatu produk baru, intinya ditentukan oleh tiga hal. Pertama, faktor eksternal, yaitu faktor seperti budaya, norma, demografi, dan lain sebagainya. Kedua adalah faktor strategi pemasaran para pemainnya atau kompetisi, termasuk di dalamnya inovasi  produk baru, perubahan distribusi, perubahan harga ataupun iklan. Yang ketiga adalah faktor internal atau konsumen secara individu.

Faktor internal inilah yang membuat setiap konsumen sebagai individu menjadi berbeda. Konsumen yang memiliki faktor demografi yang sama dan terpengaruh oleh iklan yang sama, belum tentu memiliki perilaku pembelian yang sama. Individu memiliki persepsi yang berbeda. Individu memiliki personality yang berbeda dan memiliki motif yang berbeda pula. Dua individu yang memiliki kelas sosial A dan juga terekspos oleh produk dan promosi yang sama, akan sangat berbeda  perilakunya karena mereka memiliki motif yang berbeda. Individu yang satu mungkin memiliki motif sosial yang lebih tinggi dari individu lain, memiliki motif self-esteem yang lebih kuat. Akibatnya, yang lebih kuat motif sosialnya, akan cenderung untuk minum kopi bersama teman-temannya di kantor atau keluarga di rumah. Individu dengan selfesteem yang tinggi, akan senang minum kopi di Starbucks atau tempat-tempat yang memberikan simbol status buat mereka.

Pertanyaan yang menarik tentunya, dari ketiga faktor ini, manakah yang paling berpengaruh? Sungguh sulit untuk menjawabnya. Sangat tergantung dari kategori produknya. Sangat tergantung pula dari faktor demografinya. Bila segmen yang kita bidik adalah remaja, maka faktor strategi perusahaan dan kompetisi menjadi sangat penting. Mereka adalah segmen yang lebih mudah untuk dipengaruhi oleh iklan dan cenderung mudah untuk menerima produk baru. Bila segmen yang dibidik adalah mereka yang sudah berumur dan dari golongan sosial menengah-bawah, maka faktor eksternal menjadi penting. Budaya, norma, ke biasaan dan keluarga adalah faktor yang mungkin sudah mencakup 80%. Untuk individu yang berasal dari kelas sosial yang tinggi dan berumur matang, maka faktor internal akan menjadi faktor yang paling  mempengaruhi perilaku mereka dalam memilih produk, membeli, dan mengkonsumsi suatu produk. Ini adalah sebuah contoh yang menggambarkan kompleksitas dalam memahami perilaku konsumen. Tulisan ini sengaja saya fokuskan untuk industri makanan dan minuman di mana kita semua menjadi konsumennya. Bagi marketer yang selalu dekat dengan konsumen, mempelajari perilaku mereka, dan terusmenerus mengasah radar untuk memprediksi perilaku mereka di masa mendatang, akan menuju proses menjadi marketer yang jenius. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.