Pelanggan adalah Aset Berharga

Keberhasilan Yamaha dalam memberikan pelayanan yang berorientasi pada pelanggan tak lepas dari bagaimana perseroan tersebut menerjemahkan sebuah pelayanan dan menempatkan pelanggan sebagai aset berharga.

Sepak terjang Yamaha di ranah otomotif roda dua terbilang ciamik. Pasalnya, dalam kurun delapan tahun atau lebih tepatnya periode tahun 2002–2010, produsen kendaraan bermotor dengan ciri khas logo garpu tala ini mampu meningkatkan pertumbuhan penjualan hingga 864 persen. Alhasil, eksistensi dan prestasinya diakui lewat beragam penghargaan, baik untuk produk maupun pelayanannya.

Pastinya, pencapaian Yamaha dalam merangsek pasar yang ada didorong oleh produk berkualitas serta implementasi pelayanan yang berorientasi pada pelanggan alias customer centric, dan tentunya didukung pula dengan jajaran manajemen yang andal, mulai dari pemimpin, manajer, sampai pada level staf, dalam mensosialisasikan dan memastikan bahwa mereka semua turut fokus kepada pelanggan.

Dyonisius Beti, President Director PT Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI), selaku suksesor Yamaha mengatakan bahwa peningkatan kinerja tersebut merupakan hasil implementasi dari komitmen perseroan dalam menciptakan pertumbuhan usaha yang sehat dan berkesinambungan, dengan memberikan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan mudah diakses terhadap pelayanan dan produk. “Sistem usaha tersebut direpresentasikan dengan fokus pada pelanggan,” ujar pria yang biasa disapa Dyon.

Dalam hal ini, Dyon paham betul bahwa pelanggan adalah aset yang sangat berharga dan elemen penting bagi keberlangsungan perseroan. Oleh karena itu, sesuai dengan filosofi Kando (Touching Your Heart), pihaknya berupaya untuk memberikan nilai lebih kepada pelanggan secara terus-menerus melalui sentuhan personal yang mendalam hingga tertanam di benak pelanggan, baik internal ataupun eksternal.

Sebelum fokus kepada pelanggan eksternalnya, Dyon terlebih dulu menekankan prinsip-prinsip pelayanan secara internal. Yaitu dengan membudayakan melayani sesama rekan kerja, baik dalam divisi yang sama maupun antar divisi, yang membutuhkan kordinasi dan bantuan. Di sini, bukan hanya diukur berdasarkan KPI dari hasil kerja dan kompetensinya, tetapi juga perlu disentuh dari sisi hati karyawan. “Pelanggan internal meliputi seluruh karyawan, termasuk diler-diler dan pemilik bengkel sebagai mitra Yamaha,” tambahnya.

Toh, kepuasan pelanggan internal sama pentingnya dengan pelanggan eksternal, lantaran pelayanan terhadap pelanggan internal dapat memengaruhi kualitas pelayanan terhadap pelanggan eksternal secara keseluruhan. Jika pelayanan terhadap pelanggan internal buruk, maka pelayanan terhadap pelanggan eksternal juga berpotensi buruk. Atau justru sebaliknya, pelayanan yang baik akan berefek domino kepada kepuasan pelanggan eksternal.

Setelah sisi internal solid dan siap, yakni memiliki visi dan misi yang sama serta berorientasi pada budaya dan standar pelayanan yang sama, barulah Yamaha berfokus ke pelanggan eksternal. Pelayanan antara pelanggan internal dan eksternal terintegrasi dalam bentuk program pelayanan yang dikenal dengan Customer and Community Satisfaction (CCS), dengan membangun konsep “3S” (sales, service, dan sparepart) di seluruh jaringan untuk memastikan pelanggan mendapatkan pengalaman pelayanan sesuai keinginan, kebutuhan, dan harapan mereka.

Seperti dipaparkan Dyon, dalam menumbuhkan dan menjaga loyalitas konsumen, pihaknya selalu memonitor dan mensurvei Customer Satisfacation Index dan Customer Loyalty Index. Setiap survei yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk mencari tingkat kepuasan, melainkan ketidakpuasannya. Aktivitas survei memang sudah lama dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak guna mengetahui pergeseran dan tingkat kepuasan pelanggan eksternal. Sedangkan untuk tingkat kepuasan pelanggan internal dilakukan evaluasi terhadap diler dan bengkel mitra Yamaha.

Nah, dari hasil survei itulah didapatkan kesimpulan dan dilakukan perbaikan segala kekurangan secara terus-menerus. Bila hal ini berhasil, diharapkan kepuasan pelanggan akan meningkat dan berujung pada loyalitas. Selain itu, perusahaan juga memanfataan Call Center, situs web, dan media sosial sebagai media pelayanan yang efektif. “Ketidakpuasan pelanggan bisa cepat direspons melalui Call Center atau contact center yang terintegrasi dengan sales suku cadang Yamaha,” imbuh Dyon.

Meski menempati jabatan tertinggi di Yamaha, bukan berarti Dyon tidak turun langsung ke lapangan. Ada pengalaman menarik kala ia berkunjung ke salah satu jaringan resmi Yamaha. Di sana, ia melayani calon pelanggan, bahkan mendapatkan komplain secara langsung dari pelanggan, yang diresponsnya secara cepat dan tepat dengan memberikan solusi untuk komplain tersebut. Satu hal positif yang bisa pelajari adalah pelayanan bukan hanya kewajiban mutlak para frontliner, akan tetapi juga harus diawali oleh teladan dari top manajemen.

Kendala terbesar dalam pengembangan budaya pelayanan pastinya berasal dari internal sendiri, yaitu bila karyawan berbicara mengenai customer centric, tapi hati atau tindakan dan perbuatan karyawan masih belum fokus dan memprioritaskan konsumen pada tempat yang utama. Misalnya, ketika ada calon pelanggan dan pelanggan datang ke diler, masih ditemukan sales yang sibuk dengan urusan pribadinya. Hal inilah yang memotivasi Dyon dan jajaran menajemennya untuk membenahi dan memberikan suri teladan terhadap karyawan serta mitra kerja mengenai service excellence.

“Salah satunya memanfaatkan momentum Customer Day, di mana pada hari itu seluruh jajaran BOD turun ke bawah atau melihat langsung seluruh aktivitas di lapangan. Tujuannya memberikan contoh dan mengingatkan kembali kepada mereka bagaimana melayani pelanggan. BOD saja begitu peduli terhadap pelanggan, maka karyawan pun harus memiliki pola pikir yang sama akan hal ini,” pungkasnya. (Service Excellence/Moh. Agus Mahribi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.