Menjual Konsep dan Pengalaman

Keterbukaan antara franchisor dengan franchisee adalah cara efektif yang dilakukan PT Panen Raya Bersama dalam melanggengkan bisnis waralabanya.

Banyak waralaba yang gagal lantaran hanya menjual konsep dan nama. Padahal, sejatinya jualan utama waralaba adalah pengalaman. Sebuah bisnis layak diwaralabakan jika memang sudah terbukti sukses selama sekian tahun. Itu yang seharusnya terjadi.

Sejatinya, tugas dari franchisor selaku pemberi waralaba selain mengajari konsep bisnis sukses juga mau menjadi tempat mengeluh para franchisee-nya, lalu memberikan solusi. Terkait hal itu, Restoran Ayam Tulang Lunak Hayam Wuruk (ATLHW) memiliki cara tersendiri yang jarang dilakukan waralaba lainnya, yaitu menggelar gathering khusus buat franchisee setahun sekali.

Kegiatan tersebut menjadi ajang bagi para franchisee untuk menyampaikan segala permasalahan,  sekaligus membina hubungan yang lebih erat antara ATLHW dengan franchisee dan sesama franchisee sendiri. Dalam gathering tersebut, biasanya pihak ATLHW turut menyertakan pembicara dari kalangan motivator bisnis.

“Tujuan kami mengadakan gathering lebih sebagai bukti keterbukaan ATLHW terhadap setiap masukan maupun kritikan dari para franchisee. Dan berupaya menghindari adanya ‘omongan’ negatif yang berakibat buruk terhadap merek ATLHW nanti,” papar Evi Diah Puspitawati, Franchise Department Head, PT Panen Raya Bersama, pemilik merek restoran Ayam Tulang Lunak Hayam Wuruk.

Memang sering terjadi pada saat gathering bersama, mereka (para franchisee) menyampaikan unek-uneknya bukan hanya kepada pihak ATLHW, namun juga kepada sesama franchisee. Tetapi menurut ATLHW, itu malah bagus, karena mereka bisa sharing dan menumpahkan semua ganjalan yang ada. “Toh, setelah mereka lega, jalan satu-satunya yang ditempuh tetap menyampaikan permasalahan kepada kami juga,” tambah dia.

Prinsip ATLHW dalam menawarkan waralaba bukan sekadar jual konsep, melainkan juga pengalaman. “Kami ingin menunjukkan bahwa mereka (franchisee) tidak salah memilih ATLHW sebagai mitra. Sebab, di samping sudah punya nama dan konsep yang bagus, kami juga sudah cukup makan asam garam di bisnis ayam tulang lunak ini,” tandas Evi.

Selain gathering, ATLHW juga menyediakan beberapa media lain untuk franchisee yang ingin menumpahkan keluh kesah dan bertanya seputar bisnis. Media itu seperti e-mail, telepon, dan SMS complain yang langsung sampai dan dibaca oleh pemilik ATLHW. Jadi, bukan ke manajemen lagi.

Restoran Ayam Tulang Lunak Hayam Wuruk sudah berdiri sejak 10 tahun silam dan baru diwaralabakan pada tahun 2007. Kini, restoran yang lahir di Bali ini sudah memiliki 20 gerai, dan bakal menambah tiga gerai lagi di akhir tahun 2010. Bahkan, rencananya tahun depan ATLHW bakal merambah ke Negeri Jiran, Malaysia. Dari 20 gerai yang ada, restoran milik ATLHW sendiri hanya ada dua, yaitu di Bali dan di Yogyakarta—yang bernama restoran Malioboro.

Dalam perjalanan waktu, Evi mengaku, ada juga gerai ATLHW yang tutup. Namun, faktor penyebabnya bukan karena ketidakcocokan antarmitra. Pencetusnya lebih pada masa kontrak yang tidak lagi diperpanjang atau lokasi yang berubah sepi, sedangkan franchisee-nya enggan untuk merelokasi gerai.

ATLHW boleh dibilang market driven di bidang kuliner karena melahirkan menu unik ayam tulang lunak. Akan tetapi, seolah sudah menjadi budaya di negeri ini, soal tiru-meniru akan selalu terjadi pada kegiatan usaha yang dipandang sukses. Hal itu turut dialami oleh ATLHW sekarang. Lantaran dianggap sukses menjual menu ayam presto, kini banyak pelaku yang mengikuti jejaknya.

Tak heran, di sepanjang jalan sering ditemukan warung tenda maupun restoran yang menjual menu berkonsep sama, yakni ayam tulang lunak. Menanggapi hal demikian, ATLHW tidak merisaukannya. Sebab, menurut Evi, itu biasa terjadi pada usaha apa pun. Bagi Evi, yang penting kalau mau menang bersaing kudu mampu menjaga nilai dan berinovasi terus-menerus. Terutama untuk soal menu. Soal yang satu ini ATLHW tidak pernah kehabisan akal berkreasi, karena memang sudah ada tim R&D (research and development) sendiri yang siap memanjakan lidah pelanggan dengan kreasi menu-menu baru yang enak setiap saat.

Di samping itu, kenyamanan tempat juga harus dicermati. Dalam memilih lokasi, ATLHW selalu mematok syarat luas areal minimal 400 meter persegi. Sebab, areal bakal dipergunakan selain untuk ruang makan (ada jenis ruang bebas asap rokok dan smoking area), juga untuk ruang VIP, tempat parkir, dan play ground anak-anak.

Ada satu hal yang unik dari ATLHW ketika menentukan lokasi, yaitu restoran ini tidak pernah mau buka gerai di dalam mal. Alasannya sederhana, biaya sewa yang mahal. “Lagipula, kalau kami mau membuat strategi promo juga tidak bisa bebas. Sebab harus lewat jalur birokrasi yang agak ribet dengan pengelolanya,” imbuh Evi.

Dalam memilih lokasi, Evi memberikan tips buat yang tengah mencari lokasi strategis untuk usaha restoran. Pertama, kenali jenis usaha dan target market kita. Kedua, lihat di sekitar lokasi, apakah ada lembaga pendidikan, rumah sakit, atau perkantoran. Ketiga, areal parkir di lokasi harus luas dan letaknya kalau bisa di hook agar bisa dilihat dari segala sisi.

Omzet yang didapat ATLHW di tiap lokasi berbeda. Namun jika dihitung secara rata-rata, jumlah pengunjung yang datang per hari bisa mencapai 80–200 orang. Mayoritas pengunjung yang datang makan di restoran ini adalah karyawan perkantoran dan keluarga. Menurut Evi, kontribusi omzet terbesar juga didapat dari layanan delivery—sumbangannya bisa mencapai 30% dari total omzet. Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika tingkat ROI (return on investment) waralaba ATLHW hanya 1,5–2 tahun dengan nilai investasi sebesar Rp 1,3–Rp 1,5 miliar.

Lantaran dianggap cukup prospek, animo orang untuk melamar ke ATLHW sebagai franchisee lumayan tinggi. Namun, Evi mengatakan, pihaknya tidak sembarangan menerima orang. “Buat kami tidak cukup mereka hanya berani investasi Rp 1,3–Rp 1,5 miliar lalu lolos seleksi,” tandas dia.

Syarat yang paling penting adalah karakter. Sebab, membina kemitraan di bisnis waralaba itu ibarat kawin kontrak. Masing-masing pihak harus cocok dahulu, kemudian mau dan sadar akan komitmennya.  ATLHW juga terbuka atas masukan dari franchisee-nya, sepanjang itu dilakukan untuk kemajuan bersama dan dikomunikasikan dahulu sebelumnya.

Maka dari itu, di beberapa gerai ayam tulang lunak di daerah-daerah tertentu ada banyak variasi menu tambahan serta promo yang berbeda-beda. Biasanya itu merupakan bentuk strategi lokal dari franchisee tersebut. Terus terang, selama ini strategi lokal memang cukup diandalkan, karena efeknya lebih mengena ketimbang promosi berskala nasional. Jika promo dilakukan dengan memasang iklan di koran nasional, sering kali efeknya hanya terasa di Jakarta, sementara efek untuk lokal justru tidak ada.

“Lagipula harus disadari perilaku konsumen di tiap lokasi meski satu wilayah dapat berbeda-beda. Orang yang tinggal di Tebet pasti bakal lain perilakunya dengan yang ada di Kelapa Gading, sehingga bentuk penanganannya juga wajib dibedakan,” jelas Evi.

Evi optimistis bisnis restoran seperti ATLHW tidak akan pernah ada matinya. Sebab, selain makan adalah kebutuhan sehari-hari, ke depannya perilaku orang makan akan bergeser dengan seringnya mereka bersantap di luar rumah. Seiring dengan perubahan gaya hidup, makan di luar akan sering dilakukan oleh seseorang atau keluarga. Tinggal bagaimana para penjaja makanan itu dapat meningkatkan daya saing lewat menu dan kualitas layanan agar pelanggan tetap loyal untuk mengunjungi restorannya. (www.marketing.co.id/Andri Darmawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.