Neuromarketing: Sains dalam Marketing

Neuromarketing: Sains dalam MarketingKolaborasi antara sains dan marketing bukan lagi hal yang mustahil, saat ini bidang penelitian neuromarketing tengah dikembangkan. Neuromarketing merupakan bidang yang menggabungkan antara neuroscience (ilmu yang mempelajari anatomi dan fisiologi bagian otak) dan perilaku konsumen (consumer behavior) dalam marketing, untuk mengetahui bagian otak yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan konsumen.

Christopher Leblanc dalam artikelnya yang berjudul “How Neuromarketing Breaks the Barrier on Consumer Testing”, mengatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan manusia—termasuk emosi, komponen terbesarnya terjadi secara tak sadar yang diatur oleh sistem limbik di otak.

Pernyataan tersebut didukung oleh Peter Staidl—peneliti sekaligus penulis buku Neurobranding—pada tahun 2013 dalam Expert Marketer Magazine. Dia menyebutkan bahwa aktivitas otak tak sadar memiliki kekuatan yang besar, cepat, dapat mengatasi perintah/tugas yang banyak dalam waktu yang bersamaan, juga dilengkapi pola kemampuan pengenalan stimulus yang unik.

Sebaliknya aktivitas otak sadar bekerja lebih lambat, hanya bisa fokus pada satu perintah/tugas dalam satu waktu, dan tidak dapat mengatasi hal-hal yang kompleks. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas otak tak sadar memiliki andil lebih besar untuk pengambilan keputusan pembelian konsumen.

Para pelaku marketing sangat tertarik mempelajari teknik yang dapat memanipulasi aktivitas tak sadar bagian otak tersebut untuk membentuk persepsi reaksi ketertarikan konsumen terhadap stimulus yang diberikan. Sebabnya persepsi pada bagian otak tak sadar ini merupakan salah satu motivator terkuat pada manusia.

Permasalahan yang tengah dihadapi para pelaku marketing saat ini, mereka tidak tahu apa yang terjadi di bagian otak tak sadar manusia. Aktivitas otak sadar dan tak sadar manusia bekerja secara parallel, dan otak sadar manusia tidak tahu apa yang tengah terjadi di dalam otak tak sadar. Hal tersebut dapat terlihat, karena konsumen tidak tahu secara pasti mengenai perilaku, nilai-nilai, motivasi, kepercayaan, tujuan, dan faktor-faktor lainnya yang memengaruhi perilaku mereka.

Salah satu cara paling efektif untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas otak tak sadar para konsumen adalah dengan menggunakan bantuan peralatan diagnostik medis dibandingkan dengan meminta mereka menjelaskannya. Konsumen cenderung tidak memikirkan apa yang mereka rasakan, tidak menyebutkan apa yang betul-betul mereka pikirkan, dan tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga dapat menghasilkan bias yang begitu besar dalam riset pasar yang dilakukan secara konvensional.

Menggunakan bantuan peralatan diagnostik medis kita dapat memperoleh informasi hanya dengan mengobservasi apa yang terjadi dalam pikiran konsumen tanpa perlu menanyakan pertanyaan kepada mereka.

Alat-alat diagnostik medis yang biasa digunakan dalam neuromarketing di antaranya EEG (electroencephalography) yang dapat mengukur perubahan pada gelombang otak, fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) untuk melihat gambaran bagian otak berdasarkan aliran oksigen dalam darah di otak. Selain itu, eye tracking untuk mengukur respons fisik titik fokus pandangan, dan face reading untuk mengukur pergerakan mikro dari otot-otot wajah untuk mendeteksi emosi.

Penelitian pertama adalah “Pepsi Challenge” yang bertujuan mengetahui hubungan antara kualitas produk dengan kepuasan konsumen melalui aktivitas otaknya. Riset ini dilakukan oleh grup Read Montague pada tahun 2004 dan dipublikasikan di jurnal Neuron.

Dalam penelitian tersebut, pertama dilakukan blind test, sehingga para peserta tidak mengetahui merek minuman yang mereka minum. Hasilnya menunjukkan bahwa setengah dari peserta lebih memilih merek Pepsi. Hal tersebut dapat diketahui karena saat meminum merek Pepsi, konsumen menghasilkan respons yang lebih kuat dibandingkan merek Coca-Cola pada bagian ventromedial prefrontal cortex otak yang berfungsi ketika kita merasakan kenikmatan/kesenangan (reward).

Namun ketika peserta diberitahu nama merek minumannya, 75% peserta lebih memilih merek Coca-Cola dan aktivitas otaknya pun berubah; yang aktif menjadi bagian lateral prefrontal cortex—merupakan area utama untuk berpikir (kognitif)—dan area hippocampus—merupakan area yang berkaitan dengan memori. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peserta dalam memilih merek Coca-Cola melakukan proses berpikir dan menghubungkannya dengan memori serta impresi lainnya dari merek tersebut.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa merek Pepsi sebenarnya dapat memperoleh setengah dari market share, namun kebanyakan konsumen ternyata memilih merek Coca-Cola. Bukan karena preferensi rasanya, tetapi terkait pengalaman mereka dengan merek Coca-Cola yang sudah sangat terpatri dalam ingatan mereka. Ini mengindikasikan bahwa brand image Coca-Cola lebih kuat dan lebih baik dibandingkan Pepsi.

Penelitian neuromarketing lain yang sekarang tengah dilakukan oleh penulis adalah mengenai preferensi konsumen terhadap beberapa atribut pakaian dalam yang terdiri dari tipe, bahan, dan harga. Data preferensi konsumen diperoleh dari analisis rekaman gelombang otak (EEG) konsumen. Tingkat aktivitas yang lebih kuat di bagian hemisfer kiri otak mengindikasikan kebahagiaan, ketertarikan, dan kesukaan. Sebaliknya, tingkat aktivitas yang lebih kuat di bagian hemisfer kanan otak mengindikasikan ketidaksukaan, jijik, dan sebagainya (Davidson, 2004 dalam jurnal Biological Psychology).

Berdasarkan hal tersebut, terungkap bahwa sebagian besar konsumen wanita lebih mempertimbangkan tipe dan bahan ketika memilih pakaian dalam. Hal itu diperkuat dengan hasil observasi di beberapa toko pakaian dalam, bahwa konsumen wanita memiliki tendensi dan kebiasaan menyentuh produk baju dalam sebelum mereka membelinya. Sehingga untuk evaluasi kualitas produk pakaian dalam, mereka lebih banyak bergantung pada input sensori visual dan sentuhan.

Hasil penelitian penulis juga menunjukkan bahwa konsumen wanita yang berada pada rentang usia 18─24 tahun lebih menyukai tipe pakaian dalam bikini dan bahan sutra. Mereka juga memiliki tendensi tinggi untuk melakukan pembelian secara impulsif, karena sebagian besar dari mereka tidak terlalu mempertimbangkan harga, asalkan mereka menyukai tipe dan bahannya.

Hal berbeda ditunjukkan oleh konsumen pria; mereka cenderung lebih memerhatikan harga untuk menilai kualitas pakaian dalam. Berdasar hasil observasi kepada konsumen pria, mereka tidak suka menyentuh produk pakaian dalam untuk melakukan evaluasi, sehingga mereka bergantung pada harga sebagai parameter kualitas produk. Hasil lainnya diketahui bahwa konsumen pria yang berada pada rentang usia 18─24 tahun lebih menyukai tipe brief dan boxer. Mereka ini tidak memiliki kecenderungan ketertarikan pada bahan tertentu—karena menunjukkan hasil positif terhadap semua bahan yang diujikan, dan sangat memerhatikan harga dari pakaian dalam.

Hal tersebut merupakan contoh-contoh nyata bagaimana neuromarketing dapat digunakan dalam industri marketing. Diharapkan ini juga dapat memberikan peluang bagi pelaku marketing untuk menciptakan pesan atau stimulus marketing lainnya seperti logo, brand, iklan, produk yang dapat menghasilkan respons baik dan menarik bagi konsumen.

Selain itu, dengan neuromarketing kita dapat mengobservasi bagian otak manusia untuk memperoleh informasi bagaimana pancaindra berinteraksi dan memengaruhi persepsi konsumen, dan dapat dikombinasikan untuk menaikkan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang ditawarkan, sehingga para pelaku marketing dapat memasarkan produknya dengan lebih mudah dan efisien.

 Fitri Aprilianty (MSM SBM-ITB)

e-mail: fitri.aprilianty@sbm-itb.ac.id

Mustika Sufiati Purwanegara (Ketua Sub Kelompok keahlian Business Srategy & Marketing SBM-ITB)

e-mail: mustika@sbm-itb.ac.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.