No Brand Strategy

www.marketing.co.id – Selama ini para pemasar berlomba-lomba membangun mereknya dengan berbagai cara: logo yang bagus, kemasan yang menarik, harga yang disesuaikan, distribusi yang cepat, promosi yang gencar, dan lain sebagainya. Bahkan merek-merek yang seolah sulit terkalahkan pun masih sibuk berpromosi. Promosi itu tentu untuk mengingatkan konsumen agar mereka tak lari ke merek lain. Tetap berpromosi adalah satu cara untuk membuat pelanggan loyal.

Satu contoh yang paling gampang adalah promosi ala bank-bank di Indonesia. Jika ditelaah, hampir semua bank mengiming-imingi hadiah mobil dan rumah mewah. Bank Rakyat Indonesia menawarkan Range Rover Sport; Bank Central Asia menyodorkan Mercedes-Benz; Bank Mandiri memajang Lexus di depan kantor-kantor cabangnya; bank-bank lain pun demikian. Pertanyaannya, bagaimana kemungkinan seorang nasabah pindah hanya gara-gara hadiah bank ini lebih menarik daripada bank itu?

Strategi yang dilakukan bank-bank di Tanah Air amat konvensional sehingga hadiah yang ditawarkan pun ditanggapi nasabah “hanya sebuah keberuntungan” dari Tuhan, bukan atas dasar besarnya nilai tabungan. Lagi pula, sebagian besar nasabah premium tidak terlalu ambisius mengejar hadiah karena mereka sudah memilikinya.

Toyota, pemimpin pasar otomotif dalam negeri asal Jepang, harus mengemas submerek Avanza-nya dengan baik demi mengalahkan kendaraan multipurpose vehicle yang lain, termasuk kembarannya, Daihatsu Xenia. Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia merupakan dua seri kendaraan yang superlaris karena cocok dengan karakteristik pasar Indonesia; keluarga besar, pas untuk pulang kampung, muat banyak, tapi harganya murah.

Namun, apa jadinya jika logo Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia dicopot? Anda pasti sulit membedakan keduanya. Nah, pertanyaan selanjutnya, apakah produk yang dihilangkan logo atau labelnya akan laku di pasaran? Mungkin sebagian dari kita akan menjawab tidak laku karena tanpa merek—kecuali di pasar tradisional. Konsumen Indonesia tak percaya kalau tidak ada mereknya, apalagi mayoritas konsumen sangat branded.

Tapi, di Jepang, ada produk yang sukses dipasarkan tanpa merek (no brand). Sebuah ritel bernama Muji, atau Mujirushi Ryohin, di Tokyo, memajang beragam pakaian, alat tulis, aksesori, sampai peralatan rumah tangga, tanpa label apa pun. Yang dipajang di gerai tersebut cuma produk, tidak ada embel-embel merek yang biasa ditemukan di hampir semua ritel. Yang terpampang di sana hanyalah tulisan “Muji” sebagai nama toko, bukan merek produk-produk yang dijual.

Mulanya Muji merupakan house brand dari The Seiyu Ltd., jaringan supermarket ternama di Negeri Sakura, sejak tahun 1980. Karena permintaan pelanggan terus meningkat, Seiyu membuka toko baru untuk produk-produk no brand-nya pada tahun 1983 dengan nama Muji. Sesuai namanya, Mujirushi dan Ryohin, yang berarti “no brand good quality”, Muji menekankan pada harga murah namun tetap berkualitas, kemasan yang lebih sederhana untuk melakukan penghematan, tanpa biaya promosi yang mahal, sebagian produknya hasil daur ulang, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1991, Muji membuka toko internasional mereka yang pertama di London, Inggris, lalu di Hong Kong. Empat tahun kemudian, mereka membuka gerai di Singapura, dilanjutkan dengan Perancis, Irlandia, Korea, Swedia, Italia, Norwegia, Cina, Jerman, Spanyol, Thailand, dan Amerika pada tahun-tahun berikutnya. Negara berkembang seperti Indonesia—yang masyarakatnya doyan belanja—tak luput dari sasaran Muji. Pada tahun 2009, Muji mulai menjejakkan kaki di Jakarta dengan membuka gerai secara agresif. Kini, Muji bisa dijumpai di Plaza Indonesia, Grand Indonesia, Paris Van Java, Mall of Indonesia, Taman Anggrek, dan Mal Pondok Indah.

Tak Mudah

Strategi yang dilakukan Muji tentu saja tidak semudah yang digambarkan. Muji berhasil memasarkan produk-produk tanpa merek karena didorong statusnya sebagai private brand dari jaringan supermarket Seiyu yang cukup kuat. Barangkali ini bisa dipadankan, mungkin bedanya sedikit sekali dengan private label milik Carrefour, Hypermart, Lotte Mart, Indomaret, dan Alfamart di Indonesia. Dengan memasarkan private label atau no brand yang nyaris tidak membutuhkan biaya promosi, harga produk yang ditawarkan pun menjadi lebih murah daripada yang branded.

Satu hal yang harus dipahami, Muji memang memasarkan dengan konsep no brand good quality, alias tanpa merek dengan produk berkualitas bagus. Tapi sesungguhnya, mereknya ya Muji itu sendiri. Berkat konsistensi konsep, Muji menjadi populer di mata pelanggan dan berkembang ke berbagai negara. Gerai Muji-lah yang menjadi merek dari produk-produk yang dipasarkannya, meskipun tidak ditempelkan secara langsung. Bukankah ini sama halnya dengan bintang rock Michael Jackson yang namanya tidak terpampang di dada dia?

Menurut McEnally dan de Chernatony, pada fase awal evolusi proses branding, barang diperlakukan sebagai komoditas dan sebagian besar di antaranya tidak diberi merek. Fase ini biasanya bercirikan situasi permintaan jauh melampaui penawaran. Pada umumnya produsen tidak berusaha keras membedakan produknya, sehingga persepsi konsumen terhadap produk bersifat utilitarian, yaitu hanya mengandalkan nilai ekonomi produk. Mungkin fase inilah yang disebut no brand strategy murni.

Reputasi dan pemakaian merek jelas memegang peranan yang penting, tetapi Tellis dan Golder mengemukakan ada lima faktor kunci penentu kepemimpinan pasar. Pertama, visi mengenai pasar secara keseluruhan, yaitu pertimbangan secara cermat atas potensi pasar massal dan memulai berbagai upaya riset terintegrasi guna memungkinkan tersedianya produk dan kesesuaiannya dengan kebutuhan pasar massal tersebut. Kedua, persistensi atau keuletan manajerial, menyangkut komitmen utuh pada produk dan pasarnya. Ketiga, komitmen finansial, terutama berkaitan dengan akses ke sumber daya atau institusi finansial seperti bank dan lainnya, serta keinginan untuk menggunakan sumber daya finansial yang tersedia. Komitmen finansial sangat dibutuhkan untuk merealisasikan gagasan yang brilian menjadi produk nyata. Keempat, inovasi berkesinambungan tanpa kompromi, seiring terjadinya perubahan preferensi konsumen, perkembangan teknologi, dan intensitas persaingan. Kelima, asset leverage, yaitu kemampuan memanfaatkan dan memperluas keunggulan yang sudah ada, misalnya reputasi perusahaan, jaringan distribusi, kualitas pelayanan, dan lain lain.

Muji menggunakan no brand strategy, tetapi dengan menganut prinsip-prinsip kepemimpinan pasar, bukan tidak mungkin bisa semakin berkibar di masa-masa yang akan datang. Jadi, no brand strategy bisa saja berhasil, tetapi memang tidak mudah. (Darmadi Durianto)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.