Pasar yang Cepat Dewasa

Anak-anak dan remaja sekarang makin galau dengan dunianya. Mereka menjadi lebih cepat dewasa dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka juga makin menjauh dari hubungan keluarga. Namun, mereka semakin mampu untuk memilih dan menentukan keinginan mereka sendiri. Bagi para marketer, pasar ini justru menjadi semakin menggiurkan karena nilai belanja mereka yang terus meningkat.

campasia-1

Pasar anak-anak dan ABG memiliki banyak kemiripan. Mereka memang masih merupakan kelompok yang sangat tergantung pada orangtua. Sekalipun demikian, mereka memiliki uang sendiri untuk bisa dibelanjakan. Itulah sebabnya mereka bisa menjadi primary market untuk “digoyang koceknya”, namun potensi mereka yang cukup besar adalah sebagai secondary market. Artinya mereka memiliki kekuatan untuk memengaruhi orangtua mereka untuk membeli merek yang mereka inginkan.

Selain primary dan secondary market, sebenarnya mereka juga merupakan pasar masa depan (future market). Merek yang cocok bagi mereka bisa mereka bawa saat mereka dewasa nanti. Itulah sebabnya memupuk mereka sejak dini bisa menjadi keuntungan bagi para marketer.

Pengaruh anak-anak dan ABG terhadap orangtua yang kini semakin tinggi memang dipengaruhi oleh rasa bersalah para orangtua yang kini semakin sedikit memiliki waktu terhadap anak-anak mereka. Suami-isteri yang bekerja serta semakin tingginya aktivitas anak dan ABG di luar rumah membuat orangtua dan anak memiliki waktu yang teramat sedikit untuk bertemu.

Quick Adopter

Semakin dewasanya anak sekarang tercermin pula dari semakin sulitnya bagi anak-anak untuk menyukai lagu-lagu anak-anak. Mereka lebih menyukai lagu-lagu pop yang bernuansa cinta—seperti lagu Justin Bieber—dibandingkan lagu bertema bermain. Apalagi hal ini ditunjang oleh kepemilikan ponsel dan internet yang semakin merata di kalangan anak-anak di Indonesia. Termasuk pula dalam hal ini para ABG.

Teknologi memang seperti pedang bermata dua, menurut survei IPSOS-Oreo, 70% keluarga percaya bahwa teknologi membantu mereka untuk bisa saling berkomunikasi dan terhubung antar-anggota keluarga. Namun demikian, mereka juga merasa resah bahwa perhatian terhadap mereka teralihkan oleh adanya teknologi. Dunia jejaring sosial yang semakin mengikat anak-anak dan remaja membuat mereka semakin terlibat aktif untuk berhubungan dengan orang lain dibandingkan keluarga.

Kebiasaan mereka untuk curhat di Facebook, Twitter, maupun jejaring sosial lain membuat anak-anak dan remaja di Indonesia semakin menjadi pribadi yang terbuka. Namun demikian, hal ini membuat mereka juga mudah mencurahkan segala kegelisahan mereka hingga tergolong terlalu dibesar-besarkan (lebay). Itulah sebabnya “galau” menjadi buzzword baru di kalangan mereka.

Anak-anak dan remaja sekarang juga menjadi quick adopter. Mereka dengan cepat mengadopsi berbagai tren yang ada dan menerjemahkannya dalam lingkungan sehari-hari. Termasuk tentunya adalah mengadopsi hal-hal yang berbau asing. Misalnya saja untuk pakaian, mereka berkiblat pada negara-negara seperti Amerika Serikat. Demikian halnya dengan sepatu. Sementara untuk aksesori, barulah mereka berkiblat ke Indonesia.

Yang menarik, Korea tampaknya menjadi kiblat baru remaja sekarang. Ini terlihat dari berbagai kategori produk, Korea menduduki urutan dua atau tiga sebagai negara trendsetter. Apalagi untuk urusan rambut, ternyata Korea menjadi kiblat utama mereka. Korea tampaknya semakin menggeser Jepang sebagai kiblat para remaja di Indonesia.

Lalu, bagaimana strategi yang mesti dibangun untuk pasar anak-anak dan remaja ini? Jelas “mendikte” bukan lagi jadi cara pendekatan kepada mereka. Kelompok ini sudah semakin kritis dalam menilai merek. Dalam soal harga, mereka tetap merupakan kelompok yang sensitif terhadap harga jika menyangkut pengeluaran dari uang saku mereka. Namun demikian, jangan menyepelekan soal kualitas kepada mereka. Kiblat mereka ke luar negeri menunjukkan bahwa mereka semakin paham mana produk murahan dan mana produk berkualitas.

Iklan tentu saja masih powerful bagi mereka. Penggunaan endorser membantu percepatan penetrasi merek di benak mereka. Namun demikian, media sosial jangan dilupakan, harus mulai dibangun. Sekalipun demikian, janganlah terlalu hard selling di dalam media sosial.

Yang terakhir, tentu saja perlu sekali-sekali melibatkan orangtua dalam beberapa aktivitas marketing. Kerinduan orangtua untuk semakin dekat dengan anak-anak mereka bisa mendorong mereka untuk mengeluarkan lebih banyak uang. Di sisi lain, hal ini tentu saja menjadi kewajiban bagi para marketer untuk tetap menjaga komunikasi yang baik di dalam keluarga Indonesia.

(Majalah Marketing)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.