Merangkul Para Pekicau di Twitter

Para pemasar mulai menggandeng para pekicau di Twitter untuk mendukung kegiatan pemasarannya. Selain simpel dan murah, aktivitas ini juga komunikatif.

twitter mktwebPara pemasar di Indonesia sekarang sudah mulai sadar akan media digital. Mereka mulai melirik jejaring sosial. Wajar saja itu mereka lakukan, mengingat pertumbuhan pengguna jejaring sosial di Indonesia belakangan ini melonjak fantastis. Bayangkan, saat ini, ada sekitar 24 juta pemilik akun Facebook di Indonesia. Sementara, pengguna akun Twitter sudah mencapai angka lima jutaan.

Jejaring sosial tidak sekadar untuk membangun jalinan pertemanan. Tapi, juga untuk membangun solidaritas bersama. Masih belum tanggal dari ingatan kita bagaimana kasus Prita yang ramai dibicarakan di Facebook dan Twitter berujung pada aksi besar-besaran dari kalangan luas yang dikenal dengan aksi koin peduli. Betapa dahsyatnya pengaruh jejaring sosial di Indonesia membuat para pemilik merek tertantang untuk melakukan aktivitas pemasaran di media anyar ini.

Lebih spesifik, menurut riset Sycomos tahun 2009, pengguna akun jejaring sosial berlambang burung kenari ini di Asia mencapai 7,74 persen dari total pengguna Twitter. Indonesia merupakan negara pengguna Twitter terbesar di Asia dengan jumlah pengguna sekitar 2,34 persen. Disusul Jepang dan India. “Indonesia adalah capital of Twitter dari Asia. Indonesia paling aktif dalam media sosial ini,” kata Enda Nasution yang lebih akrab dikenal sebagai Bapak Blogger Indonesia.

Asal tahu saja, Twitter berbeda dengan Facebook. Facebook mempunyai banyak aplikasi. Sedangkan Twitter terbatas. Para pemilik akun pun dibatasi dalam setiap kali merilis status di halaman Twitter-nya—hanya 140 karakter. Namun, aplikasi yang berkonsep blog mikro ini—diluncurkan pada Maret 2006 oleh perusahaan Obvious Corporation di Amerika Serikat—memiliki beberapa kelebihan. Enda Nasution menganggapnya sebagai ruang percakapan. Selain itu, ada fasilitas untuk mengunggah foto dan menampilkan tautan situs web tertentu. “Twitter lebih menekankan percakapan, dari antarkawan sendiri, sampai artis dan politisi. Tren ber-Twitter ini semakin besar karena kehadiran ponsel pintar yang semakin merebak di pasar Indonesia. Di mana pun, mereka bisa bercakap di Twitter,” kata Enda.

Di dunia Twitter atau yang populer disebut Twitland, seseorang pengguna Twitter atau sering disebut “pekicau” bisa diikuti oleh ribuan orang tanpa si pengikut itu kudu mendapat konfirmasi dari si pemilik akun—berbeda dengan Facebook. Artinya, bila si pemilik akun menulis sebuah pesan, pesan itu bisa dibaca oleh ribuan pengikutnya. “Meski pola komunikasinya sedikit asimetris, Twitter menjadi semacam media untuk menyiarkan pesan. Nah, para pemilik merek juga bisa mendekati para pemilik akun ini untuk dijadikan pemberi pengaruh atau influencer ke pengikutnya,” cetus Enda.

Merek yang mencemplungkan diri di media sosial ini termasuk merek yang mencoba peduli dengan pelanggannya. Entah dalam bentuk sapaan, dialog interaktif, maupun promosi produk barunya. “Para pemilik merek itu sekarang lebih peduli dengan pelanggannya di sini,” kata Enda.

Asal tahu saja, Enda yang sudah lama berada di kalangan pengguna internet dan blogger, juga menjadi salah satu orang yang dipinang oleh merek dari PT Unilever Indonesia untuk menjadi seorang pemberi pengaruh. Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dipinang untuk “berkicau” seputar produk Vaseline Men.

Pada tahun 2010, jumlah pemilik merek yang menggunakan jejaring sosial meningkat. Enda melihat ini tidak lepas dari peranan media konvensional yang selama ini gencar memberitakan media sosial tersebut. Bahkan, beberapa media pun membuka akun tersendiri untuk menjaring pengikut yang bisa mereka jadikan subjek pemberitaannya. “Media menjadikan media sosial ini sebagai ruang interaktif antara media dengan pendengar maupun pemirsanya. Meski tak disangkal juga akan menambah nilai merek sebagai merek modern dan tidak kuper karena terlibat di media yang sedang ngetren,” imbuh Enda.

Unilever tentu saja tidak sembarangan memilih orang. Kredibilitas Enda di dunia maya selama ini cukup besar. Tidak hanya di mata pengguna internet dalam negeri, tapi juga luar negeri. Langkah Unilever boleh dibilang tepat mengingat Vaseline Men yang juga menyasar kelompok lelaki muda ini sesuai dengan karakter dari pengguna Twitter, yakni orang muda. “Pengguna internet di Indonesia 75 persennya adalah  orang muda berusia di bawah 35 tahun. Mereka juga kalangan muda yang terdidik dan tingkat ekonomi yang cukupan. Pilihan influencer harus tepat dengan karakter produk sekaligus calon penggunanya,” kata Enda.

Enda melihat strategi pemasaran di Twitter ini tidak berbeda dengan di tempat lain. Strategi bercerita, misalnya, pada intinya juga dilakukan sebagai bagian strategi menyentuh pelanggan. Enda tinggal menulis dengan gaya bercerita apa saja seputar produk perawatan khusus pria ini.  “Ada dua hal penting dalam Twitter untuk pemasaran ini, yakni konten sekaligus alatnya. Dua-duanya sebaiknya seimbang. Sepertinya tanggapannya cukup baik,” imbuh dia.

Untuk memberi perhatian lebih para pengikut, pesan melalui Twitter ini juga bisa disertai dengan program promosi hadiah. Vaseline Men menyediakan hadiah menarik berupa tiket nonton Piala Dunia di Afrika Selatan. “Di sosial media, kita lebih membangun relasi dengan banyak orang, bukan sekadar kampanye. Durasinya juga tak terbatas karena membangun relasi merupakan investasi di masa depan. Komunikasinya pun informal dengan pesan-pesan simpel,” kata Enda.

Selain Vaseline Men, merek-merek yang melakukan kegiatan pemasaran di Twitter antara lain, Coca-Cola, Anlene, Close Up, Vios, Soy Joy, dan sebagainya. Biasanya topik perbincangan yang dikaitkan dengan merek-merek tersebut ditandai dengan penyematan tanda pagar (#) di status pemilik akun. Tanda ini untuk memudahkan pelacakan akan suatu hal di Twitter.

Di belantara dunia maya ini, banyak “aktivis” internet yang bisa dijadikan sebagai pemberi pengaruh. “Semua pekicau di Twitter berpotensi untuk dilirik para pemilik merek. Nah, tinggal tergantung dari si pemilik merek sendiri, apakah mau mengoptimalkan peran mereka atau tidak. Tentu saja, Twitter hanyalah sebagai satu pendukung alat pemasaran yang lain,” pungkas Enda. (Majalah MARKETING/Sigit Kurniawan)

This article powered by eXo Digital Agency. eXo is a digital media agency serving local and international brands ranging from SME (small and medium enterprises) to multinational companies from various industries. We are an all-round agency with tremendous experience in digital activation, social media, search engine marketing, interactive game, web and software development.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.