Modal Dengkul Berbuah Omzet 100 Juta Per Bulan

Jong JuwonoBagi David, berbisnis bukan sebatas teori. Keberanian mengaplikasikan niat dan mental berwirausaha jauh lebih penting. Selebihnya bisa menyusul seiring datangnya kesuksesan. Seperti apa kisah perjuangannya?

Bila mengamati sosok David Jong Yuwono, sekilas mungkin kita tidak akan menduga potensi dan kemampuan berwirausaha yang dimilikinya. Ya, sosok pemuda berperawakan kecil yang murah senyum ini memang tampak seperti anak muda kebanyakan. Tapi siapa sangka, semangat David menekuni dunia bisnis sudah dimulai sejak di bangku kuliah.

Berbekal kegigihan tersebutlah pemuda berusia 24 tahun ini mampu mengukir prestasi sekaligus pundi-pundi rupiah lewat brand fashion ciptaannya, “Drydenim” dan “Suede Shoes”.

Kedua brand ini sebenarnya bukan usaha pertama yang dirintis David. Sembari berstatus sebagai mahasiswa, ia kerap menjajal berbagai peluang usaha mulai dari jasa asuransi, agen properti, dan usaha kuliner. Namun, semuanya dirasa stagnan, terlalu berisiko, dan kurang bertumbuh. Sampai akhirnya sebuah ide menjual tas datang di tahun 2011.

“Waktu kuliah saya sering lihat teman-teman pakai celana berbahan denim (jeans) yang sudah lusuh. Tapi, makin lusuh justru makin keren. Padahal harga celananya sangat mahal (Rp2 juta–Rp3 juta). Saya amati, yang dibeli oleh mereka sebenarnya adalah keunikan dari bahan denimnya. Nah, kenapa tidak coba dibuat tas,” ujarnya.

Ide tersebut pun mulai diaplikasikan. Konsep dasarnya adalah tas yang tahan lama dipakai sekaligus semakin keren karena ada tampilan luntur secara alami. Bermodal uang jajan Rp800.000 yang didapat dari sang ayah, ia membuat delapan sampel tas. Sesuai dengan brand positioning-nya, yakni “tas kuat yang makin brutal dipakai makin keren”, David membidik segmen pelajar SMP, SMA, mahasiswa hingga dewasa muda sebagai target marketnya. Ia juga menetapkan harga terjangkau, yakni Rp194.000–Rp206.000.

Cara pemasaran yang dilakukan terbilang unik, ia meminjamkan sampel tas tersebut kepada teman-teman dan adik kelasnya. Komunikasi sederhana word of mouth ini ternyata cukup efektif. Dalam tiga hari ia mengaku mendapat pesanan hingga 113 tas.

Respons positif dari pasar tidak lepas dari kejelian mahasiswa Prasetiya Mulya Business School Jurusan Managerial Economics ini dalam membaca kebutuhan konsumen. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ia bahkan melakukan riset langsung ke daerah-daerah perihal komoditi dan model tas yang akan dibuatnya. Sedangkan proses produksi Drydenim dilakukan di workshop sekaligus kediamannya di bilangan Cinere, Jakarta Selatan, dibantu lima orang karyawan.

“Di awal produksi saya masih pakai supplier. Tapi, makin lama tidak memungkinkan dari segi kualitas, sampai akhirnya saya produksi sendiri di tahun 2012. Sebetulnya saya benar-benar buta soal cara bikin tas, konveksi, marketing, website, dan sebagainya. Tapi, karena saya percaya peluangnya besar, sambil jalan sambil belajar otodidak,” papar David.

Melihat progres yang menggembirakan dari pasar, ia mulai melebarkan kanal-kanal bisnisnya. Ia membangun komunikasi dan jalur online shop lewat web dan media sosial. Konsumen pun meluas bahkan sampai se-Indonesia. Pria kelahiran 12 November 1990 ini juga menggandeng online merchant, semisal Toko Bagus, Living Social, Tokopedia, Disdus, Lazada, Kliktoday, dan sederet online shop lainnya.

Untuk mempermudah pemasaran Drydenim, sistem reseller juga dia terapkan. Hingga saat ini, David memiliki 320 reseller. Uniknya, ia bahkan memberikan garansi tiga bulan kepada konsumen untuk membuktikan kekuatan tas Drydenim. Strategi lainnya adalah memberikan kemudahan gratis ongkos kirim barang bagi konsumennya.

Sisi experiential marketing dari konsumen Drybag memang menjadi penekanan penting bagi David. Berbeda dengan produk industri kreatif lain yang rajin mengikuti pameran, Drybag lebih mengutamakan kenyamanan dan durabilitas yang langsung dirasakan pemakainya. Ia meyakini brand awareness bisa berjalan seiring besarnya sales yang diperoleh.

“Promosi lewat website lebih efektif ketimbang pameran karena nonrisiko, lebih fokus, cost juga lebih minim. Selain itu, ada yang berbeda antara branding dan laku. Banyak brand yang lebih terkenal dari Drydenim tapi belum tentu laku. Saya lebih fokus ke omzet karena dengan membeli, otomatis konsumen sudah mem-branding produk Drydenim untuk dirinya dan sekitar dia,” tegas David.

Jerih payah yang dijalaninya selama empat tahun kini mulai terbayar. Kini, dalam sehari David menerima 300–400 order tas. Ia mengaku dapat omzet tertinggi saat menjelang Lebaran, yakni menembus nilai Rp80 juta–Rp100 juta per bulan. Ia juga berhasil menyabet penghargaan Wirausaha Muda Mandiri untuk kategori industri kreatif.

Seiring berjalannya waktu, kreativitas dan keberanian David dalam mengembangkan usaha kian terasah. Ia mulai melakukan ekstensifikasi bisnis, melahirkan brand sepatu kulit asli untuk pria dengan harga terjangkau yang diberi nama Suede Shoes. Mengekor jejak Drydenim, Suede Shoes pun menempuh jejak pemasaran online, word of mouth, dan reseller.

Ke depannya David berharap bisa segera membuat outlet Drydenim dan Suede Shoes. Namun, keterbatasan SDM dan waktu yang dia miliki masih menjadi kendala. Pasalnya selain sibuk kuliah, ada kesibukan baru sebagai pembicara dan motivator di kampus dan SMA dalam jadwalnya.

Ketika disinggung mengenai mimpi terbesar dalam hidup, seraya tersenyum ia berujar hanya ingin menjadi “seseorang” yang sukses. Ia berkomitmen terus belajar dan berusaha menjalankan apa yang telah dirintis dan dipercayakan Tuhan dengan sebaik mungkin.

“Saya suka melihat orang-orang yang buta berjualan kerupuk, pengemis yang bertahan hidup di gerobak bersama keluarganya. Mereka bekerja keras untuk hidupnya dan tidak mengeluh. Saya yang kondisinya lebih baik dengan banyak fasilitas harusnya bisa lebih baik dari mereka. Itu yang jadi motivasi saya,” tutur David.

Foto: Lia

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.