Menjual dan Obral Gratis

Gegap gempita terasa dua tahun terakhir ini bila kita mengikuti media sosial. Salah satu yang membanjiri linimasa yaitu berita atau tawaran seminar dengan judul yang mengedepankan kata-kata sakti seperti “digital”, “startup”, “coaching”, “apps”, atau “UMKM”. Tentunya ada alasan tersendiri mengapa hal ini menjadi menu yang hot untuk diseminarkan oleh banyak narasumber—baik yang masih ingusan hingga yang sudah menjelajah dunia. Hanya saja sayangnya, nilai sebuah kompetensi dirusak oleh embel-embel yang bertujuan jadi daya pikat; bahwa sekarang ilmu mudah didapat lewat “Mbah Google”, sehingga kata “free” bin gratis menjadi daya tarik! Tapi, bukankah semakin mengekspos free itu menurunkan kualitas dan integritas, karena tidak menghargai ilmunya sendiri dan melunturkan sebuah profesionalisme?

menjual dan obral gratis

Saya percaya sekali bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, dan orang-orang yang bermental gratis adalah orang berjiwa (maaf) pengemis. Bagaimana mental gratis bisa sukses? Karena peribahasa mengatakan gratis tidaklah mendidik; gratis melunturkan komitmen; dan dalam kegiatan bisnis, dengan kata gratis sebetulnya sebuah jebakan sudah terpasang untuk membayar lebih mahal kemudian.

Tiga “C” (CommitmentCompetenciesCrisis Urgency)

Kenapa dalam sebuah organisasi banyak eksekusi terhambat? Dari pengalaman empiris, ternyata penyebabnya ada tiga C, yaitu commitment, competencies, dan crisis urgency.

Yang pertama, kita simak apa dan bagaimana bentuk commitment tersebut? Commitment memiliki level yang sangat tak terbatas; commitment paling rendah adalah sering mengeluarkan seribu satu macam alasan dan menyalahkan pihak lain sebagai sumber kegagalan. Tidak mencapai target karena hujan, ban kempis, produk kosong, harga mahal, pesaing aktif, kurang promosi, insentif memble, salah target, kredit kurang panjang, dan lain sebagainya. Sementara itu, komitmen dengan level tertinggi adalah memiliki semboyan maju tak gentar membela yang bayar, berani sumpah pocong, siap disamber geledek, hingga siap terjun dari Monas, serta potong kuping. Seperti apakah tingkat commitment Anda dan tim Anda? Silakan ambil sebagai bahan renungan.

Kedua, competencies. Bukan semata-mata ahli di bidangnya dengan segudang pendidikan dan pengalaman kerja, tetapi merupakan kombinasi yang terintegrasi antara apa yang dipikir, diucap, diyakini, dan tindakan nyata. Kesemuanya itu perlu disinergikan dengan kemampuan memimpin diri sendiri, memimpin lingkungan, dan memimpin kelompok kerja dengan kesadaran penuh dalam kontrol dirinya, dibungkus oleh kepakaran atas tugas yang diberikan, dalam bentuk tercapainya KPI yang ditentukan sesuai tanggung jawab yang diberikan.

Ketiga adalah crisis urgency. Banyak sekali pemimpin perusahaan dalam mengukur keberhasilan hanya berorientasi pada end result—yang berakibat dalam forum diskusi dan meeting reguler, hanya penjualan dan profit (end result) yang menjadi tolok ukurnya. Sementara itu, pentingnya sebuah proses jadi terlupakan dengan begitu

menjual dan obral gratis

kompleksnya dunia usaha saat ini dan banyaknya divisi dalam sebuah organisasi. Proses inilah yang hampir tak tersentuh dalam bahan diskusi atau rapat BOD. Crisis urgency adalah perlu mengetahui vital sign apa saja yang menjadi pemicu agar end result dapat tercapai. Pemicu-pemicu tersebut perlu mendapatkan porsi yang sama untuk dibahas, disoroti, dan menjadi hot issues dalam setiap rapat koordinasi maupun rapat kinerja.

Kenapa banyak sekali dalam kegiatan menjual—baik itu produk tangible maupun intangible (jasa) seperti seminar—kita sering diiming-imingi kata-kata gratis? Jawabnya sudah pasti mereka keluar dari prinsip 3 C, yaitu no commitment – no competence – no crisis urgency.

Selamat merenung.

 

Mindiarto Djugorahardjo

Selling Therapist

MM.07.2017/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.