Menjaga Kesetiaan Pelanggan terhadap Merek

Marketing.co.id- Konsumen yang sangat loyal tidak gampang jajan ke merek lain. Bahkan jika kesetiaannya naik, pesaing semakin sulit untuk menerobos masuk. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan tetap membeli walaupun banyak tawaran menggiurkan dari pesaing. Sebaliknya, pelanggan tidak setia kecenderungan pembeliannya lebih didasarkan pada faktor harga murah.

Menciptakan kesetiaan pelanggan menjadi penting karena beberapa faktor, di antaranya: pertama, efisiensi dan efektivitas program marketing, terutama yang berhubungan dengan biaya pemasaran. Sebuah merek yang tingkat kesetiaan pelanggannya tinggi akan mampu mengurangi biaya pemasaran yang dikeluarkan.

Kedua, mampu menurunkan kekuatan tawar-menawar dari para perantara sehingga mereka akan berada dalam posisi yang lebih rendah dibanding produsen, sehingga cenderung menurut dan tidak neko-neko.

Ketiga, mampu menarik pelanggan baru untuk masuk. Jika konsumen memiliki tingkat kesetiaan yang sangat tinggi terhadap merek kita, dia akan memengaruhi orang lain, antara lain lewat word of mouth karena mereka sudah menjadi pembela merek kita.

Keempat, merek dengan tingkat kesetiaan tinggi biasanya toleransi mereknya juga tinggi. Artinya konsumen akan memberikan toleransi yang tinggi terhadap segala ancaman pesaing.

Pengukuran terhadap kesetiaan merek juga harus dilakukan terus-menerus. Pertama, dilakukan terhadap perilaku konsumen yang menyangkut tingkat pembelian ulang, persentase pembelian, dan jumlah merek yang dibeli oleh konsumen dalam satu produk kategori tertentu.

Kedua, dengan menghitung switching cost. Berapa banyak sih konsumen yang akan berpindah? Ke mana saja mereka mau berpindah? Mengapa mereka berpindah? Itulah pertanyaan yang harus dijawab. Ketiga, pengukuran tentang komitmen konsumen. Salah satu hal yang diukur antara lain jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan merek tersebut.

Langkah apa saja yang dapat kita gunakan untuk memelihara dan meningkatkan kesetiaan terhadap merek? Banyak perusahaan yang menjalankan strategi “frequency marketing program”, artinya perusahaan akan memberikan penghargaan jika konsumen membeli dalam frekuensi tertentu. Jika kita sering menggunakan jasa airline tertentu, pada jumlah frekuensi tertentu kita akan mendapatkan tiket gratis. American Airline merupakan pionir dalam penerapan strategi ini di tahun 1980-an. Hampir seluruh perusahaan kartu kredit juga menjalankan strategi ini. Pelanggan mendapat sejumlah poin yang bisa ditukarkan hadiah jika mereka berbelanja dengan kartu kredit tertentu. Membership program marketing adalah strategi yang bisa juga digunakan oleh para pemasar. Harley Davidson punya HOG (Harley Owners Group) yang merupakan kumpulan pencinta fanatik Harley. Saat ini member mereka hampir mencapai 150.000.

Program loyalty yang lain adalah relationship marketing. Dengan menjalankan program tersebut, kita berharap bisa mengembangkan suatu proses perjalanan customer dari suspect–prospect–first time–repeat –clients–advocates dan akhirnya menjadi partner kita. Menerapkan loyalty program jelas merupakan salah satu cara menjaga kesetiaan konsumen dan ini sangat diperlukan mengingat persaingan yang kini sangat tajam. Banyak konsumen sebenarnya tidak melihat perbedaan signifikan antara produk yang kita tawarkan dengan pesaing. Coba saja kita bertanya kepada konsumen, apakah mereka masih mau membeli merek kita jika harganya sama. Jika mereka mengatakan semua merek sama, atau mereka mengatakan “kami tidak tahu”, tentulah hal ini merupakan berita buruk bagi kita. Makanya program-program loyalitas diharapkan bisa menetralisir masalah tersebut.

Perkembangan mengenai loyalty juga banyak mengalami perubahan. Timothy Keiningham bahkan menyebutkan beberapa mitos mengenai loyalty yang harus kita hindari, di antaranya mitos yang mengatakan tujuan nomor satu perusahaan adalah customer loyalty; kemudian perusahaan harus lebih menekankan upaya untuk mempertahankan pelanggan daripada mengakuisisi pelanggan; perusahaan dengan banyak konsumen yang loyal pasti akan mendapatkan market share yang lebih tinggi; dan mitos bahwa mengurangi defections 5% pelanggan akan menaikkan keuntungan perusahaan antara 25% sampai 85%; serta pandangan bahwa biaya akuisisi pelanggan baru lima kali lebih besar daripada mempertahankan pelanggan.

Pandangan-pandangan tersebut sekarang dianggap sudah tidak terlalu relevan dan agak sulit dipertanggungjawabkan rasionalitasnya. Misalnya saja mempertahankan pelanggan yang ada saat ini—apalagi pembeli kelas kakap atau nasabah besar bank—tentu biayanya akan sangat besar karena heavy user selalu menuntut lebih sehingga menimbulkan biaya yang sangat besar demi menjaga agar mereka tidak pindah. Untuk lebih dapat menjaga kesetiaan pelanggan, pemikiran kita mengenai pandangan yang salah soal loyalitas harus bisa diubah.

Berbicara mengenai customer loyalty, yang pertama harus kita pahami adalah jangan sampai mengelola lebih dulu customer retention sebelum kita melakukan customer selection; kemudian kita harus selalu fokus pada customers’ share–of-wallet; harus ada interaksi yang saling menguntungkan antara pelanggan dan perusahaan dalam penciptaan loyalty program. Kemudian, kita harus mempelajari semua pola respons dari pelanggan selama ini; kita harus lebih memahami bahwa kepuasan dan kesetiaan pelanggan adalah dua hal yang berbeda. Dan yang terakhir, kita harus secara bersamaan dan simultan menjalankan program loyalty dengan program penciptaan brand image. Dengan memerhatikan hal tersebut, kita bisa memelihara kesetiaan pelanggan sehingga keberlanjutan pertumbuhan perusahaan menjadi semakin terjaga. Loyalty “is the hidden force behind growth, profits, and lasting value”—the intangible that binds an organization together and manifests the strength and quality of its culture. (Robert T. Herres)

 

Oleh Darmadi Durianto

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.