Middle Class

www.marketing.co.id – Kelas menengah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media. Indonesia seperti memasuki babak baru yang pernah terjadi di Cina pada dekade sebelumnya. Saat itu, kelas menengah di Cina seperti bertumbuh cepat akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Apalagi Bank Dunia melansir bahwa 56,5% dari populasi di Indonesia yang sekitar 230 juta masuk ke dalam kategori kelas menengah. Menurut Bank Dunia, kategori kelas menengah ini adalah konsumen yang membelanjakan uang antara US$ 2 sampai US$ 20 per hari (sekitar Rp 18.000 sampai Rp 180.000).

Pertumbuhan kelas menengah yang demikian pesat ini adalah akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5%–6% setahun. Setelah lewat masa krisis di tahun 1998, perekonomian Indonesia sempat naik-turun, namun menunjukkan tren yang menaik.

Kelas menengah sejak zaman dahulu kala memang memegang peranan penting. Revolusi di sebuah negara seperti halnya revolusi Perancis, banyak digerakkan oleh kelompok menengah.

Kini, kehadiran kelas menengah berperan besar dalam perekonomian. Semakin besar kelas menengah mencerminkan pemerataan income distribution. Banyaknya kelas menengah juga menciptakan potensi konsumsi yang semakin besar. Hal ini tentunya bisa menjadi multiplier pertumbuhan ekonomi.

Orang marketing banyak beranggapan bahwa kelas menengah adalah target pasar yang paling aman untuk disasar. Menyasar pasar kelas atas, Anda harus memiliki produk yang benar-benar berkualitas tinggi. Sedangkan menyasar kelas bawah berarti Anda harus siap melakukan perang harga dan mendapatkan margin yang teramat tipis. Belum lagi produk Anda harus berjuang untuk dipilih ketimbang kebutuhan pokok sehari-hari.

Pasar kelas menengah relatif stabil sekalipun ada kemungkinan pasar ini menyusut karena kondisi ekonomi. Namun demikian, konsumsi mereka bisa jadi hanya lari ke produk-produk yang ekonomis dan bukan menghilangkan pasarnya sama sekali.

Jika zaman raja-raja kelas menengah merevolusi kekuasaan, pada masa sekarang kelas menengah merevolusi gaya hidup konsumen. Merekalah yang menciptakan demam BlackBerry. Mereka yang membuat masyarakat Indonesia keranjingan Facebook. Mereka pula yang membuat masyarakat kelas bawah mengurangi konsumsi rokok dan menggantinya dengan membeli pulsa.

Ya, kelas menengah cenderung menjadi kelompok shopaholic. Sebagian dari mereka baru melewati garis batas pemenuhan kebutuhan pokok. Akibatnya mereka haus untuk membeli barang-barang. Mereka seperti gerombolan kelompok yang secara ganas menyerbu produk yang lagi tren di masyarakat.

Cara mudah untuk melihat apakah telah terjadi ledakan kelas menengah adalah dengan melihat bagaimana puluhan ribu orang mengantre untuk mendapatkan BlackBerry dengan diskon 50% atau ludesnya penjualan tiket konser Justin Bieber dan Katy Perry. Bandar udara Soekarno Hatta yang semakin sesak juga menunjukkan bagaimana kelas menengah semakin banyak bepergian naik pesawat.

Coba saja Anda melirik angka-angka fantastis dari Bank Dunia yang menunjukkan bahwa belanja pakaian dan alas kaki warga kelas menengah Indonesia mencapai Rp 113,4 triliun. Sementara belanja barang rumah tangga dan jasa mencapai Rp 194 triliun. Biaya transportasi sendiri sudah mencapai Rp 238 triliun.

Buat marketer sendiri hal ini sebenarnya merupakan peluang untuk bisa memasarkan merek-merek Indonesia di negeri sendiri. Permintaan yang demikian besar jangan sampai sekadar dipenuhi lewat impor barang. Memang benar anjuran pemerintah untuk memakai produk dalam negeri. Ini bukan sekadar slogan, tetapi juga memiliki nilai strategis. Kehadiran merek dalam negeri menciptakan lebih banyak investasi, menyerap tenaga kerja baru, dan mencegah devisa lari ke luar negeri. Beranikah Anda memanfaatkan kondisi ini? (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.