Mengupas Konsep Keuangan Berkelanjutan EBT dalam “Tempo Energy Day 2021”

Marketing.co.id – Berita Financial I Tempo Media Group (Tempo) menggelar webinar #TempoEnergyDay2021 bertema “Energi Bersih untuk Indonesia”. Mengusung campaign #energibersih #tempoenergyday2021 webinar yang berlangsung tiga hari terbagi dalam beberapa sesi.

Tempo Energy Day 2021

Direktur Utama Tempo Inti Media Tbk, Arief Zulkifli mengatakan, penggunaan energi fosil dunia terus meningkat seiring peningkatan kegiatan ekonomi. Di satu sisi cadangan energi fosil terus menyusut, khususnya minyak bumi dan gas alam.

“Sebagai negara dengan sumber energi baru terbarukan melimpah, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan cadangan energi fosil, khususnya minyak dan gas bumi. Saat ini total potensi energi terbarukan ekuivalen 442 gigawatt (GW) digunakan untuk pembangkit listrik. Namun, yang dimanfaatkan menjadi sumber energi baru 2,5 persen atau 10 gigawatt,” ujar Arief.

Hal lain yang menarik adalah konsep keuangan berkelanjutan (sustainable finance). Indonesia membutuhkan pendanaan energi terbarukan yang khusus. Tingkat perkembangan energi terbarukan yang masih infant, risiko yang tinggi, dan pasar yang masih terbatas memerlukan sebuah stimulus untuk menarik investor. Perbankan perlu semakin agresif menyalurkan kredit ke sektor energi terbarukan.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan sejumlah regulasi menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang bisnis dan investasi dari keuangan berkelanjutan. Peningkatan pembiayaan hijau itu guna mempercepat agenda keberlanjutan dalam membantu nasabah dalam mengintegrasikan praktik bisnis berkelanjutan dalam seluruh strategi bisnisnya.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi, Masyita Crystallin menyampaikan, transisi energi dan ketahanan energi sama-sama penting. “Energi terkait dengan development satu daerah atau negara. Akses terhadap energi listrik terutama berkaitan dengan poverty (kemiskinan) dan ketidaksetaraan di suatu daerah untuk capai Net Zero Emission perlu mengubah tatanan energi yang ada ke renewable energy,” ujarnya.

Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Enrico Haryono menyampaikan semua pihak harus mendukung penurunan emisi karbon. Di luar dukungan fiskal pemerintah, pembiayaan 70-80 persen berasal dari sektor perbankan, termasuk dari sektor energi. Di OJK, pembiayaan ke depan untuk energi baru terbarukan harus melihat tipikal pembiayaan, membalancing (menyeimbangkan) antara bisnis dan risiko.

“Energi merupakan bisnis padat modal. Jadi, perbankan harus memahami know how-nya. OJK sangat mensupport pembiayaan energi dan sektor lain yang mendorong penurunan emisi karbon, kami siapkan struktur kebijakan termasuk insentif dan disinsentif terukur dalam risk tolerance. Mengeksplor instrumen-instrumen sehingga bisa didesain khusus, misalnya project bond atau municipal bond. Semua channel bisa didorong untuk financing, termasuk perbankan dan pasar modal,” ujarnya.

Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur, Edwin Syahruzad, mengatakan bauran energi akan bergeser ke EBT. Tak kalah penting elektrifikasi. Dua sub sektor itu harus didorong bagaimana agar orang tertarik berinvestasi ke project green. “Kuncinya adalah tahu persis akses kepada teknologi yang menghasilkan energi terjangkau. Juga familiarity dari kalangan  pebisnis. Tentunya dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah, misalnya carbon tax, akan mendorong pengusaha berinvestasi sehingga akan muncul demand potensi pembiayaan,” ujarnya.

Corporate Banking Industry Group Head Resources and Property, UOB Indonesia, Susanto Lukman sepakat bahwa pembiayaan energi hijau menjadi isu penting. UOB Indonesia secara konsisten menyertakan pentingnya isu climate change (perubahan iklim). Green energy akan menjadi masa depan energi dan akan makin affordable ke depannya dan besar.

Menurut Susanto, korporasi sudah lakukan investasi ke green energy. Bukan hanya hydropower, beberapa manufakturing mulai menambahkan solar panel ke sumber energi yang tidak lebih mahal dari bahan bakar fosil. Bahkan, perusahaan tak perlu menambahkan capex (belanja modal) namun cukup komitmen dalam jangka waktu tertentu.

“Transisi sudah berjalan dan berkembang dengan baik, UOB sangat ready untuk green energy, kami sudah ada 3 framework, yakni Real Estate Sustainable Financing (GBF), Smart City Sustainable Financing Framework (SCSFF), dan Green Financing for Circular Economy (GCF),” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Senior Vice President Corporate Banking V Bank Mandiri, Midian Samosir, mengatakan target capaian EBT 23% pada 2025 merupakan hal yang menantang bagi perbankan. Saat ini energi yang terbarukan baru mencapai 11-12 persen padahal sudah berlangsung puluhan tahun. Di perbankan sendiri selalu mengikuti regulator, termasuk dalam hal ini roadmap sustainable finance tahap 1 yang sudah terlaksana dan siap menuju tahap kedua.

Di Bank Mandiri, sudah masuk green ESG (Environmental, social, and governance), antara lain dengan sediakan kredit program mobil listrik dalam upaya mendorong untuk energi terbarukan. Di bank BUMN ini juga dilakukan poses capacity development ikut dialog dan diskusi dengan asosiasi pelaku usaha  dan dewan energi nasional untuk menaikkan level awareness dan knowledge pada industri guna mendorong ESG finance.

“Bank Mandiri sudah menjalankan sustainable financing termasuk ESG. Kami peduli dengan hal ini mengingat stakeholder dalam dan luar negeri mulai concern dengan ekonomi keberlanjutan,” ujarnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.