Mengentaskan Masalah Malnutrisi, Pelaku Industri Diharapkan Lebih Proaktif

Konferensi Indonesia Bergizi 2017 yang dihadiri perwakilan dari pemerintah, akademisi dan pelaku industri telah resmi ditutup dengan peluncuran Klaster Filantropi Ketahanan Pangan dan Gizi di Organisasi Filantropi Indonesia. Peluncuran klaster ini diharapkan semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menjadi lebih proaktif dan terarah dalam usahanya untuk memerangi masalah malnutrisi di Indonesia.

sumber seleraAndi Prasetyo, Head of JAPFA Foundation sekaligus perwakilan Konsorsium Indonesia Bergizi, menjelaskan bahwa mayoritas dari peserta konferensi menyadari bahwa belum adanya kesepahaman yang sama mengenai bentuk kemitraan multi-sektor dalam penanganan masalah malnutrisi di Indonesia. ā€œSering kali yang diharapkan dari pelaku industri hanya sebatas pada dukungan dana atau distribusi produk pangan ke masyarakat. Namun sebenarnya pelaku industri bisa berpartisipasi lebih dari itu, seperti contohnya adalah memberikan rekomendasi mengenai variasi pendekatan program yang dapat membantu mengatasi isu malnutrisi, seperti pendekatan akses terhadap pangan dan gizi serta pendekatan wirausaha sosial yang kami perkenalkan di dalam Konferensi Indonesia Bergizi tahun ini,ā€ lanjut Andi.

Di Indonesia, persoalan malnutrisi merupakan salah satu persoalan utama dalam pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas kependudukan yang beragam, Indonesia dihadapkan pada dinamika persoalan malnutrisi. Di dalam Konferensi Indonesia Bergizi tahun ini beberapa dinamika persoalan malnutrisi yang didiskusikan adalah disparitas prevalensi balita gizi kurang antar provinsi yang kedepannya bisa menimbulkan semakin besarnya ketimpangan pembangunan manusia antar provinsi di Indonesia. Selain itu adalah kesenjangan akses terhadap pangan dan gizi antar daerah perkotaan dan perdesaan.

Disinilah pelaku industri diharapkan dapat berperan dalam pengentasan masalah malnutrisi di Indonesia. ā€œProgram-program bantuan kepada masyarakat perlu diintensifkan, terutama melakukan diversifikasi bantuan, seperti membuka akses terhadap pangan dan gizi yang lebih dekat lagi ke masyarakat, khususnya di wilayah kantong-kantong kemiskinan,ā€ ujar Andi.

Dengan memiliki akses kepada pangan dan gizi yang lebih dekat dan tepat guna, diharapkan masyarakat dapat memiliki variasi yang seimbang antara karbohidrat, protein dan vitamin dalam asupan makannya. Dengan variasi makan yang seimbang, diharapkan pada akhirnya pengentasan masalah malnutrisi di Indonesia dapat terwujud.

Di luar dari disparitas prevalensi balita gizi kurang antar provinsi dan kesenjangan akses terhadap pangan dan gizi, faktor lain didiskusikan dalam Konferensi tahun ini adalah betapa malnutri dan rendahnya faktor ekonomi juga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. Faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor risiko balita menderita malnutrisi. Perlu strategi khusus dalam menangani faktor risiko ini, salah satunya adalah pendekatan kesejahteraan rumah tangga. Perlu sentuhan terhadap program peningkatan pendapatan rumah tangga yang akhirnya berujung kepada perbaikan asupan gizi balita. Salah satunya melalui program wirausaha sosial.

Wirausaha sosial berbeda dengan jenis wirausaha lainnya karena hasil yang dicapai bukan berupa keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bisa berguna dan berdampak baik bagi masyarakat. Pada umumnya 49% keuntungan dari wirausaha ini dijadikan biaya operasional dan sisanya untuk kegiatan sosial.

Untuk mencari ide-ide kreatif wirausaha sosial yang dapat dilaksanakan masyarakat, Konferensi Indonesia Bergizi 2017 mengundang masyarakat muda Indonesia untuk menyampaikan proposal wirausaha sosial mereka. Sebanyak 174 ide inovasi wirausaha sosial dari seluruh penjuru Indonesia telah terkumpul dalam kompetisi yang diberi nama INZI Creative 2017 dan ide yang terpilih akan mendapatkanĀ seed fundingĀ untuk merealisasikan wirausaha sosial mereka.

Prof. Dr. Helmi, M.Sc, Founder MBS-EC serta Dosen Fakultas Pertanian Universitas AndalasĀ dalam pemaparan kesimpulannya mengajak generasi muda Indonesia untuk bangkit berwirausaha sosial. ā€œPerlu minimal 2% dari jumlah penduduk Indonesia yang menjadi wirausahawan.ā€ Menurut data Budi Isman, Founder OneinTwenty Movement, 1 juta wirausahawan baru akan menciptakan 5 juta lapangan kerja dan 15 juta kesempatan kerja sebagaiĀ multiplier effect.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.