Menguak Rahasia Penjualan Berlipat Sepeda Lipat BROMPTON

Marketing.co.id – Karena kegemarannya pada kegiatan bersepeda dan travelling, tahun lalu Andi memutuskan untuk membeli sepeda lipat agar bisa memadukan kedua hobinya tersebut. Pilihannya jatuh pada sepeda BROMPTON seri S6R yang harganya sekitar Rp27 juta.

Pengusaha asal Bandung yang rela merogoh kocek untuk mendukung hobinya ini, tidak pernah menyangka bahwa setahun kemudian harga sepedanya bisa melejit dan dibandrol 56 juta rupiah. Pasalnya, sepeda lipat asal London ini mendadak jadi sorotan masyarakat Indonesia, karena terseret kasus penyelundupan barang mewah yang dilakukan oleh direksi Garuda Indonesia, sehingga membuat kalangan milenial berbondong-bondong ingin memiliki sepeda kekinian tersebut.

Sepeda Lipat BROMPTON
Salah satu varian Brompton yang beredar di pasaran.

Brand ini juga semakin terkenal dengan harganya yang cukup fantastis. Uniknya, harga yang mahal justru menjadi daya tarik tersendiri karena memberi aura prestise dan “keren” bagi penggunanya. Merasa puas dengan kualitas sepeda barunya, akhir tahun 2019 Andi memutuskan untuk menambah koleksinya. Ia pun membeli BROMPTON X CHPT 3 yang merupakan hasil kolaborasi BROMPTON dengan eks pembalap pro, David Millar. Ia rela menunggu berminggu-minggu untuk mendapat barang idamannya karena harus berebut dengan pembeli lain yang tak ingin ketinggalan tren.

Baca juga: 5 Tips meningkatkan Branding di Media Sosial

Kian digandrungi, BROMPTON kerap dijadikan koleksi yang dapat diinvestasikan. Contohnya saja, harga koleksi edisi CHPT 3 ini dihargai sekitar Rp65 juta pada tahun lalu. Namun, akibat pasokan yang terbatas membuat koleksi tersebut melejit harganya mencapai ratusan juta. Kenaikan harga tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan, melainkan karena memang produknya eksklusif, seperti bahan yang terbuat dari titanium hingga lipatannya yang sempurna dan ringkas.

Dikutip dari media The Times, BROMPTON tercatat berhasil meningkatkan penjualan sebanyak 18% di tahun 2019 atau setara dengan penjualan sebanyak 48.956 unit. Ditambah lagi, mewabahnya virus Covid-19 membuat orang-orang menghindari transportasi publik. Sehingga pada tahun 2020 ini, penjualan BROMPTON naik hingga 5 kali lipat. Walaupun menawarkan kualitas super, Penulis masih tak henti bertanya, sebenarnya apa sih yang membuat BROMPTON jadi diburu dengan strategi yang terlihat  effortless?

Karena rasa penasaran, akhirnya saya berusaha mengamati dan ingin menguak strategi terselubung di balik kesuksesan penjualan berlipat sepeda lipat ini. Berbeda dengan brand pada umumnya, ternyata BROMPTON tidak menggunakan promosi yang heboh untuk menarik minat pasar melainkan mengandalkan rekomendasi dan review dari konsumennya, atau biasa disebut dengan strategi word of mouth. 

Buktinya saja, dalam wawancara eksklusif dengan Tempo.co, CEO BROMPTON, Will Butler mengungkapkan, bahwa perusahaannya lebih memilih untuk menghabiskan 250.000 Poundsterling untuk riset pembuatan sepeda yang lebih baik daripada mendanai periklanan.

Strategi word of mouth ini semakin berkembang pesat karena adanya aktivitas sosial media yang kian interaktif dan fokus pada user generated content. BROMPTON kerap menciptakan konten yang mengajak pengikutnya untuk turut membagikan jepretan-jepretan estetik mereka saat bersepeda dengan menggunakan tagar khusus. Konten-konten ini diunggah hampir setiap hari di Instagram. Hal ini berdampak cukup baik karena dapat membuat masyarakat luas menyadari, bahwa sepeda lipat ini cocok digunakan oleh siapapun dan dimanapun, termasuk dibawa saat traveling ataupun menjadi pilihan untuk bepergian sehari-hari.

Saking penasarannya, penulis mencoba menganalisa account engagement BROMPTON menggunakan aplikasi khusus yang dapat menilai popularitas di Instagram, dan hasilnya menunjukkan, bahwa tagar #brompton andalan brand ini menyentuh angka 648.312 dan tagar #madeinlondon yang merupakan slogan brand ini mencapai angka 108.084, sementara salah satu kompetitornya yang juga brand terkenal, hanya meraih angka terbesar 5.342 sebagai skor tertingginya.

Melalui Twitter, mereka seringkali menyuarakan berbagai acara hingga kompetisi sepeda internasional, seperti Brompton Urban Challenges, Brompton World Championship, hingga Prudential Ride London, yang akhirnya menarik perhatian pecinta sepeda. Tak lupa, BROMPTON juga menyediakan website resmi yang memiliki tampilan berbeda untuk setiap negara sehingga memudahkan pengunjungnya mencari informasi yang lebih relevan.

Strategi marketing lain yang tak kalah keren adalah saat BROMPTON me-launching edisi khusus Black Edition, yaitu dengan membuka sayembara pembuatan short-film yang harus mempromosikan sepeda tersebut secara unik. Pemenangnya berkesempatan untuk mendapatkan satu unit sepeda limited edition.

Secara tidak langsung, aktivitas-aktivitas seperti ini memotivasi para pemilik BROMPTON untuk turut berpartisipasi mengekspose produk mereka di sosial media yang dapat “menghasut” orang-orang di sekitarnya untuk ikut mencoba tren sepeda ini. Sementara untuk memperluas pasar ke mancanegara, BROMPTON memiliki strategi tersendiri, yakni selalu berfokus pada kota yang dituju secara spesifik, bukan negaranya. Hal ini karena BROMPTON mengerti betul bahwa pola pasar ekspor mereka bisa memakan waktu hingga 10 tahun untuk benar-benar matang.

Community Based Marketing

Selain digital marketing, brand ini juga sering menggandeng beberapa publik figur, seperti Vic Lee dan David Torrent, untuk menciptakan edisi kolaborasi yang terbatas. Hasil penjualan produk limited edition ini membantu perusahaan meningkatkan keuntungan yang lumayan besar. Tak lupa, BROMPTON juga mengandalkan strategi community based marketing. Brand ini berhasil membuat penggemarnya merasa seperti bergabung dengan sebuah klub eksklusif namun tetap membumi.

Menjamurnya komunitas BROMPTON membuktikan betapa pesatnya pertumbuhan brand ini. Hal ini juga dikarenakan salah satu konsep yang diusung ternyata mendukung penggunanya bersosialisasi satu sama lain, tepatnya pada slogan “for socializing and feel unstoppable”. Andi mengatakan, kegiatan ini menjadi jauh lebih menyenangkan karena dilakukan bersama dan menjadi fleksibel karena sepeda ini dapat dilipat hanya dalam 30 detik lalu diangkut.

Baca juga: Wajib Coba! 5 Taktik Online Marketing Terbaik

BROMPTON mengerti perilaku konsumen yang seringkali melakukan “one way cycling” , sehingga ingin membuat penggunanya nyaman bepergian menggunakan sepeda, termasuk saat ingin menyambung perjalanan menggunakan bus ataupun kereta. Bagi penggemarnya, memiliki BROMPTON sudah bukan sekedar ikut-ikutan tren, tapi sudah dianggap sebagai lifestyle.

Menariknya meroketnya permintaan sepeda lipat ini dipasaran tidak membuat BROMPTON meningkatkan volume produksinya secara drastis. Mereka percaya, bahwa jumlah produk yang terlalu banyak bisa menghancurkan perusahaan. Sehingga, tak jarang BROMPTON menolak sejumlah pesanan untuk menjaga kualitas dan membuat produknya tetap eksklusif.

Nah, akhirnya terjawab sudah rasa penasaran saya atas rahasia kesuksesan penjualan berlipat sepeda lipat BROMPTON. Ternyata, strategi yang diimplementasikan bukan hard selling, sehingga terlihat lebih luwes di mata konsumennya. Akhir kata, mengesampingkan pemasaran hingga terlihat effortless bukan berarti tidak memberikan hasil yang maksimal, loh. Justru sebaliknya, brand ini berhasil menciptakan hasil luar biasa dengan memprioritaskan konsistensi kualitasnya yang numero uno.

Penulis: Qinthar Alifah, Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester VI- Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB; Business Development Intern di Eduka System

Editor: Tony B.

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.