Menilik Dampak Revisi Aturan BPA BPOM pada Bisnis UMKM

Marketing.co.id – Berita Marketing I Pemerintah perlu mewaspadai risiko pelabelan wajib Bisfenol-A (BPA) pada galon guna ulang berbahan polikarbonat terhadap eksistensi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adapun dampak dari rencana kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu akan berdampak pada pebisnis kelas kecil yang kini banyak terjun ke industri pengisian air minum.

BPA

Pada tahap awal, pelabepan BPA memang akan berdampak langsung terhadap bisnis industri besar, mengingat galon yang digunakan dalam pengisian ulang diproduksi oleh korporasi kelas atas. Akan tetapi, dalam jangka panjang kebijakan ini berpotensi mereduksi skala bisnis UMKM. Apalagi, saat ini banyak masyarakat telah membuka usaha pengisian air minum dengan kemasan galon.

Hal ini pun tengah diwaspadai oleh Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) yang mulai cemas dengan rencana pelabelan wajib BPA tersebut. Sekjen Ikappi Reynaldi Sarijowan menyarankan kepada BPOM dan pemangku kebijakan lain untuk lebih memperhatikan pada standar mutu dibandingkan dengan kemasan dari produk tersebut.

Kendati tidak merasakan dampak langsung, dia meminta kepada pemerintah untuk lebih teliti dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan konsumsi masyarakat luas ini. “Buat pedagang berdampak tetapi secara tidak langsung. Tetapi [yang lebih penting] soal mutu,” kata Reynaldi.

Pelabelan BPA itu termuat di dalam rancangan revisi peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan yang belum mendapatkan pengesahan. Persoalannya, penelitian yang dijadikan dasar perubahan aturan itu dilakukan secara tertutup. Apalagi, rencana revisi aturan yang sama mengandung kejanggalan karena untuk produk air kemasan dengan galon sekali pakai berbahan PET dibolehkan menggunakan label bebas BPA.

Faktanya, galon sekali pakai yang diproduksi segelintir produsen air minum dalam kemasan (AMDK) itu menggunakan bahan Polietilena Tereftalat (PET) yang sama-sama berpotensi tercemar bahan kimia asetaldehida dan etilen glikol dan mikroplastik. Oleh sebab itu, BPOM disarankan untuk melakukan komunikasi intensif dengan pelaku usaha serta kalangan masyarakat, termasuk pebisnis kecil untuk menghindari perdebatan yang panjang mengenai hal ini.

Belum lama ini, BPOM memberikan pernyataan, bahwa pelaku UMKM mendapatkan pengecualian dari rencana kebijakan pelabelan BPA ini. Akan tetapi, sejumlah kalangan meragukan komitmen tersebut. Apalagi BPOM terbukti tidak konsisten dalam menyusun kebijakan soal BPA pada galon guna ulang.

Tahun lalu misalnya, lembaga tersebut menerbitkan keterangan yang kontra produktif. Pada Januari dan Juni 2021, BPOM menyampaikan bahwa berdasarkan hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon AMDK jenis PC atau galon guna ulang, airnya aman dikonsumsi.

BPOM mengatakan nilai migrasi BPA dari kemasan galon jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Secara mengejutkan, BPOM mengajukan usulan perubahan aturan No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan pada Oktober 2021 dengan dalih risiko BPA terhadap kesehatan.

Peraturan ini sebenarnya sudah direvisi pada Agustus 2021, namun pada draft yang diajukan Oktober 2021 lalu ke Sekretariat Kabinet  ditambahkan pasal baru yang dinilai diskriminatif dan tidak sensitif pada persaingan usaha industri AMDK, khususnya produk galon.

Adapun revisi yang diajukan itu akan mewajibkan AMDK galon guna ulang berbahan PC untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya. Sedangkan  galon sekali pakai berbahan PET boleh mencantumkan label ‘bebas BPA’.

Dalam kaitan ini, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan kepada BPOM untuk memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai jaminan perlindungan UMKM. Menurutnya, dampak dari kebijakan ini memang akan dirasakan lebih dahulu oleh pelaku besar sebelum mengarah ke pelaku UMKM. Adapun dampak pada UMKM relatif lebih kecil sepanjang kebijakan pelabelan BPA itu tidak diiringi dengan penarikan galon yang telah beredar di masyarakat.

Oleh sebab itu, BPOM wajib memberikan kepastian apakah pelabelan BPA berlaku surut atau tidak. Jika berlaku surut, maka galon yang saat ini beredar pun harus ditarik dari pasaran lantaran tidak dilengkapi label BPA. Hal inilah yang merugikan UMKM karena mayoritas galon yang dijadikan objek untuk mengisi ulang air adalah barang bekas atau yang sudah beredar di masyarakat.

“Jangan sampai semua galon yang sudah tersebar harus ditarik kembali dan disesuaikan standarnya mengikuti regulasi yang baru,” kata Yusuf. Menurutnya, jaminan tersebut amat penting karena berkorelasi langsung dengan harga jual pada produk air isi ulang dengan galon bekas.

Sekadar menggambarkan, dengan skenario pelabelan BPA berlaku surut maka seluruh produk galon memiliki nilai yang lebih tinggi seiring dengan membengkaknya ongkos produksi yang disebabkan penyematan label tersebut. Naiknya ongkos produksi ini lantas akan didistribusikan kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan harga jual. Dengan demikian, nilai dari galon tersebut lebih mahal meskipun berstatus produk bekas.

“Apabila galon harus menggunakan standar BPA dan galon lama tidak boleh digunakan kembali, tentu ini akan berdampak terhadap konsumen dan juga pelaku usaha air isi ulang,” jelas Yusuf.

Sementara itu, pelaku usaha isi ulang kemasan yang tergabung di dalam Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum Isi Ulang dan Sumber Air (Asdamindo) berulang kali menyuarakan penolakan terkait dengan pelabelan BPA.

Dalam keterangan resmi yang dirilis beberapa waktu lalu, Ketua Asdamindo Erik Garnadi menilai rencana BPOM tersebut karena merugikan pebisnis UMKM. Menurutnya, seharusnya yang lebih disoroti pemerintah adalah soal kualitas air minum isi ulang yang ada di depot-depot ilegal. Terlebih, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hanya 1,6% dari total jumlah depot air minum isi ulang yang memiliki legalitas atau sertifikat higienis.

Dari sisi makro ekonomi, tergerusnya bisnis UMKM juga berdampak pada menyusutnya pertumbuhan. Maklum, sektor ini berkontribusi hingga 61% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 97% penyerapan tenaga kerja. Bahkan, di tengah krisis akibat pandemi COVID-19 UMKM menjadi salah satu skala bisnis yang mampu tetap bertahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.