Merek Harus Tampil Lebih “Manusiawi” di Media Sosial

www.marketing.co.id – Ketika pemilik merek memutuskan masuk media sosial, mereka mesti menyadari kedudukannya sederajat dengan konsumen, sebagai konsekuensi dari sifat media sosial yang horizontal. Merek pun harus bertransformasi dari product ke human being, karena yang dihadapi adalah konsumen yang punya perasaan dan pikiran.

Jelas, masuk media sosial bukan perkara gampang. Dalam beberapa kasus, konsumen di media sosial justru lebih garang dan kritis. Positifnya, banyak brand yang tumbuh besar justru karena media ini. Bagaimana seharusnya merek memanfaatkan media sosial? Berikut perbincangan dengan Daniel Haryanto, pengamat media digital dari Prasetiya Mulya Business School.

Bagaimana Anda melihat kegairahan brand-brand tampil di media sosial?

Di Indonesia, dalam dua tahun terakhir ini, brand memang tumbuh di media sosial. Faktornya, karena tarif internet kita sudah mulai terjangkau. Sub-urban juga sudah mulai mengaksesnya. Penggunaan mobile phone makin tinggi, yang memungkinkan orang memakai layanan data, karena tarif mobile internet juga makin murah. Tapi yang paling penting, kalau Anda perhatikan, hampir semua ponsel punya tombol Facebook. Konsumen yang datang ke toko handphone biasanya akan tanya, ponselnya bisa Facebook atau tidak. Ini yang membuat gairah brand masuk media sosial tinggi. Produk-produk fast moving consumer goods (FMCG) sudah mulai masuk. Yang paling banyak brand elektronik, gadget, makanan, dan restoran.

Apa yang harus diperhatikan ketika brand memutuskan masuk media sosial?

Pertama, yang mesti diperhatikan bukan media sosialnya, namun konsumennya ada di mana. Media sosial cuma tool, layaknya media konvensional. Masuklah ke media sosial di mana sebagian besar konsumen atau potensi target segmen ada. Yang paling banyak digunakan Facebook, Twitter, Tumblr, Google+. Kedua, pilihlah media sosial yang memungkinkan kita melakukan personalization advertising.

Ketika brand masuk media sosial, apakah sebaiknya menggarap segmen yang sudah ada, atau melakukan akuisisi?

Ada dua versi. Bisa segmen yang sudah ada, artinya melakukan driving dari offline ke online. Banyak sekarang kita lihat iklan yang mencantumkan akun media sosial dan mengajak masyarakat untuk bergabung. Namun, tulisannya kecil sekali, hampir tidak kelihatan. Kalau memang tujuannya beriklan untuk men-drive orang masuk ke media sosial, buatlah tulisan yang besar supaya orang tertarik untuk masuk. Kedua, lewat cara-cara swift tag atau cyber bag, umpan agar orang masuk ke online. Cara gampang untuk konsumen Indonesia, buat diskon atau promosi, misalnya beri hadiah gratis jalan-jalan ke Bali atau hadiah mobil. Caranya dengan membeli produk, lalu ikut kuis atau sayembara dengan cara join ke Facebook atau Twitter.

Jadi, bisa dibilang program-program marketing seperti itu yang cocok di media sosial?

Bisa untuk tahap awal, tapi ini strategi jangka pendek. Kalau untuk akuisisi konsumen baru, Facebook dan Twitter merupakan potensi pasar yang besar. Kalau kita lihat, merek-merek yang tidak populer—merek nomor dua, justru paling populer di media sosial. Sekarang anak-anak muda kalau beli kaus tidak mau merek yang besar. Belinya pun tidak di mal, tapi di gantibaju.com. Kalau mau beli tiket pesawat, beli tiket AirAsia secara online. Rajakamar.com, Agoda.com semuanya besar di dunia online, bukan offline. Jadi, peluang untuk akuisisi konsumen ada di media sosial, karena anak-anak sekarang tumbuh dan berkembang bersama teknologi.

Apakah brand-brand konvensional bisa sukses juga di media sosial?

Kecenderungan masyarakat Indonesia sama, mereka masih melihat nama besar brand. Karena itu, kemungkinan untuk sukses juga besar, tapi badai yang bakal dihadapi juga besar. Dalam artian, kalau tidak siap masuk ke online, mereka akan jadi sasaran tembak, dibandingkan dengan brand-brand yang belum populer. Tapi, brand populer pasti sukses kalau pemiliknya tahu cara-cara mengelola brand.

Tapi, tidak tertutup kemungkinan brand kecil juga bisa sukses. Surfer Girl yang punya 2 juta fans di Facebook, contohnya. Di Twitter tidak terlalu aktif, tapi kicauannya mencapai lebih dari 45.000. Artinya Surfer Girl punya fans base yang besar di online. Kita tidak pernah melihat iklannya di media-media konvensional. Dan sekarang, tidak hanya buka di Indonesia, mereka pun ada di Korea dan Taiwan.

Bagaimana dengan campaign integrasi antara media sosial dan media konvensional?

Integrasi brand itu penting. Tapi, brand sendiri kelemahannya banyak memakai agency, ada agency offline, ada agency online.  Harusnya brand punya satu agency yang mengelola saluran offline dan online, barulah integrasi tercipta. Yang berhasil berintegrasi contohnya Pocari Sweat. Kata kunci berhasil jika brand menciptakan brand identity yang sama antara online dan offline. Contoh lain yang berhasil Yamaha dengan slogannya “Semakin di Depan”. Identitas yang diciptakan berhasil, baik online maupun offline, dan mengarah pada slogan Yamaha Semakin di depan.

Komplain di media sosial terkenal ganas, bagaimana menghadapinya?

Pertama, we have to listen, dengarkan semua sentimen, negatif maupun positif. Setelah fase talking, bicara secukupnya saja. Kalau salah, akui salah. Kalau benar, tetap cari tahu, siapa yang melontarkan sentimen negatif. Apakah itu memang fan base kita atau kompetitor. Setelah talking, kita ciptakan energizing, beri spirit ke fans base kita. Ciptakan wadah seperti forum. Setelah itu, baru kita support dalam bentuk nyata, misalnya dengan memberi kaus atau stiker. Terakhir, embrace. Kalau komunitas sudah tercipta, kita bisa merangkul mereka untuk melakukan creation of product, atau co creation.

Apakah brand yang sukses di media sosial penjualannya juga tinggi?

Kalau yang modelnya pakai swift tag, umpan, tentu ber-impact penjualan meningkat. Apakah signifikan untuk jangka panjang, belum tentu. Itu sekadar brand promotion, tapi tahapannya mereka harus ke tahap brand loyalty, penciptaan loyalitas. Di sini PR harus aktif di media sosial dan brand harus aktif menggerakkan komunitas. Beri kebebasan kepada komunitas untuk berbicara, jangan terlalu dikontrol. Contoh yang berhasil adalah mystarbucksidea.com. Konsumen Starbucks bisa dengan bebas menyampaikan ide-ide inovasi melalui situs ini. Kalau yang penjualannya meningkat, semisal Dell Computer. Dell Computer pernah meraih penjualan US$ 2 juta dalam sebulan dari penjualan voucer kupon di Twitter.

Bagaimana prediksi Anda mengenai tren pemanfaatan media sosial sebagai channel promosi?

Pola buy based references (membeli berdasarkan referensi) sudah mulai meningkat di Indonesia, sekitar 17%. Ini peluang brand untuk bisa tumbuh di media sosial. Namun, ini butuh komitmen dari perusahaan dalam mengelola brand. Jangan perlakukan merek cuma sebagai produk, as product, tapi as human being. Ibaratnya anak yang harus dibesarkan. Lihatlah Vespa, orang boleh melupakan tipe produknya, tapi sebagai brand tidak pernah mati. Setelah diambil Piaggio dan mengeluarkan produk baru, pasarnya muncul lagi. Contoh lain Honda Karisma, yang menjadi sub-brand Honda. Varian produk ini sudah tidak diproduksi lagi, tapi penggunanya masih banyak, komunitasnya masih hidup, dan fans base-nya pun masih besar. Ini sebenarnya peluang bagi Honda selaku produsen.

This article powered by eXo Digital Agency. eXo is a digital media agency serving local and international brands ranging from SME (small and medium enterprises) to multinational companies from various industries. We are an all-round agency with tremendous experience in digital activation, social media, search engine marketing, interactive game, web and software development.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.