Mengenal Digital Native

Di Amerika, mereka yang lahir setelah tahun 1980, dikatakan generasi digital native. Kalau di Indonesia, mungkin yang disebut sebagai generasi digital native adalah mereka yang lahir setelah tahun 1985 atau beberapa tahun lebih lambat dibandingkan dengan orang Amerika. Mereka lahir saat teknologi internet sudah akan dimulai dan ketika masuk Sekolah Dasar, teknologi internet sudah dapat diakses.

Mereka yang lahir di tahun-tahun sebelumnya, termasuk saya yang lahir di pertengahan 1960-an, adalah kelompok digital immigrant. Disebut demikian karena kita sudah biasa berada di dunia real, tetapi kemudian dipaksa untuk masuk dalam dunia virtual. Kita menggunakan internet saat sudah dewasa atau bahkan saat sudah memiliki penghasilan. Tidak seperti anak remaja saat ini, yang sudah sejak awal mengerjakan banyak hal dengan internet. Mereka mengerjakan PR dari sekolah, dengan mencari informasi lewat internet. Mereka memiliki profil di Facebook, Friendster, dan lain-lain. Hampir setiap hari mereka chatting, berbagi pengalaman dan foto melalui internet.

Bagi marketer, implikasinya sungguh besar. Saya sudah beberapa kali menulis di kolom ini tentang bagaimana digital marketing akan mengubah banyak hal. Media, strategi komunikasi, distribusi, delivery, CRM atau fungsi-fungsi marketing lainnya, semua mengalami perubahan bak metamorfosa. Perubahannya bisa terjadi tiba-tiba, tetapi sebenarnya sudah dapat ditebak trennya. Memang, bagi marketer yang bekerja di consumer goods, proses ini masih terasa lambat. Tetapi, bagi marketer yang masuk industri B-to-B atau consumer services, proses revolusi ini sudah dan akan terus berjalan dengan kecepatan eksponensial.

Ada satu fundamental yang sama bagi marketer. Jauh sebelum kita melangkah, membuat lompatan besar dengan segala strategi dan investasi teknologi, adalah wajib bagi kita untuk mengetahui attitude dan perilaku digital natives. Hal apakah yang paling membedakan para native dengan immigrant ini? Attitude dan perilaku apakah yang paling signifikan perbedaannya sehingga marketer harus mengubah strateginya?

Identitas

Puluhan tahun yang lalu, seseorang akan lebih banyak mengekspresikan dirinya melalui pakaian, perhiasan, barang-barang pribadi yang melekat pada diri dan gaya hidupnya. Mereka mengomunikasikan kepada orang lain, siapa mereka dan apa kepribadiannya melalui hal-hal ini. Demikian pula, mereka menjadi bagian dari sistem sosial yang memiliki identitas. Mereka memiliki kontribusi untuk mengubah identitas sosial, tetapi harus melakukan secara bersama-sama dengan anggota komunitasnya.

Para digital native ini juga memiliki substansi yang sama, tetapi dengan cara dan kecepatan yang berbeda. Mereka mampu mengekspresikan diri melalui online dan offline. Mereka memiliki lebih banyak akses, terutama melalui internet dan mobile.

Dalam hal identitas, beberapa perbedaan penting adalah dalam hal personal information. Para immigrant sangat hati-hati dalam memberikan informasi yang bersifat personal. Digital native justru sangat terbuka dan cenderung menebar informasi tentang hobi mereka, apa yang mereka lakukan, dan apa pandangan mereka. Ini dilakukan karena mereka memiliki keinginan untuk mencapai goal dan tujuan hidup seperti friendship, social acceptance, popularitas atau sekedar pelepas stres. Kalau mereka mengundang kawan-kawannya untuk menjadi bagian dari Facebook, maka yang ingin mereka dapatkan adalah untuk melihat berapa kawan yang menerima respons mereka.

Kedua, digital native ini memiliki kemampuan untuk membentuk identitas mereka lebih cepat dan lebih beragam. Di sisi lain, mereka tidak memiliki kontrol atau lebih sedikit kontrol dalam hal persepsi orang lain terhadap identitas mereka. Ini adalah paradoks. Jadi, mereka berpikir bahwa mereka mampu dan punya kebebasan untuk mengubah-ubah identitas mereka, tetapi sebenarnya identitas sosial menjadi hal yang sulit.

Di masa lalu, kita lebih mudah mengubah identitas sosial atau bagaimana orang lain mempersepsi kita. Dengan komunikasi yang konvensional, orang-orang di sekitar kita akan memiliki persepsi seperti yang kita inginkan. Saat ini, identitas sosial justru lebih sulit karena tidak adanya kekuatan untuk menciptakan maupun mengubah hal ini.

Apa implikasinya bagi para marketer yang membidik segmen ini? Pertama, komponen brand personality menjadi semakin penting sebagai bagian dari brand image. Kalau di masa lalu, atribut produk, benefit, value dan self-esteem adalah komponen pembentuk brand image yang penting; maka hari ini dan ke depan, akan semakin berubah. Marketer harus mulai serius mengubah strategi positioning dengan memasukkan elemen brand personality. Kebebasan para digital native dalam mencari dan mengekspresikan brand identity ini semakin besar dan mereka membutuhkan media dan produk yang dapat menangkap aspirasi mereka. Peluang ini bukan hanya untuk mereka yang masuk bisnis online, tetapi juga offline. Perlu dicatat bahwa digital native ini tetap saja, selamanya, akan hidup sebagai hybrid consumer. Mereka membutuhkan offline untuk mencari pengalaman real atau sebagai interface dari apa yang mereka komunikasikan secara online.

Ring Back Tone (RBT) yang sangat populer di Indonesia adalah bukti yang sangat nyata. Bukan hanya lagu yang enak didengar yang mereka cari, karena toh yang mendengar justru orang lain yang menelepon ke ponsel mereka. Tapi, kesemua pilihan RBT ini adalah pencerminan dari keinginan untuk membentuk identitas mereka.

Kedua, ada peningkatan yang sangat besar dalam hal customization. Karena semuanya bergerak cepat, maka keinginan untuk mencari identitas yang semakin unik akan semakin cepat. Marketer atau setiap perusahaan haruslah mulai memikirkan digital content-nya. Industri telekomunikasi, resto ataupun tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh digital native ini harus mengadopsi “digitilization”  lebih cepat. Inilah salah satu cara untuk mengakomodasi keinginan mereka untuk mendapatkan layanan yang customized dan personal.

Marketer harus semakin memiliki paradigma ”ask next question”. Jadi, kalau mereka sudah mem-booking sebuah tiket konser, kita perlu bertanya: apa pilihan tempat duduknya? apa mereka juga ingin memesan untuk dinner sebelum konser? apakah? apakah? Dan seterusnya. Intinya, diperlukan sederet pertanyaan untuk mengakomodasi keinginan mereka.

Reebok, di beberapa outletnya yang besar, sudah memiliki sebuah tempat bagi para digital native untuk mendesain sepatu mereka sendiri. Mereka boleh memilih modelnya, warnanya, coraknya dan kemudian ukuran sepatunya. Sepatu mereka terasa pas dengan keinginan dan ini sesuai dengan harapan mereka agar identitas mereka bisa diekspresikan. Dalam jangka panjang, hal-hal ini akan booming. Perusahaan yang tidak mampu melihat keinginan para digital native ini pasti akan ditinggalkan.

Privacy

Inilah dimensi kedua yang mengalami perubahan cepat sehingga membedakan kelompok native dan immigrant. Dengan bantuan Google, seseorang dapat melihat apa saja yang telah dilakukan kawannya selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, dengan bantuan Google Earth, sudut-sudut rumahnya bisa terlihat pula. Memang, beberapa situs sudah mulai memikirkan cara-cara untuk memblok Google yang dapat mengakses data mereka.

Web 2.0 telah menjadi alat komunikasi yang luar biasa, tetapi sekaligus menjadi “monster” bagi mereka yang menginginkan privacy. Sekelompok siswa pernah melakukan demo melalui online untuk memprotes Facebook. Hanya dalam hitungan hari, sebanyak 750.000 member sudah bergabung dalam gerakan “Students Against Facebook”. Akhirnya, Facebook mendengar dan merespons mereka. Sebuah fitur baru dibuat untuk lebih melindungi para user dan terbukti direspons dengan sangat baik.

Di satu sisi, perusahaan perlu serius memberikan keyakinan terhadap  privacy. Suatu saat, semua bentuk spam akan menjadi semakin sempit ruang geraknya. Yang ideal adalah mengajak mereka untuk masuk dalam sebuah komunitas atau membentuk database. Cara-cara komunikasi seperti ini, akan menjadi pola yang terbaik bagi mereka yang tidak mau terganggu masalah privacy.

Di sisi lain, para digital native sudah mulai terbiasa untuk tidak mempertahankan hal-hal privacy mereka. Jadi, mereka juga menuntut perusahaan agar tidak banyak memproteksi privacy dan mempertahankan hak-hak mereka. Marketer akan menghadapi kenyataan bahwa lebih baik membiarkan konsumen digital native ini bebas mengakses dan tanpa copy right. Tentunya, perusahaan harus mengubah bisnis model mereka dan memikirkan bagaimana mereka memperoleh revenue dengan cara lain. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.